Sunday, March 2, 2014

Penyimpangan - Penyimpangan ihya atturots season 5

Penulis: Al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-
Bugisi

Ihya’ Turots Boneka Abdurrahman Abdul Khaliq

 Pada akhir pembahasan lalu, kami telah menjelaskan
tentang ketidakpahaman serta kecerobohan Al-Akh
Firanda dan yang bersamanya – waffaqonallahu wa
iyyahum lima yuhibbu wa yardha – walaupun ia
berusaha mentarjih permasalahan ini. Sayangnya ia
seorang pentarjih yang kosong dari dalil, misalnya
menganggap sebagian yang mentahdzir tidak
termasuk jajaran ulama paling senior atau berdalil
dengan naluri yang biasanya dilakukan oleh kaum
shufiyyah dan yang lainnya. Juga kami membawakan
tentang istilah fiqhul waqi’ yang dimaksudkan oleh
para hizbiyyin semisal Abdurrahman Abdul Khaliq,
mufti organisasi Ihya At Turats.
Maka pada edisi kali ini, kita akan menjelaskan
perbedaan antara istilah “fiqhul waqi’” buatan kaum
hizbi, dengan kaidah “yang memiliki ilmu adalah
hujjah terhadap yang tidak memilikinya”, lalu kita
akan menjelaskan pula beberapa penyimpangan
Abdurrahman Abdul Khaliq dan pengaruhnya
terhadap perpecahan yang ada di berbagai negara
secara umum serta di Indonesia secara khusus.
Maka dengan mengharapkan pertolongan dan taufiq
dari Allah, saya mengatakan:
Definisi Fiqhul Waqi’ Menurut Para Ulama
Al-Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin
Al-Albani rahimahullah menjelaskan “fiqhul waqi’
menurut istilah mereka, dalam beberapa kaset dari
“Silsilah Al-Huda wan-Nuur”, diantara fatwa beliau
tersebut ada yang sudah ditranskrip. Diantaranya
yang ditranskrip oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi
hafidzahullah Ta’ala dengan judul “Su’al wa jawab
haula fiqhil waqi’” (Tanya jawab seputar fiqhul
waqi’), yang dari penjelasan tersebut ada beberapa
kesimpulan penting terkait dengan fiqhul waqi’
tersebut sebagai berikut :
1. Istilah Fiqhul Waqi’ adalah nama yang mereka
ada-adakan.
2. Bila ilmu ini dipahami berdasarkan tinjauan
syari’at, maka keadaannya sama dengan kaidah yang
masyhur di kalangan para ulama yang berbunyi
“menghukumi sesuatu merupakan bagian dari
penggambarannya” ( ﺍﻟﺤﻜﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺸﻲﺀ ﻓﺮﻉ ﻋﻦ ﺗﺼﻮﺭﻩ ), dan itu
dapat dilakukan dengan mengetahui realitanya. Maka
fiqhul waqi’ yang benar adalah mengetahui keadaan
kaum muslimin atau makar dari musuh-musuhnya
untuk memberi peringatan darinya, bukan sekedar
teori semata, namun hendaknya berbentuk realita.
3. Sebagian para pemuda Islam terbagi dua dalam
menyikapi “fiqhul waqi’”, ada yang berlebih-lebihan
yang mengangkat ilmu ini di atas kedudukan yang
semestinya serta menghendaki agar setiap ‘alim
harus mengetahui fiqhul waqi’ menurut versi mereka.
Sebaliknya ada pula yang mengesankan bahwa orang
yang lebih mengerti realita yang terjadi di dunia,
maka dia adalah orang yang faqih (paham) terhadap
Al-Kitab dan As-Sunnah dan Manhaj Salaf. Padahal
hal tersebut tidak mesti demikian.
4. Tidak mungkin ada orang sempurna yang dapat
mengetahui semua realita yang terjadi, sehingga
yang wajib adalah bekerja-sama antara mereka yang
mengerti realita, lantas mereka menerangkan
gambarannya kepada ulama dan para mufti, lalu para
ulama’-lah yang menjelaskannya dari sisi hukum
syar’i yang dibangun di atas dalil yang shahih.
5. Adapun mendudukkan orang yang mengerti realita
tersebut sebagai ‘alim dan mufti, hanya karena dia
mengerti tentang “fiqhul waqi’”, maka tidak terdapat
sisi pembenaran sama sekali, yang dengan
ucapannya dapat membantah fatwa para ulama, dan
membatalkan ijtihad dan hukum yang mereka
tetapkan.
6. Berlebihan dalam mementingkan urusan “fiqhul
waqi’” sehingga menjadikannya sebagai manhaj bagi
para da’i dan para pemuda, lalu mereka mendidik
dan terdidik dengannya serta menyangka bahwa itu
merupakan jalan keselamatan: adalah kesalahan
fatal dan kekeliruan yang jelas.
7. Penyakit yang menimpa kaum muslimin pada hari
ini bukan disebabkan kejahilan mereka terhadap ilmu
yang disebut “fiqhul waqi’” ini, namun sebabnya
adalah karena mereka mengacuhkan dalam
pengamalan hukum-hukum agama, berdasarkan Al-
Qur’an dan As-Sunnah.
8. Terlalu mementingkan fiqhul waqi’ yang hukumnya
fardhu kifayah (dengan tinjauan syar’i) dan kurang
mementingkan urusan yang lebih penting yang
hukumnya fardhu ‘ain, yaitu mempelajari Al-Qur’an
dan As Sunnah: adalah menelantarkan dan
mengabaikan apa yang menjadi kewajiban bagi
setiap individu umat Islam.
9. Wajib untuk bersikap “pertengahan” dalam
mengajak kaum muslimin untuk mengenal “fiqhul
waqi’” dan tidak menenggelamkan mereka untuk
menyibukkan diri dalam mengetahui berbagai berita
politik, berbagai analisa dari para pemikir Barat.
Namun yang wajib adalah selalu menyuarakan
seputar pentingnya memurnikan Islam dari berbagai
noda, dan mendidik kaum muslimin agar berada di
atas Islam yang jernih dan murni.
10. Adapun mencela sebagian ulama dan penuntut
ilmu dan menuduh mereka tidak mengerti fiqhul
waqi’ dan menuduh mereka dengan sesuatu yang
memalukan untuk disebutkan adalah kesalahan dan
kekeliruan yang jelas.
Inilah sepuluh poin yang dapat saya simpulkan dari
apa yang disebutkan oleh beliau rahimahullah Ta’ala.
(selengkapnya silahkan merujuk langsung ke risalah
tersebut).
Demikian pula Syaikhuna Al-Allamah Muqbil bin
Hadi Al-Wadi’i rahimahullah Ta’ala menyebutkan
fiqhul waqi’ model hizbiyyun, setelah beliau
menjelaskan fiqhul waqi’ yang syar’i adalah
memahami Al-Qur’anul Karim dan Sunnah Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam. Lalu beliau berkata:
ﻭﻗﺪ ﻇﻦ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻤﻐﻔﻠﻴﻦ ﺃﻥ ﻓﻘﻪ ﺍﻟﻮﺍﻗﻊ ﺃﻥ ﺗﻌﺮﻑ ﻛﻢ ﺷﻮﺍﺭﻉ ﺑﺎﺭﻳﺲ، ﻭﻛﻢ
ﺷﻮﺍﺭﻉ ﺍﻟﻘﺎﻫﺮﺓ، ﻭﻛﻢ ﺷﻮﺍﺭﻉ ﺃﻣﺮﻳﻜﺎ، ﻭﺇﺫﺍ ﻟﻢ ﺗﻌﺮﻑ ﺍﻟﺠﻐﺮﺍﻓﻴﺎ ﻓﻤﺎ ﻋﺮﻓﺖ ﻓﻘﻪ
ﺍﻟﻮﺍﻗﻊ .
