Monday, February 17, 2014

Terkait hukum video makhluk dan fhotografi makhluk

Berikut adalah pertanyaan dan jawaban seputar masalah
video fotografi oleh dua ‘ulama besar Saudi Arabia
(Hafidzahumallah) yaitu Syaikh Bin Baaz dan Syaikh
Al-’Utsaimin, berkaitan dengan hadits :
Dari Ibnu Mas’ud Radiyallahu `anhu, ia berkata :
Rasulullah Shallallahu `alaihi wasalam bersabda :
“Sesungguhnya manusia yang paling keras disiksa di hari
Kiamat adalah para tukang gambar [makhuk hidup] ( yaitu
mereka yang meniru ciptaan Allah)”. (Shahihain – yakni
dalam dua kitab Shahih Bukhari dan Muslim atau biasa
disebut muttafaqun `alaihi,.
Syaikh Abdullah Bin Abdul Aziz Bin Baz ditanya :
Bagaimana dengan hukum fotografi, apakah sama seperti
kalau kita menggambar dengan tangan? Bagaimana
dengan foto Syaikh (Bin Baz, red) yang ada di majalah,
apakah ini menunjukkan bolehnya gambar walaupun itu di
luar sepengetahuan syaikh tersebut? kalau foto tidak
boleh, bagaimana hukumnya membeli koran dan majalah
yang penuh dengan foto, walaupun yang kita cari adalah
berita-berita penting bukan fotonya? Apakah boleh boleh
meletakkan koran dan majalah tersebut di mushalla
ataukah kita harus merusaknya setelah membaca? Lantas
bagaimana pula hukumnya menonton televisi ?
Jawab :
Fotografi termasuk pembuatan gambar yang diharamkan
dan hukumnya sama seperti menggambar dengan tangan.
Yang berbeda adalah cara pembuatannya. Demikian juga
alat ini tidaklah menunjukkan perbedaan dalam hukumnya.
Tidak ada bedanya orang itu harus bersusah payah dahulu
untuk membuat gambar atau tidak. Sedangkan mengenai
gambar saya (Syaikh bin Baz rahimahullah) yang dimuat
di majalah, itu adalah diluar sepengetahuan saya. Dan ini
tidaklah menunjukkan bahwa saya mengizinkannya, saya
pun tidak meridhoinya.
Tentang majalah dan surat kabar yang memuat berita
penting dan masalah keilmuan yang bermanfaat sendang
di dalamnya ada gambar-gambar bernyawa, maka boleh
membelinya dan mengambil manfaat darinya berupa ilmu,
dan berita, sedangkan gambar-gambar itu hanya mengikuti
saja. Hukum majalah dan koran itu mengikuti asal
tujuannya, yaitu tanpa gambar-gambar itu. Tentu saja
boleh meletakkannya di mushalla dengan menutupi
gambarnya atau menghapus kepalanya (kebanyakan orang
menganggap cukup dgn menghapus matanya, red).
Mengenai televisi, tidak boleh ditaruh di mushalla dan
tidak boleh menonton acara-acara yang mempertontonkan
acara-acara yang mempertontonkan perempuan telanjang
atau perbuatan-perbuatan lain yang tidak senonoh.