ﻓﺎﻋﻠﻢ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺑﻔﻘﻪ ﺍﻟﻮﺍﻗﻊ ﻫﻢ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭﻋﻠﻰ ﺭﺃﺳﻬﻢ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺍﺑﻦ ﺑﺎﺯ ﻭﺍﻟﺸﻴﺦ
ﺍﻷﻟﺒﺎﻧﻲ – ﺣﻔﻈﻬﻤﺎ ﺍﻟﻠﻪ .-
ﻓﺄﻣﺎ ﻓﻘﻪ ﺍﻟﻮﺍﻗﻊ ﺃﻥ ﻧﺼﺮﻑ ﺷﺒﺎﺑﻨﺎ ﺇﻟﻰ ﻗﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﺠﺮﺍﺋﺪ ﻭﺍﻟﻤﺤﻼﺕ، ﻭﺇﻟﻰ ﺍﺳﺘﻤﺎﻉ
ﺍﻹﺫﺍﻋﺎﺕ – ﻭﻟﺴﻨﺎ ﻧﺤﺮﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺷﻴﺌًﺎ ﺃﺣﻠﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻬﻢ – ﻟﻜﻦ ﺃﻥ ﻧﺼﺮﻑ
ﺍﻟﺸﺒﺎﺏ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﺼﻠﺤﻮﻥ ﻟﻄﻠﺐ ﺍﻟﻌﻠﻢ، ﻧﺼﺮﻓﻬﻢ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺘﻤﺜﻴﻠﻴﺎﺕ ، ﻓﺎﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﻤﺜﻞ
ﻣﺎ ﻋﺮﻑ ﺍﻟﻮﺍﻗﻊ، ﻭﺍﻟﺬﻱ ﻣﺎ ﻋﺮﻑ ﺍﻟﻨﺸﻴﺪ ﻣﺎ ﻋﺮﻑ ﺍﻟﻮﺍﻗﻊ، ﻭﺍﻟﺬﻱ ﻣﺎ ﻋﺮﻑ ﺃﻥ
ﺍﻟﺒﺸﻴﺮ ﻫﺬﺍ ﺃﺣﺴﻦ ﺣﻜﺎﻡ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻣﺎ ﻓﻘﻪ ﺍﻟﻮﺍﻗﻊ، ﻭﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﻌﺮﻑ ﺃﻥ
ﺍﻟﺨﻤﻴﻨﻲ ﺇﻣﺎﻡ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻣﺎ ﻓﻘﻪ ﺍﻟﻮﺍﻗﻊ، ﻭﺍﻟﺬﻱ ﻣﺎ ﻳﻌﺮﻑ ﺃﻥ ﺿﻴﺎﺀ ﺍﻟﺤﻖ ﻛﺎﻥ
ﺭﺟﻼً ﺇﺻﻼﺣﻴًﺎ ﻣﺎ ﻓﻘﻪ ﺍﻟﻮﺍﻗﻊ، ﻭﺿﻴﺎﺀ ﺍﻟﺤﻖ ﻫﺬﺍ ﻛﺎﻥ ﺇﺳﻼﻣﻴًﺎ ﺑﺎﻟﻘﻮﻝ، ﻭﺃﻣﺮﻳﻜﻴًﺎ
ﺑﺎﻟﻔﻌﻞ – ﻭﻟﺴﺖ ﺃﻛﻔﺮﻩ -
“Sebagian orang-orang yang lalai menyangka bahwa
fiqhul waqi’ adalah engkau mengetahui berapa
banyak jalan yang ada di kota Paris, berapa banyak
jalan di Kairo. Jika engkau tidak mengetahui
Geografi, maka engkau tidak tahu mengerti fiqhul
waqi’. Maka manusia yang mengerti tentang fiqhul
waqi’ (berdasarkan tinjauan syar’i, pen) adalah
Syaikh Bin Baaz dan Syaikh Al-Albani
hafidzahumallah (rahimahumallah, pen). Adapun
fiqhul waqi’ yang maksudnya agar kami
memalingkan para pemuda agar membaca koran-
koran dan majalah-majalah, dan mendengarkan
berbagai siaran radio –walaupun kami tidak
mengharamkan sesuatu kepada manusia apa yang
dihalalkan oleh Allah untuk mereka- . Akan tetapi
kami memalingkan para pemuda yang punya
kemampuan untuk menuntut ilmu, kami memalingkan
darinya untuk memeriahkan acara teater, (kami
memalingkan dari pendapat) yang tidak mengikuti
acara teater berarti dia tidak mengerti fiqhul waqi’,
yang tidak mengenal nasyid berarti dia tidak
mengetahui fiqhul waqi’, yang tidak mengetahui
bahwa Basyir (Sudan – pen) adalah pemerintah
muslimin yang paling baik, yang tidak mengetahui
bahwa Khomeini adalah imamnya kaum muslimin,
maka dia tidak mengerti fiqhul waqi’, yang tidak
mengetahui bahwa Dhiya’ Al-Haq adalah seorang
yang melakukan perbaikan, maka dia tidak mengerti
fiqhul waqi’ – dan Dhiya’ul Haq ucapannya
menunjukkan Islam, namun perbuatannya
menunjukkan dia seperti orang Amerika dan saya
tidak mengafirkannya-. (Dikutip dari kitab Fadhaih
wa Nasha’ih: 109).
Berkata pula Syaikh Al-Fauzan hafidzahullah Ta’ala:
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻌﻼﻣﺔ ﺍﻟﻔﻮﺯﺍﻥ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ :
) ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻻﺷﺘﻐﺎﻝ ﺑﻮﺍﻗﻊ ﺍﻟﻌﺼﺮ ﻛﻤﺎ ﻳﻘﻮﻟﻮﻥ ﺃﻭ “ ﻓﻘﻪ ﺍﻟﻮﺍﻗﻊ” ﻓﻬﺬﺍ ﺇﻧﻤﺎ ﻳﻜﻮﻥ
ﺑﻌﺪ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲ, ﺇﺫ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﺑﺎﻟﻔﻘﻪ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲ ﻳﻨﻈﺮ ﺇﻟﻰ ﻭﺍﻗﻊ ﺍﻟﻌﺼﺮ. ﻭﻣﺎ
ﻳﺪﻭﺭ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺎﻟﻢ, ﻭﻣﺎ ﻳﺄﺗﻲ ﻣﻦ ﺃﻓﻜﺎﺭ ﻭﻣﻦ ﺁﺭﺍﺀ, ﻭﻳﻌﺮﺷﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲ
ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻟﻴﻤﻴﺰ ﺧﻴﺮﻫﺎ ﻣﻦ ﺷﺮﻫﺎ , ﻭﺑﺪﻭﻥ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲ ﻓﺈﻧﻪ ﻻ ﻳﻤﻴﺰ ﺍﻟﺤﻖ
ﻭﺍﻟﺒﺎﻃﻞ ﻭﺍﻟﻬﺪﻯ ﻭﺍﻟﻀﻼﻝ , ﻓﺎﻟﺬﻱ ﻳﺸﺘﻐﻞ ﺑﺎﺩﺉ ﺫﻱ ﺑﺪﺀ ﺑﺎﻷﻣﻮﺭ ﺍﻟﺜﻘﺎﻓﻴﺔ
ﻭﺍﻷﻣﻮﺭ ﺍﻟﺼﺤﺎﻓﻴﺔ ﻭﺍﻷﻣﻮﺭ ﺍﻟﺴﻴﺎﺳﻴﺔ ﻭﻟﻴﺲ ﻋﻨﺪﻩ ﺑﺼﻴﺮﺓ ﻣﻦ ﺩﻳﻨﻪ, ﻓﺈﻧﻪ ﻳﻀﻞ
ﺑﻬﺬﻩ ﺍﻷﻣﻮﺭ, ﻷﻥ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﺎ ﻳﺪﻭﺭ ﻓﻴﻬﺎ ﺿﻼﻝ ﻭﺩﻋﺎﻳﺔ ﻟﻠﺒﺎﻃﻞ, ﻭﺯﺧﺮﻑ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﻮﻝ
ﻭﻏﺮﻭﺭ , ﻧﺴﺄﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻌﺎﻓﻴﺔ ﻭﺍﻟﺴﻼﻣﺔ .
) ﺍﻷﺟﻮﺑﺔ ﺍﻟﻤﻔﻴﺪﺓ ﻋﻦ ﺍﻷﺳﺌﻠﺔ ﺍﻟﻤﻨﺎﻫﺞ ﺍﻟﺠﺪﻳﺪﺓ : 99 )
“Adapun menyibukkan diri dengan realita di masa
kini, seperti yang mereka katakan “fiqhul waqi’”,
maka ini hendaknya bisa (dipelajari) setelah
(mempelajari) ilmu syar’i. Sebab seseorang dengan
fiqih yang syar’i dapat melihat kondisi masa kini dan
apa yang terjadi di alam ini, juga apa yang muncul
dari berbagai pemikiran dan pendapat dibangun di
atas ilmu syar’i yang benar, agar dapat membedakan
antara yang baik dan yang buruk. Akan tetapi tanpa
ilmu syar’i, maka tidak mungkin dapat dibedakan
antara yang haq dan yang batil, dan antara petunjuk
dan kesesatan. Maka orang yang awal pijakannya
dengan menyibukkan diri dengan pengetahuan umum,
urusan berita koran, perkara politik, sementara ia
tidak memiliki ilmu dalam agamanya, maka dia akan
menjadi sesat dengan perkara-perkara ini. Sebab
kebanyakan apa yang terdapat padanya adalah
kesesatan dan propaganda terhadap kebatilan, dan
ucapan yang ‘manis’ tapi menipu, kami memohon
kepada Allah pemeliharaan dan keselamatan.
(Dikutip dari kitab Al-Ajwibah al-Mufidah : 99).
Saya kira apa yang saya nukilkan dari keterangan
para Ulama tentang istilah “fiqhul waqi” yang
diinginkan oleh hizbiyyun cukup jelas, yang intinya
adalah tujuan mereka dalam menggembar-
gemborkan fiqih buatan hizbiyyun ini adalah:
- Hendak menjauhkan para pemuda Islam dari
mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan
menyibukkan diri dengan berita koran dan majalah,
dan yang semisalnya.
- Menjadikan “fiqhul waqi’” sebagai jembatan untuk
merendahkan kedudukan para ulama, sehingga umat
tidak lagi menjadikan mereka sebagai panutan dan
tempat mengembalikan berbagai problem yang
sedang mereka alami.Sehingga pada saat mereka
berfatwa dalam suatu permasalahan, terkhusus
masalah yang bersifat kontemporer, maka dengan
serta-merta mereka menjawab : “Ulama itu
bidangnya hanya dalam masalah haid dan nifas
saja”, atau “dia-kan bukan ulama mujahid…”, atau
yang semisalnya.
- Menjauhkan para pemuda Islam dari manhaj
Salafus Shalih yang lebih mengutamakan urusan “At-
Tashfiyah wat-Tarbiyah” [1]
- Menjadikan fiqih ini sebagai jembatan untuk
melegitimasi sebagian apa-apa yang diharamkan
Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu alaihi
wasallam.
Maka hal ini telah jelas, sungguh sangat jauh
berbeda dengan kaidah yang masyhur di kalangan
para ulama, “menghukumi sesuatu adalah cabang
dari penggambarannya”, juga kaidah, “yang
mengetahui suatu ilmu adalah hujjah terhadap yang
tidak mengetahuinya.” Sebab bukanlah diantara
persyaratan sebagai seorang mujtahid atau mufti
adalah mengetahui segala sesutu yang terjadi di
dunia, atau dengan ungkapan lain, harus mengetahui
sesuatu yang “sangat terkenal kiprahnya dan
diketahui oleh banyak orang”. Jangankan seperti
Syaikh Bin Baaz, atau Ibnu Utsaimin, atau yang
lainnya dari kalangan para ulama –rahimahumullah-,
bahkan setingkat Nabi Sulaiman ‘alaihis salaam
sekalipun – yang memiliki kerajaan yang luas yang
meliputi jin, manusia dan hewan-, sebagaimana yang
Allah Ta’ala firmankan:
ﻭَﻭَﺭِﺙَ ﺳُﻠَﻴْﻤَﺎﻥُ ﺩَﺍﻭُﻭﺩَ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﻋُﻠِّﻤْﻨَﺎ ﻣَﻨﻄِﻖَ ﺍﻟﻄَّﻴْﺮِ ﻭَﺃُﻭﺗِﻴﻨَﺎ ﻣِﻦ ﻛُﻞِّ
ﺷَﻲْﺀٍ ﺇِﻥَّ ﻫَﺬَﺍ ﻟَﻬُﻮَ ﺍﻟْﻔَﻀْﻞُ ﺍﻟْﻤُﺒِﻴﻦُ ﻭَﺣُﺸِﺮَ ﻟِﺴُﻠَﻴْﻤَﺎﻥَ ﺟُﻨُﻮﺩُﻩُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺠِﻦِّ ﻭَﺍﻟْﺈِﻧﺲِ
ﻭَﺍﻟﻄَّﻴْﺮِ ﻓَﻬُﻢْ ﻳُﻮﺯَﻋُﻮﻥَ
“Dan Sulaiman telah mewarisi Daud dan dia berkata:
“Hai manusia, kami telah diberi pengertian tentang
suara burung dan kami diberi segala sesuatu.
Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia
yang nyata”. Dan dihimpunkan untuk Sulaiman
tentaranya dari jin, manusia dan burung lalu mereka
itu diatur dengan tertib (dalam barisan). (QS.An-
Naml:16-17)
Namun kerajaan yang demikian luas yang beliau
miliki, ternyata beliau tidak mengetahui sebuah
kerajaan yang “sangat terkenal kiprahnya dan
diketahui banyak orang”, sementara seekor burung
Hud-hud yang kecil, yang tentunya jauh lebih rendah
kedudukannya dibanding Nabi Sulaiman Alaihis
salaam, justru memiliki “fiqhul waqi’” tentang
kerajaan tersebut. Allah Ta’ala mengkisahkan tentang
percakapan antara Nabi Sulaiman dengan burung
dalam firman-Nya:
ﻭَﺗَﻔَﻘَّﺪَ ﺍﻟﻄَّﻴْﺮَ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻣَﺎ ﻟِﻲَ ﻟَﺎ ﺃَﺭَﻯ ﺍﻟْﻬُﺪْﻫُﺪَ ﺃَﻡْ ﻛَﺎﻥَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻐَﺎﺋِﺒِﻴﻦَ ﻟَﺄُﻋَﺬِّﺑَﻨَّﻪُ ﻋَﺬَﺍﺑًﺎ
ﺷَﺪِﻳﺪًﺍ ﺃَﻭْ ﻟَﺄَﺫْﺑَﺤَﻨَّﻪُ ﺃَﻭْ ﻟَﻴَﺄْﺗِﻴَﻨِّﻲ ﺑِﺴُﻠْﻄَﺎﻥٍ ﻣُّﺒِﻴﻦ ٍﻓَﻤَﻜَﺚَ ﻏَﻴْﺮَ ﺑَﻌِﻴﺪٍ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺃَﺣَﻄﺖُ ﺑِﻤَﺎ ﻟَﻢْ
ﺗُﺤِﻂْ ﺑِﻪِ ﻭَﺟِﺌْﺘُﻚَ ﻣِﻦ ﺳَﺒَﺈٍ ﺑِﻨَﺒَﺈٍ ﻳَﻘِﻴﻦٍ ﺇِﻧِّﻲ ﻭَﺟَﺪﺕُّ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓً ﺗَﻤْﻠِﻜُﻬُﻢْ ﻭَﺃُﻭﺗِﻴَﺖْ ﻣِﻦ ﻛُﻞِّ
ﺷَﻲْﺀٍ ﻭَﻟَﻬَﺎ ﻋَﺮْﺵٌ ﻋَﻈِﻴﻢٌ ﻭَﺟَﺪﺗُّﻬَﺎ ﻭَﻗَﻮْﻣَﻬَﺎ ﻳَﺴْﺠُﺪُﻭﻥَ ﻟِﻠﺸَّﻤْﺲِ ﻣِﻦ ﺩُﻭﻥِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺯَﻳَّﻦَ
ﻟَﻬُﻢُ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥُ ﺃَﻋْﻤَﺎﻟَﻬُﻢْ ﻓَﺼَﺪَّﻫُﻢْ ﻋَﻦِ ﺍﻟﺴَّﺒِﻴﻞِ ﻓَﻬُﻢْ ﻟَﺎ ﻳَﻬْﺘَﺪُﻭﻥَ ﺃَﻟَّﺎ ﻳَﺴْﺠُﺪُﻭﺍ ﻟِﻠَّﻪِ ﺍﻟَّﺬِﻱ
ﻳُﺨْﺮِﺝُ ﺍﻟْﺨَﺐْﺀَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻭَﻳَﻌْﻠَﻢُ ﻣَﺎ ﺗُﺨْﻔُﻮﻥَ ﻭَﻣَﺎ ﺗُﻌْﻠِﻨُﻮﻥَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻟَﺎ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻟَّﺎ
ﻫُﻮَ ﺭَﺏُّ ﺍﻟْﻌَﺮْﺵِ ﺍﻟْﻌَﻈِﻴﻢِ ﻗَﺎﻝَ ﺳَﻨَﻨﻈُﺮُ ﺃَﺻَﺪَﻗْﺖَ ﺃَﻡْ ﻛُﻨﺖَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻜَﺎﺫِﺑِﻴﻦَ
“Dan dia memeriksa burung-burung lalu berkata:
“Mengapa aku tidak melihat Hud-hud, apakah dia
termasuk yang tidak hadir. Sungguh aku benar-benar
akan mengazabnya dengan azab yang keras atau
benar-benar menyembelihnya kecuali jika benar-
benar dia datang kepadaku dengan alasan yang
terang”. Maka tidak lama kemudian (datanglah Hud-
hud), lalu ia berkata: “Aku telah mengetahui sesuatu
yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa
kepadamu dari negeri Saba’ suatu berita penting
yang diyakini. Sesungguhnya aku menjumpai seorang
wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi
segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang
besar. Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah
matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan
mereka memandang indah perbuatan-perbuatan
mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah),
sehingga mereka tidak dapat petunjuk, agar mereka
tidak menyembah Allah yang mengeluarkan apa yang
terpendam di langit dan di bumi dan yang
mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa
yang kamu nyatakan. Allah, tiada Tuhan yang
disembah kecuali Dia, Tuhan yang mempunyai ‘Arsy
yang besar”. Berkata Sulaiman: “Akan kami lihat,
apa kamu benar, ataukah kamu termasuk orang-
orang yang berdusta. (QS. An-Naml:20-27)
Adapun yang menunjukkan bahwa Nabi Sulaiman
tidak mengetahui kerajaan tersebut dari dua perkara:
Pertama: ucapan Hud-hud, “Aku telah mengetahui
sesuatu yang kamu belum mengetahuinya”.
Kedua: Nabi Sulaiman ‘alaihis salam yang ingin
membuktikan kebenaran apa yang diucapkan Hud-
hud.
Padahal bukankah ia punya sebuah kerajaan, yang
tentunya sangat terkenal kiprahnya dan diketahui
banyak orang ? Apakah ayat ini tidak cukup bukti
bagi orang-orang yang mau berfikir, dan tidak
mengekang dirinya dengan sikap ta’ashub dan
fanatik buta tanpa hujjah?
Bila hal ini telah jelas, maka butuh adanya
kerjasama (ta’awun) antara mustafti (yang meminta
fatwa, atau yang bertanya) dengan mufti (yang
berfatwa), kewajiban bagi mustafti adalah
menjelaskan dari berbagai sisi gambaran
permasalahan yang akan ditanyakan- baik positif dan
maupun negatif – sehingga sesuatu yang ditanya
tersebut dapat tergambar dengan jelas bagi seorang
mufti. Sebab penggambaran yang keliru dapat
menyebabkan fatwa yang keliru, bukan berasal dari
keteledoran seorang mujtahid dalam menjawab,
namun disebabkan kesalahan atau rekayasa si
penanya dalam menggambarkan kondisi yang
sebenarnya.
Dengan demikian, apa yang diucapkan oleh Al-Akh
Firanda, “Ini mirip dengan cara hizbiyyin dalam
menolak fatwa-fatwa para ulama kibar, yaitu dengan
tuduhan bahwa mereka tidak mengerti fiqhul waqi’,
sehingga fatwa mereka mentah, tidak sesuai dengan
kenyataan yang ada”, ini adalah kesalahan dan
kecerobohan yang sangat fatal.
Pengaruh “fiqhul waqi’” terhadap mufti Organisasi
Ihya At Turats, Abdurrahman Abdul Khaliq
Abdurrahman Abdul Khaliq, mufti organisasi Ihya At
Turots yang sangat membanggakan “fiqhul waqi’”-
nya, yang menyebabkan ia melecehkan para ulama
Ahlus Sunnah wal-jama’ah, bahkan melecehkan
sebagian para masyaikh dari guru-gurunya yang
pernah mengajarnya sewaktu dia masih belajar di
Jami’ah Islamiyyah. Ia berkata: [2]
“Sepantasnya kita memahami bahwa muslim yang
hakiki adalah yang hidup dengan keyakinannya dan
hidup di masanya, bukan hidup di luar jamannya.
Orang yang hidup di luar jamannya – dan hidup
hanya dengan pemikiran dan penanya – adalah
orang muslim. Namun dengan kondisi yang ada dan
dakwahnya, dia bukan muslim. Ini adalah sesuatu
yang tidak diridhai.” (Jama’ah Wahidah, karya syaikh
Rabi’ :33)
Ia juga mengatakan : “Sesungguhnya kami
menghendaki ulama yang setingkat masa kini,
ilmunya, pengetahuannya, adabnya, akhlaqnya,
keberaniannya, perjuangannya, memahami berbagai
makar dan tipu- daya terhadap Islam. Dan kami
tidak menginginkan adanya antrian dari para ulama
yang dikekang yang hidup dengan jasadnya di masa
kini, namun ia hidup dengan akal dan fatwanya
bukan pada jaman kita……..”.
Lalu ia melanjutkan:
“…agar ucapanku yang terdahulu tidak dipahami
sebagaimana mestinya, maka saya akan memberi
contoh nyata yang saya saksikan sendiri – dan itu
bukan contoh satu-satunya bagiku-. Dahulu ada
seorang alim yang mulia yang pernah mengajari
kami tafsir dan ushul fiqih [3]. Benar-benar dia
adalah seorang alim, dia tidak menyebut satu ayat
dari Kitabullah hingga ia menjelaskan pertama kali
adalah lafadz-lafadznya ditinjau dari bahasa, dengan
mengambil dukungan puluhan bait-bait sya’ir hanya
untuk satu lafadz. Lantas ia menjelaskan pengertian
kata-katanya, kemudian maknanya secara umum,
kemudian penafsiran Salaf terhadapnya, dengan
berdalil dengan hadits-hadits dan atsar. Kemudian
apa yang diambil dari faedah berupa hukum-hukum
fiqih, lalu apa yang bisa dikeluarkan darinya berupa
kaidah-kaidah ushul, kemudian ia menjelaskan apa
yang serupa dengannya dari ayat-ayat yang lain
dalam Kitabullah. Ia menyebut semua itu dalam
keadaan engkau terkagum melihat keluasan ilmu dan
penelitiannya. Namun orang ini tidaklah sesuai
sedikitpun dengan level jamannya, Dia tidak mampu
menjangkau syubhat yang dimunculkan seorang
musuh – dari musuh-musuh Allah- dan bahkan tidak
punya kesiapan sama sekali untuk mendengar
syubhat ini. Dan dia menyerang hakekat ilmu alam,
dia menuduh orang-orang yang membolehkan
pendaratan di bulan dengan kekufuran dan zindiqi
[4].”
Lalu ia berkata: “Adalah orang ini – yang mataku
tidak pernah melihat orang yang paling berilmu
terhadap Kitabullah darinya- , ia bagaikan
perpustakaan berjalan, namun cetakan lama yang
membutuhkan adanya koreksi dan revisi. Ini sekedar
contoh, dan ada pula yang selain dia [5] mengajar
puluhan mata pelajaran dalam ilmu syari’at dengan
level ini, namun bodoh terhadap kehidupan dan
berilmu tentang agama.” (Jama’ah Wahidah, Syaikh
Rabi’:49-51. Syaikh Nashir Al-Faqihi tatkala
memberi kata sambutan terhadap kitab Syaikh Rabi’
dalam muqaddimah kitabnya: An-Nashr Al-Aziz,
beliau pun menukil kembali ucapan Abdurrahman
Abdul Khaliq yang saya sebutkan di atas, yang
menunjukkan kebenaran penukilan ucapan tersebut
dari Abdurrahman Abdul Khaliq)
Dan dia juga mengatakan:
“Para ulama kami yang mulia – mereka tidak
mengetahui sedikitpun tentang organisasi-organisasi
rahasia milik musuh-musuh (Islam), dan mereka
tidak tahu banyak tentang gerakan dan taktik
mereka. Mereka tidaklah mempelajari syubhat
musuh-musuh dan makar mereka, mereka sama
sekali tidaklah pantas untuk membantah makar
musuh-musuh mereka. Bahkan mereka tidak mampu
membebaskan para pemuda umat ini dari kerusakan,
kekufuran yang dimurkai ini.”
(Khutut Ra’isiyyah, dikutip dari kitab Jama’ah
Wahidah: 53).
Ini adalah sebagian kecil dari penukilan ucapan
Abdurrahman Abdul Khaliq tentang fiqhul waqi’,
barangsiapa yang ingin melengkapi pengetahuannya,
silahkan merujuk Kitab “Jama’ah Wahidah” dan kitab
“An-Nashr Al-Aziz” yang keduanya ditulis oleh
Syaikh Rabi’ hafidzahullah Ta’ala. [6]
Saya tidak ingin menyebutkan bantahan terhadap
ucapan ini, namun saya hanya menukilnya untuk
diketahui oleh para pembaca, bahwa Abdurrahman
Abdul Khaliq adalah salah satu dari “faqih al-waqi’”
yang merendahkan kedudukan para ulama Ahlus
Sunnah wal jama’ah. Namun yang saya ingin
sampaikan bahwa pemikiran ini merupakan salah
satu diantara sekian penyimpangan yang dimiliki
tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin [7], dari merekalah
pemikiran ini berasal. Hal ini dijelaskan oleh Syaikh
Shalih Alus Syaikh hafidzahullah Ta’ala, beliau
menyatakan tatkala menjelaskan tentang pemahaman
yang benar dalam menyikapi “fiqhul waqi’”:
“…oleh karena itu kami mengatakan, bahwa
sesungguhnya keadaan politik dapat diketahui.
Adapun mendalaminya, maka ini sangatlah sulit
menjangkaunya, sampai para politikus sendiri mereka
tidak mengetahui hakikatnya. Kita mungkin
mendalami dari kondisi politik dengan apa yang
Allah Jalla wa ‘Alaa memberikan kepada kita
fiqihnya , berupa prinsip-prinsip yang kokoh dalam
menjelaskan hubungan antara seorang mukmin
dengan musuh-musuhnya. Ini adalah pokok-pokok
yang tetap, kita memahaminya dengan baik, seperti
mengenal musuh-musuh kaum muslimin. Allah
Ta’ala berfirman:
ﻭَﺍﻟﻠﻪُ ﺃَﻋْﻠَﻢُ ﺑِﺄَﻋْﺪَﺍﺋِﻜُﻢْ ﻭَﻛَﻔَﻰ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﻟِﻴًّﺎ ﻭَﻛَﻔَﻰ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻧَﺼِﻴﺮًﺍ ?] ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ 45: ]
“Dan Allah lebih mengetahui (dari pada kamu)
tentang musuh-musuhmu. dan cukuplah Allah
menjadi pelindung (bagimu). Dan cukuplah Allah
menjadi penolong (bagimu).” (QS.An-Nisaa:45)
Allah Jalla wa ‘Alaa menjelaskan kepada kita bahwa
kaum musyrikin seluruhnya sebagai musuh bagi kita,
bahwa Yahudi itu adalah musuh bagi kita, Nashara
adalah musuh bagi kita, orang-orang munafik adalah
musuh bagi kita. Hal ini adalah prinsip yang umum,
memahaminya adalah dengan memahami al-Kitab
dan Sunnah, dan tidak ada lagi fiqih tambahan.
Maka seorang mukmin mengambil sikap kehati-
hatiannya dengan fiqih yang diambil dari Al-Kitab
dan As-Sunnah, sebab fiqih yang khusus ini yang
disebut fiqhul waqi’ tidak dapat dijangkau oleh ilmu
tersebut –dan ia bukan fiqih-, tidak dijangkau kecuali
orang yang sangat khusus sekali.
Sedangkan suatu hal yang dimaklumi bahwa diantara
kaidah syariat yang ditetapkan oleh Asy-Syathibi dan
yang lainnya dalam kitabnya “Al-Muwafaqaat”, dan
dinyatakan pula oleh yang lainnya bahwa syariat
Islam adalah syariat yang ummiyyah, yaitu dalam
penetapan syariatnya dan apa yang dituntut oleh
syariat dari para penganutnya adalah melihat
keadaan mayoritas mereka, yaitu mereka yang ummi
(tidak dapat membaca dan menulis, pen). Dan
apabila hukum-hukum dibangun di atas sesuatu yang
tidak ada yang dapat menjangkaunya kecuali ‘orang
yang khusus’, maka ini merupakan celaan terhadap
syariat. Sebab hukum-hukum yang dibutuhkan
manusia seluruhnya tidak dibangun di atas
pengetahuan ‘orang-orang khusus’ dan hal yang
dimaklumi bahwa sikap muslim atas musuh-
musuhnya diperlukan oleh setiap orang. Oleh
karenanya Allah Jalla wa ‘Alaa menjelaskannya
dalam al-Qur’an dengan sangat terperinci.
Sesungguhnya kadar yang wajib dari (ilmu) tersebut
–yang dinamakan fiqhul waqi’ as-siyasi (memahami
kondisi politik)- kadar yang wajib – yang diwajibkan
kepada setiap muslim agar mengetahui dari kondisi
tersebut- : kondisi yang Allah kabarkan dalam kitab-
Nya atau yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu
alaihi wasallam dalam Sunnahnya. Namun apa yang
lebih dari itu, ada kalanya termasuk dalam fardhu
kifayah, dan ada kalanya termasuk diantara perkara
yang disukai, dan terkadang tidak terpuji dalam
sebagian keadaan, apabila menyebabkan dia menyia-
nyiakan pokok-pokok syari’at , sebab permasalahan
ini banyak terjadi.
“Orang yang pertama yang menyebutkannya –
sepengetahuan saya- di masa ini adalah Sayyid
Quthb dalam tafsirnya “Fi Dzilalil Qur’an” dalam
surat Yusuf –menurut persangkaanku dan mungkin
saja aku lupa [8] – ketika menjelaskan firman Allah
Ta’ala :
ﻗَﺎﻝَ ﺍﺟْﻌَﻠْﻨِﻲ ﻋَﻠَﻰ ﺧَﺰَﺁﺋِﻦِ ﺍﻷَﺭْﺽِ ﺇِﻧِّﻲ ﺣَﻔِﻴﻆٌ ﻋَﻠِﻴﻢٌ
“Berkata Yusuf: “Jadikanlah Aku bendaharawan
negara (Mesir); Sesungguhnya Aku adalah orang
yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”.
(QS.Yusuf:55)
Dia (Sayyid Quthb) membagi fiqih menjadi dua
bagian:
-Fiqhul Auraq (fiqih kertas)
-Fiqhul Harakah (fiqih pergerakan)
Dan dia mengatakan : “Sesungguhnya fiqih
pergerakan dibangun di atas fiqhul waqi’, dan
haruslah bagi pergerakan –yaitu jama’ah Islamiyyah
yang terorganisir- agar mementingkan fiqhul waqi’,
sebab pergerakan dibangun di atas pengetahuannya
terhadap fiqhul waqi’”. Dia lebih mementingkan
fiqhul waqi’ di atas apa yang dinamakan fiqih kertas,
sebab fiqih kertas –yaitu memahami al-Qur’an dan
As-Sunnah- hanyalah dibutuhkan jika daulah
Islamiyyah telah ditegakkan. Adapun jika daulah
Islamiyyah belum tegak, atau jama’ah Islam tidak
memiliki kekuatan politik yang dapat menegakkan
hukum, lalu bagaimana mungkin akan diperhatikan
‘fiqih kertas’ tersebut sebelum tegaknya (daulah
Islamiyah), sehingga mementingkan ‘fiqih kertas’
dalam kekosongan –menurut ungkapannya- dalam
keadaan kosong, tidak dapat diterapkan pada kondisi
tertentu. Lalu diapun memusatkan pembicaraannya
seputar fiqhul waqi’. Ini yang saya ketahui, dia yang
pertama menyebarkannya dan menyebutkannya, dan
fiqhul waqi’ hanyalah masyhur pada masa-masa 30
tahun terakhir , lalu menyebar di kalangan para da’i
dan pemuda.”
(Transkrip salah satu ceramah beliau yang berjudul:
“Pemahaman yang benar tentang fiqhul waqi’”, dari
program/barnamij Maktabah Shalih Alus Syaikh
“Ruhul Islam”, transkrip Al-Akh Salim Al-Jazairi).
Sayyid Quthb juga mengatakan dalam kitabnya
“Limadza A’damuni” (48-49):
“…aku telah membebankan kepada mereka agar
mengkhususkan diantara mereka orang-orang yang
mereka pilih sebelumnya, mereka yang meneliti
koran-koran dunia dan berita-berita dunia dan jika
memungkinkan kitab-kitab yang diterbitkan dalam
dua bahasa: Inggris dan Perancis serta memiliki
semangat Islam dan mantiq Islami.”
Syaikh Rabi’ tatkala menukilkan ucapan Sayyid ini
mengatakan: “Ini awal pijakan dari apa yang mereka
namakan “fiqhul waqi’”, yang telah melalaikan
banyak dari para pemuda untuk mementingkan ilmu
syar’i, serta menanamkan dalam jiwa mereka sikap
merendahkan ulama dan memalingkan para pemuda
dari mereka. Bahwa dengan hawa nafsu mereka
(hizbiyyun) memunculkan berbagai tuduhan dan
hukum bahwa mereka (ulama) adalah “antek-antek”
dan “mata-mata” , “ulama haid dan nifas” dan ”
mereka antrian (terbelakang) dari orang –orang yang
dikekang (masa lalu) dan ilmu mereka hanya
kulitnya saja”. Dan Sayyiq Quthb telah menjadi
contoh dalam mencela para ulama dan mencerca
mereka, ilmu dan kitab-kitab mereka. (Dikutip dari
kitab Yanbu’ al-Fitan:6, karya Syaikh Rabi’, ta’liq
atas perkataan Sayyid Quthb rahimahullah).
Dari apa yang kita paparkan sangat nampak sekali
pengaruh dakwah Ikhwanul Muslimin yang bercokol
pada diri Abdurrahman Abdul Khaliq, sehingga
sampai kepada tingkat merendahkan kedudukan para
ulama Ahlus Sunnah wal-Jama’ah dan memberinya
gelar-gelar yang buruk. Berkata At-Thahawi
rahimahullah dalam aqidahnya:
” ﻭﻋﻠﻤﺎﺀ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﺎﺑﻘﻴﻦ، ﻭﻣﻦ ﺑﻌﺪﻫﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﺎﺑﻌﻴﻦ –ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺨﻴﺮ ﻭﺍﻷﺛﺮ،
ﻭﺃﻫﻞ ﺍﻟﻔﻘﻪ ﻭﺍﻟﻨﻈﺮ- ﻻ ﻳﺬﻛﺮﻭﻥ ﺇﻻ ﺑﺎﻟﺠﻤﻴﻞ، ﻭﻣﻦ ﺫﻛﺮﻫﻢ ﺑﺴﻮﺀ ﻓﻬﻮ ﻋﻠﻰ ﻏﻴﺮ
ﺍﻟﺴﺒﻴﻞ
“Ulama Salaf yang terdahulu, dan yang setelahnya –
dari yang mengikuti mereka –dalam kebaikan dan
mengikuti atsar, ahli fiqih dan berpandangan-
mereka tidak disebut kecuali dengan kebaikan,
barangsiapa yang menyebut mereka dengan
keburukan, maka dia bukan di atas jalan (yang
benar).”
Sebenarnya dengan apa yang telah kami sebutkan,
sudah cukup untuk menjelaskan tentang keadaan
Abdurrahman Abdul Khaliq dari sisi manhaj yang
dimilikinya. Demikian besar pengaruh manhaj Al-
Ikhwanul Muslimun terhadap dakwah yang sedang
dijalankan olehnya. Sehingga sangat wajarlah kalau
Al-Akh Firanda memasukkannya dalam daftar “para
hizbiyyin” yang dia sebutkan sebelumnya.
Para pembaca yang budiman – semoga Allah
senantiasa merahmati kita semua- , untuk
melengkapi data bagi para pembaca –disamping
kesalahan yang telah kami sebutkan yakni bersikap
berlebih-lebihan dalam menyikapi fiqhul waqi’,
mencela ulama, bahkan gurunya sendiri, – yang ingin
mengetahui lebih jauh tentang penyimpangan tokoh
penting dalam organisasi Ihya At-Turats ini, maka
kami akan meringkasnya dalam poin-poin berikut:
- Menganggap bahwa diantara metode dakwah Nabi
shallallahu alaihi wasallam adalah berdemonstrasi
- Menganggap bahwa kondisi kaum muslimin yang
terpecah-pecah menjadi berkelompok-kelompok dan
berjama’ah adalah fenomena yang sehat
- Membolehkan masuk ke dalam parlemen, bahkan
menulisnya dalam kitab khusus dengan judul
“Masyru’iyyah ad-Dukhul ilaa al-Majalis at-
Tasyri’iyyah” (di Kuwait dan Bahrain ada parpol
dengan nama Salafi, red)
- Membagi syari’at Islam menjadi dua bagian yakni
kulit dan isi. Dan Abdurahman Abdul Khaliq
mengatakan : “Sayang sekali, kita memiliki para
Syaikh yang memahami kulit-kulit Islam, pada
tingkatan masa-masa lalu yang telah mengalami
perubahan dalam aturan kehidupan manusia dan
metode mu’amalah mereka.”
- Menuduh salafiyyin yang membantah ahlul bid’ah
sebagai orang yang bermanhaj Khawarij yang
memberontak terhadap Utsman radhiyallahu ‘anhu
dan membunuhnya
- Menguatkan manhaj muwazanah, dalam
menyebutkan kebaikan dan keburukan ahlul bid’ah.
- Ia dengan organisasinya telah membentuk
hizbiyyah tanpa memperhatikan masalah tashfiyah
dan tarbiyah.
- Ia dengan organisasinya telah menempuh cara Al-
Ikhwanul Muslimun dalam berdakwah lewat politik.
Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata tentangnya :
“Politik telah merubahnya…”
Menganggap boleh melakukan sebagian perkara
haram untuk mencapai tujuan. Ia berkata dalam
kitabnya “Al-Muslimun wal ‘Amal as-Siyasi”, hal:56:
“Seorang muslim tidaklah mungkin menangani
perdagangan, pertanian, keterampilan dan amalan
apapun, kecuali dengan melakukan sebagian perkara
– yang haram – yang telah ditetapkan oleh kondisi
yang menyimpang dari agama.”
Dan masih banyak lagi yang lainnya, yang akan kita
sebutkan pada edisi selanjutnya, insya Allah Ta’ala.
Untuk mengetahui semua apa yang kami sebutkan,
silahkan merujuk ke referensi berikut:
- Jama’ah Wahidah laa Jamaa’aat, tulisan Syaikh
Rabi’
- Mulahadzoot ‘alaa Ba’dhi Kutub As-Syaikh
Abdurrahman Abdul Khaliq, tulisan Syaikh Bin Baaz
rahimahullah, terdapat dalam fatawa Ibnu Baaz:
8/240-245
- An-Nashr Al-Aziz, tulisan Syaikh Rabi’
hafidzahullah, dengan kata sambutan dari Syaikh
Ahmad An-Najmi hafidzahullah
- Fatawa Al-Albani dari kaset Silsilah Al-Huda wan-
Nuur:200, dari program Ahlul Hadits wal Atsar
- Fatawa Al-Albani dari kaset Silsilah Al-Huda wan-
Nuur: no: 700, dari program Ahlul Hadits wal Atsar.
Jika ada yang mengatakan : “Kami sudah tahu
tentang penyimpangan Abdurrahman Abdul Khaliq,
namun apa hubungan antara kesalahan-kesalahan
Abdurrahman Abdul Khaliq dengan organisasi Ihya
At-Turats?”
Maka kami menjawab dari beberapa sisi:
1. Perlu kita mengetahui –semoga Allah senantiasa
membukakan hati kita untuk menerima al-haq-
bahwa pengaruh dan campur tangan Abdurrahman
Abdul Khaliq terhadap Ihya At-Turats adalah seperti
pengaruh Hasan Al-Banna terhadap al-Ikhwanul
Muslimun. Sebagaimana seseorang yang apabila dia
hendak mengetahui tentang gerakan Al-Ikhwanul
Muslimun, maka dengan cara mempelajari model
dan pemikiran dakwah Hasan Al-Banna serta tokoh-
tokohnya. Maka demikian pula Abdurrahman Abdul
Khaliq, yang memiliki peranan yang sangat penting
dalam organisasi tersebut, dan pendapat-
pendapatnya-lah yang selalu dikedepankan dalam
menjalankan “hizbiyyah” Ihya’ At-Turats. Dan itu
sangat nampak sekali dari manhaj mereka yang
dituangkan lewat majalah mereka yang dinamakan
“Al-Furqan”, dan juga berdasarkan data-data dan
kesaksian dari para masyaikh dan penuntut ilmu
yang mereka pernah hidup bersama mereka. Hal ini
akan kita beberkan pada edisi berikutnya, insya Allah
Ta’ala.
2. Bahwa Abdurrahman Abdul Khaliq-lah yang
menjadi penyebab perpecahan yang terjadi di
Indonesia, dengan kedatangannya ke ma’had Al-
Irsyad, Tengaran, Boyolali dan sempat mengisi
ceramah disana. Disaat beberapa ustadz berkumpul
di sana untuk mendengar taushiyah dari ‘Syaikh’
Abdurrahman Abdul Khaliq –semoga Allah memberi
hidayah kepada kita semua-, lalu kemudian terjadi
forum tanya-jawab. Adapun yang saya ingat ketika
itu (dan saya hanya mendengar dari kaset, namun
beberapa ustadz menghadiri secara langsung majelis
tersebut, diantara yang saya ingat adalah Al-Ustadz
Muhammad Sewed, dan Al-Ustadz Shalih Su’aidi.
Dan ketika itu belum jelas keadaan Abdurrahman
Abdul Khaliq dan hakikat penyimpangannya oleh
sebagian kalangan para ustadz tersebut) bahwa
Abdurrahman sangat getol melakukan pembelaannya
terhadap Yusuf Al-Qaradhawi. Abdurahman juga
memujinya (Yusuf), menyatakan andilnya yang
sangat besar terhadap Islam –menurutnya, ia
mencela orang yang merendahkan kedudukannya.
Bahkan ia sampai kepada tingkat mentahdzir orang
yang melecehkan Yusuf Al-Qaradhawi agar tidak
menghadiri majelis orang yang seperti itu. Apa yang
saya sebutkan ini banyak diketahui oleh ikhwan yang
mengalami awal terjadinya perpecahan pada saat
itu. Tapi sayang sekali, kaset itu entah dimana
karena kejadian ini sudah cukup lama sekali, kalau
tidak salah di tahun 1996, sepuluh tahun yang lalu.
Oleh karenanya, sungguh benar apa yang disebutkan
oleh Syaikh Muqbil rahimahullah Ta’ala:
ﻓﺠﻤﻌﻴﺔ ﺇﺣﻴﺎﺀ ﺍﻟﺘﺮﺍﺙ ﺑﺎﻟﻜﻮﻳﺖ ﻫﻲ ﺍﻟﺘﻲ ﺗﺠﻤﻊ ﺍﻷﻣﻮﺍﻝ ﺛﻢ ﺗﺮﺳﻞ ﻋﺒﺪﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺑﻦ
ﻋﺒﺪﺍﻟﺨﺎﻟﻖ ﻟﻴﻀﻞ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭﻳﺸﺘﺖ ﺷﻤﻠﻬﻢ، ﻓﺎﻟﺪﻋﻮﺓ ﻏﻨﻴﺔ ﻋﻦ ﻋﺒﺪﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﻭﻋﻦ
ﺃﻓﻜﺎﺭﻩ، ﻓﻌﻠﻴﻪ ﺑﺎﻟﺠﻠﻮﺱ ﻓﻲ ﺑﻴﺘﻪ
“Organisasi Ihya At Turots di Kuwait, yang
mengumpulkan harta lalu mengirim Abdurrahman
Abdul Khaliq untuk menyesatkan manusia dan
memecah-belah persatuan mereka. Maka dakwah ini
tidak membutuhkan Abdurrahman Abdul Khaliq dan
pemikirannya. Hendaklah ia duduk di
rumahnya.” (Dikutip dari kitab Tuhfatul Mujib :
As’ilah Syabab Andunusia, pertanyaan no:75)
Oleh karena itu, tatkala para ulama menjelaskan
tentang kondisi dakwah Salafiyyah model
“Abdurrahman Abdul Khaliq”, maka mereka tidak
mengkhususkan pembicaraannya terhadap
Abdurrahman Abdul Khaliq, namun mengikut-
sertakan organisasinya yang diatur dan dididik oleh
Abdurrahman dengan pemikiran “Al-Ikhwanul
Muslimun”-nya. Sementara yang menunjukkan apa
yang saya sebutkan adalah tatkala Syaikh Al-Albani
–tentu beliau termasuk ulama senior dalam
pandangan Firanda dan yang lainnya- ditanya dalam
salah satu majelisnya tentang buku Abdurrahman
Abdul Khaliq yang menulis tentang disyariatkannya
melakukan amalan politik. Beliau (syaikh Al Albani)
menyampaikan nasehat setelah beliau membaca
risalah tersebut, dan diantara yang beliau katakan:
ﻓﻲ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩﻱ ﺃﻥ ﺍﻹﺧﻮﺍﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﻜﻮﻳﺖ ﺧﻮﻓﻲ ﻣﻨﻬﻢ ﺷﺪﻳﺪ ﻳﺼﺒﺤﻮﻥ ﻛﺎﻹﺧﻮﺍﻥ
ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ , ﻣﺎ ﻳﻬﺘﻤﻮﻥ ﺑﺎﻟﺪﻋﻮﺓ , ﻣﺎ ﻳﻬﺘﻤﻮﻥ ﺑﻤﺎ ﺃﺳﻤﻴﻪ ﺑﺎﻟﺘﺼﻔﻴﺔ ﻭﺍﻟﺘﺮﺑﻴﺔ ,
ﻫﻤﻬﻢ ﺍﻟﺪﻋﻮﺓ ﺍﻟﺴﺎﺳﻴﺔ ﻭﺍﻟﻤﻨﺎﺻﺐ ﻭﺍﻻﻧﺘﺨﺎﺑﺎﺕ ﻭﺍﻟﺒﺮﻟﻤﺎﻥ ﻭﻧﺤﻮ ﺫﻟﻚ . ﻭﺃﻛﺜﺮ ﻣﻦ
ﻫﺬﺍ ﻛﻮﻧﻪ ﻳﺼﺮﺡ ﺑﺄﻧﻪ ﻻ ﺑﺪ ﻣﻦ ﺍﺭﺗﻜﺎﺏ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻤﺤﺮﻣﺎﺕ, ﻷﻧﻪ ﻟﻮ ﺗﺼﺪﺭ ﻣﻦ
ﺇﻓﺮﻧﺠﻲ ﻛﺎﻥ ﻛﺜﻴﺮﺍ, ﻓﻜﻴﻒ ﻣﻦ ﺳﻠﻔﻲ؟ ﺭﺑﻨﺎ ﻳﻘﻮﻝ } ﻭﻣﻦ ﻳﺘﻖ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﺠﻌﻞ ﻟﻪ
ﻣﺨﺮﺟﺎ ﻭﻳﺮﺯﻗﻪ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ ﻻ ﻳﺤﺘﺴﺐ { ﻭﻫﻮ ﻳﻘﻮﻝ : ﻻ ﺑﺪ ﻣﻦ ﺍﺭﺗﻜﺎﺏ ﺑﻌﺾ
ﺍﻟﻤﺤﺮﻣﺎﺕ, ﻭﻓﻲ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﻤﺸﻬﻮﺭ )) ﻓﺈﻥ ﻣﺎ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳﻨﺎﻝ ﺑﺎﻟﺤﺮﺍﻡ ))
“Dalam keyakinanku, bahwa para ikhwan yang ada di
Kuwait –aku sangat khawatir terhadap mereka-
mereka telah menjadi seperti Al-Ikhwanul Muslimun,
mereka tidak mementingkan perkara dakwah, tidak
mementingkan dengan apa yang saya namakan
dengan “tashfiyah dan tarbiyah”. Kepentingan
mereka adalah politik, kedudukan, pemilu, parlemen,
dan yang semisalnya. Lebih dari itu yakni dia
(Abdurrahman Abdul Khaliq) menyatakan bahwa
diharuskan melakukan sebagian perkara yang
diharamkan! Sebab hal ini jika diucapkan seorang
kafir, ini merupakan perkara besar, lalu bagaimana
jika diucapkan oleh seorang Salafi? Rabb kita
berfirman:
ﻭَﻣَﻦ ﻳَﺘَّﻖِ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳَﺠْﻌَﻞ ﻟَّﻪُ ﻣَﺨْﺮَﺟًﺎ ﻭَﻳَﺮْﺯُﻗْﻪُ ﻣِﻦْ ﺣَﻴْﺚُ ﻟَﺎ ﻳَﺤْﺘَﺴِﺐُ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia
akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan
memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-
sangkanya.”
(QS.At-Tholaq:2-3)
Sementara dia (Abdurrahman Abdul Khaliq)
mengatakan: “Harus melakukan sebagian perkara
yang diharamkan”. Maka dalam hadits yang
masyhur: “Sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah
tidak boleh didapatkan dengan cara yang haram” [9].
(Dikutip dari kaset Silsilah al-Huda wan Nuur, fatawa
Syaikh Al-Albani rahimahullah, no: 166, dari program
Ahlul Hadits wal Atsar).
3. Memberi peringatan kepada kaum muslimin dari
bahaya pemikiran Abdurrahman Abdul Khaliq,yang
disebarkan melalui berbagai kegiatan Organisasi Ihya
At-Turats di berbagai negara secara umum dan di
Indonesia secara khusus, agar mereka tidak
terpengaruh dari berbagai penyimpangan dan
kesesatan tersebut. Sebab boleh jadi seseorang
dapat terpengaruh –baik secara langsung maupun
tidak – dengan sebab sikap husnudz-dzhan (berbaik
sangka) kepada organisasi ini, sehingga dapat
menyebabkan ia merendahkan kedudukan seseorang
–terlebih bila dia tergolong dalam salah satu ulama
“paling senior”- yang mengkritik dan menjelaskan
kesesatan dan penyimpangannya.
Al-Ustadz Al-Fadhil Ibnu Yunus hafidzahullah
(Makassar) mengabarkan kepada kami bahwa
pernah terjadi pertemuan empat mata antara beliau
dengan Al-Akh Firanda, terjadi dialog diantara
keduanya. Diantara yang disebutkan oleh Firanda
bahwa ia dikabari oleh gurunya yang mengajarinya di
“Jami’ah Islamiyyah” Madinah Nabawiyyah, bahwa
“keadaan kota Madinah “lebih kondusif” setelah
Syaikh Rabi’ “diusir” dari kota tersebut”. Kira-kira
itulah yang dia sebutkan dalam pertemuan tersebut.
Maka bila hal ini benar, sungguh Firanda telah
menjadi buta dengan sebab kecintaannya terhadap
organisasi Ihya at-Turats dan yang bekerjasama
dengan mereka, dengan sebab itulah yang
menyebabkan dia berani menukil berita “bohong dan
palsu” yang memang dijadikan senjata oleh para
hizbiyyun, untuk merendahkan kedudukan Asy-Syekh
Rabi’ hafidzahullah Ta’ala. Wallahul musta’an.
Mungkin saja Firanda berusaha mengelak dan
mengatakan : “Saya tidak bermaksud merendahkan
Syaikh Rabi’ dengan penukilan tersebut”.
Kami katakan: “Lalu apa maksud antum menukil
berita dusta itu?”, sebab seseorang tatkala menukil
sebuah berita, maka dia tidak menukilnya melainkan
disebabkan satu tujuan tertentu:
- Apakah ia menukil untuk membantah kedustaan
berita tersebut, dan itu tidak anda lakukan,
sebagaimana yang dikisahkan kepada kami tentang
pertemuan tersebut ?
- Apakah ia menukil untuk membenarkan apa yang
diceritakan oleh guru anda ?
Adapun kalau hanya sekedar menukil dan tidak
bermaksud apa-apa, atau sekedar pengisi waktu
disaat ngobrol, maka yang demikian bukan ciri-ciri
seorang yang pantas disebut sebagai “thalibul ‘ilmi”.
Apalagi bagi mereka yang telah mendapat gelar “LC”
Licente, “MA” Master of Art, “penuntut ilmu senior”
dan yang semisalnya.” Sikap lempar batu sembunyi
tangan semacam yang anda tunjukkan ini tidaklah
mencerminkan kepribadian seorang Salafi dan Ahlis
Sunnah.
Mari kita menyadari dan merenungi dosa dan
kesalahan kita masing-masing tanpa harus membuat
trik-trik yang mengesankan kita terbebas dari dosa
dan kesalahan. Ketahuilah, sesungguhnya daging
para ulama itu beracun !
Adapun bantahan terhadap berita”dusta dan palsu”
ini akan kami nukilkan pada edisi berikutnya, insya
Allah Ta’ala.
(BERSAMBUNG INSYA ALLAH)
Catatan kaki :
1. At-Tashfiyah adalah menjernihkan berbagai noda
yang melekat dalam hati kaum muslimin, berupa
noda syirik, kekufuran, bid’ah dan yang lainnya. Dan
At-Tarbiyah adalah mendidik umat dengan
pemahaman yang benar berdasarkan Al-Qur’an,
Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,
berdasarkan pemahaman Salafus Shalih.
2. Pernyataan Abdurrahman Abdul Khaliq saya nukil
dari kitab Syaikh Rabi’ “Jama’ah Wahidah laa
jama’aat”. Mungkin ada yang mengatakan: “bisa
saja Syaikh Rabi’ salah dalam penukilan?” Maka
saya menjawab: “Benar, namun asal penukilan
seorang yang tsiqoh adalah terpercaya. Apalagi
dikuatkan dengan kesaksian dari Syaikh Ali bin
Muhammad Nashir Al-Faqihi – hafizhahullah –
ketika beliau memuji kitab tulisan Syaikh Rabi’
tersebut, lantas beliau berkata: “Sesungguhnya aku
telah membaca kitab ini, dan aku mendapatinya
sebagai pembahasan ilmiah yang terpercaya”. Dan
berkata pula : “Aku tidak ragu terhadap penukilan
Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali dari Abdurrahman,
apa yang ia sebutkan dari hal: 38-43 dari tulisannya
ini. Namun untuk semakin memntapkan hatiku
dengan itu, akupun merujuk kembali ke kitab
Abdurrahman Abdul Khaliq yang berjudul: “Khutut
Ra’isiyyah Liba’tsi al-Ummah al-Islamiyyah, cetakan
kedua, tahun 1406 H.” Selesai.
Ucapan beliau dapat dilihat dalam kata sambutannya
terhadap kitab Syaikh Rabi’ yang berjudul “An-Nashr
Al-Aziz”
3. Beliau adalah Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-
Syinqithi rahimahullah Ta’ala.
4. Syaikh Nashir Al-Faqihi – hafidzahullah –
menjelaskan, dari Asy-Syinqithi – rahimahullah –
bahwa Syaikh tidak pernah menuduh orang yang
membenarkan pendaratan orang di Bulan sebagai
kufur dan zindiq. Namun beliau hanya mengatakan:
“Dhohir dari ayat menunjukkan bahwa bulan berada
di dalam langit, atau di langit-langit. Jika demikian,
maka ini menunjukkan bahwa mereka mustahil dapat
sampai ke sana. Namun jika tidak demikian, maka
berarti kami belum memahami Al-Qur’an. “Dan
beliau berbicara tentang orang-orang kafir dan
keinginan mereka untuk menyesatkan kaum
muslimin.
Dan Syaikh Rabi juga menukil dari tulisan salah
seorang penulis Barat yang berjudul “Kami tidak
mendarat di Bulan”, yang dimuat di majalah “Al-
Mujahid” dari Afghanistan, dalam dua edisi
menjelaskan tentang kedustaan Amerika dan NASA-
nya yang mengaku telah mendarat di Bulan.
(Dikutip dari kitab Jama’ah Wahidah: 50-51)
5. Siapa yang dimaksud Abdurrahman Abdul Khaliq
dengan “selain dia”?, perlu diketahui bahwa diantara
para pengajar di Jami’ah Islamiyyah pada saat itu
adalah Syekkh Bin Baaz dan Syaikh Al-Albani
rahimahumallah.
6. Kami banyak menukil dari kitab Syaikh Rabi’
hafidzahullah bukan disebabkan karena kami taqlid
kepada beliau atau kepada yang lainnya, sama sekali
tidak. Sebab merupakan pokok ajaran Ahlus Sunnah
wal jama’ah adalah menjadikan Al-Qur’an dan As-
Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah sebagai
pedoman dalam berislam yang benar. Namun karena
beliau yang paling banyak menghabiskan umurnya
untuk menulis dan membantah syubhat para
hizbiyyun, yang disertai dalil dan referensi yang
terpercaya, dan ketsiqahan para ulama terhadap
bantahan-bantahan beliau, terkhusus Syaikh Bin
Baaz dan Al-Albani rahimahumallah, sehingga kami
banyak menukil dari kitab beliau. Namun sebagian
orang yang benci dengan “dakwah salafiyyah” yang
mulia ini, sengaja melontarkan berbagai gelar-gelar
yang buruk terhadap dakwah tersebut, seperti gelar
“taqlid Syaikh Rabi’”, atau “Salafi Yamani”, “Taqlid
Syaikh Muqbil”, dan yang semisalnya. Wallahul
musta’an.
7. Syaikh Zaid Al-Madkhali hafidzahullah
berkomentar terhadap ucapan Abdurrahman Abdul
Khaliq yang merendahkan kedudukan gurunya sendiri
– Syaikh Asy-Syinqithi – : “Bahwa ucapannya
terhadap Syaikh Asy-Syinqithi mirip seperti apa yang
diucapkan oleh Muhammad Al-Ghazali –
rahimahullah- : bahwa sesungguhnya Asy-Syinqithi
mempermainkan lafadz, ” ia menyebutkannya dalam
kitabnya: “‘Ilal wa adwiyah”. Lihat muqoddimah kitab
“An-Nashrul Aziz”, tulisan Syaikh Rabi’.
8. Apa yang beliau sebutkan tentang ucapan Sayyid
Quthb pada ayat tersebut adalah benar, setelah
dilakukan pengecekan, dan beliau menukilnya secara
makna, Sayyid Quthb berbicara tentang kedua jenis
fiqih tersebut.
9. Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam “Hilyatul
Auliya’:10/27, dari Abu Umamah dengan lafadz:
ﺇﻥ ﺭﻭﺡ ﺍﻟﻘﺪﺱ ﻧﻔﺚ ﻓﻲ ﺭﻭﻋﻲ ﺃﻥ ﻧﻔﺴﺎ ﻟﻦ ﺗﻤﻮﺕ ﺣﺘﻰ ﺗﺴﺘﻜﻤﻞ ﺃﺟﻠﻬﺎ ﻭ
ﺗﺴﺘﻮﻋﺐ ﺭﺯﻗﻬﺎ ﻓﺎﺗﻘﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪ ﻭ ﺃﺟﻤﻠﻮﺍ ﻓﻲ ﺍﻟﻄﻠﺐ ﻭ ﻻ ﻳﺤﻤﻠﻦ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﺍﺳﺘﺒﻄﺎﺀ
ﺍﻟﺮﺯﻕ ﺃﻥ ﻳﻄﻠﺒﻪ ﺑﻤﻌﺼﻴﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﺈﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻻ ﻳﻨﺎﻝ ﻣﺎ ﻋﻨﺪﻩ ﺇﻻ ﺑﻄﺎﻋﺘﻪ
“Sesungguhnya Jibril telah meniupkan ke dalam
hatiku bahwa satu jiwa tidak akan mati sampai
ajalnya sempurna, dan rizkinya telah terpenuhi, maka
bertakwalah kepada Allah dan baiklah dalam mencari
(rizki), dan janganlah salah seorang kalian bila
diperlambat rizkinya, maka dia mencarinya dengan
cara berbuat maksiat. Karena sesungguhnya tidak
diperoleh apa yang ada di sisi-Nya kecuali dengan
cara ta’at kepada-Nya.”. Hadits ini dishahihkan Al-
Albani dalam Shahih al-Jami’ As-Shaghir:2085 dan
juga diriwayatkan dari jalan yang lainnya.
(Dikutip dari tulisan al Ustadz Abu Karimah Askari,
judul asli IHYA ATTUROTS, BONEKA ABDURRAHMAN
ABDUL KHALIQ. URL Sumber http://
www.darussalaf.or.id/index.php?
name=News&file=article&sid=424 )

Kunjungi situs kami di www.tunas-tauhid.blogspot.com

No comments:

Post a Comment