cara- yg bathil dalam menegakkan daulah islamiyyah

Cara-Cara Batil Menegakkan Daulah
Islamiyah

ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Luqman Ba’abduh

 Tema Khilafah Islamiyyah ternyata memiliki daya tarik
cukup besar. Isu ini terbukti mampu menimbulkan
sentimen tersendiri di kalangan kaum muslimin. Banyak
yang semangatnya tergugah dan kemudian ramai-ramai
berjuang agar Khilafah Islam kembali berdiri. Namun
sayang, perjuangan mereka jauh dari tuntunan syariat.
Akhirnya, kegagalan demi kegagalan yang mereka raih.
Yang lebih tragis, tak sedikit darah kaum muslimin
tertumpah akibat perjuangan mereka yang hanya
bermodal semangat itu.
Ketika kaum muslimin, terkhusus para aktivisnya, telah
menjauhi dan meninggalkan metode dan cara yang
ditempuh oleh para nabi dan generasi Salaful Ummah di
dalam mengatasi problematika umat dalam upaya
mewujudkan Daulah Islamiyyah, tak pelak lagi mereka
akan mengikuti ra`yu dan hawa nafsu. Karena tidak ada
lagi setelah Al-Haq yang datang dari Allah I dan Rasul-
Nya n serta Salaful Ummah, kecuali kesesatan.
Sebagaimana firman Allah:
“Maka apakah setelah Al Haq itu kecuali
kesesatan?” (Yunus: 32)
Dengan cara yang mereka tempuh ini, justru
mengantarkan umat ini kepada kehancuran dan
perpecahan, sebagaimana firman Allah I:
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-
Ku yang lurus, maka ikutlah dia, dan janganlah kalian
mengikuti As-Subul (jalan-jalan yang lain), karena
jalan-jalan itu menyebabkan kalian tercerai berai dari
jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kalian bertaqwa.” (Al-An’am: 153)
Di antara cara-cara sesat yang mereka tempuh antara
lain:
1. Penyelesaian problem umat melalui jalur politik
dengan ikut terjun langsung atau tidak langsung dalam
panggung politik dengan berbagai macam alasan untuk
membenarkan tindakan mereka.
Di antara mereka ada yang beralasan bahwa tidak
mungkin Daulah Islamiyyah akan terwujud kecuali
dengan cara merebut kekuasaan melalui jalur politik,
yaitu dengan memperbanyak perolehan suara dukungan
dan kursi jabatan dalam pemerintahan. Sehingga dengan
banyaknya dukungan dan kursi di pemerintahan, syariat
Islam bisa diterapkan. Walaupun dalam pelaksanaannya,
mereka rela untuk mengadopsi dan menerapkan sistem
politik Barat (kufur) yang bertolak belakang seratus
delapan puluh derajat dengan Islam. Mereka sanggup
untuk berdusta dengan menyebarkan isu-isu negatif
terhadap lawan politiknya. Bila perlu, merekapun
sanggup untuk mencampakkan prinsip-prisip Islam yang
paling utama dalam rangka untuk memuluskan ambisi
mereka, baik melalui acara ‘kontrak politik’ atau yang
semisalnya.1 Bahkan tidak jarang merekapun sanggup
untuk berdusta atas nama Ulama Ahlus Sunnah dengan
mencuplik fatwa-fatwa para ulama tersebut dan
mengaplikasikannya tidak pada tempatnya. Cara ini
lebih banyak dipraktekkan oleh kelompok Al-Ikhwanul
Muslimun.
Sebagian kelompok lagi beralasan bahwa melalui politik
ini akan bisa direalisasikan amar ma’ruf nahi munkar
kepada penguasa, yaitu dengan menekan dan memaksa
mereka menerapkan hukum syariat Islam dan
meninggalkan segala hukum selain hukum Islam.
Walaupun sepintas lalu mereka tampak ‘menghindarkan
diri’ untuk terjun langsung ke panggung politik
demokrasi seperti halnya kelompok pertama, namun
ternyata mereka menerapkan cara-cara Khawarij di
dalam melaksanakan aktivitas politiknya. Yaitu melalui
berbagai macam orasi politik yang penuh dengan
provokasi, atau dengan berbagai aksi demonstrasi
dengan menggiring anak muda-mudi sebagaimana
digiringnya gerombolan kambing oleh penggembalanya.
Kemudian mereka menamakan tindakan-tindakan
tersebut sebagai tindakan kritik dan kontrol serta koreksi
terhadap penguasa, atau terkadang mereka
mengistilahkannya dengan amar ma’ruf nahi munkar.
Yang ternyata tindakan mereka tersebut justru
mendatangkan kehinaan bagi kaum muslimin serta
ketidakstabilan bagi kehidupan umat Islam, baik sebagai
pribadi muslim ataupun sebagai warga negara di banyak
negeri. Dengan ini, semakin pupuslah harapan
terwujudnya Daulah Islamiyyah. Cara ini lebih banyak
dimainkan oleh kelompok Hizbut Tahrir.
Maka Ahlus Sunnah menyatakan kepada mereka, baik
kelompok Al-Ikhwanul Muslimun ataupun Hizbut Tahrir
serta semua pihak yang menempuh cara mereka,
tunjukkan kepada umat ini satu saja Daulah Islamiyyah
yang berhasil kalian wujudkan dengan cara yang kalian
tempuh sepanjang sejarah kelompok kalian. Di Mesir
kalian telah gagal total, bahkan harus ditebus dengan
dieksekusinya tokoh-tokoh kalian di tiang gantungan
atau ditembak mati, dan semakin suramnya nasib
dakwah. Di Al-Jazair pun ternyata juga pupus bahkan
berakhir dengan pertumpahan darah dan perpecahan.
Atau mungkin kalian akan menyebut Sudan, sebagai
Daulah Islamiyyah yang berhasil kalian dirikan, di mana
kalian berhasil dalam Pemilu di negeri tersebut. Namun
apa yang terjadi setelah itu…? Wakil Presidennya adalah
seorang Nashrani, lebih dari 10 orang menteri di kabinet
adalah Nashrani. Atau mungkin kalian menganggap itu
sebagai kesuksesan di panggung politik di negeri Sudan,
ketika kalian berhasil ‘mengorbitkan’ salah satu
pembesar kalian di negeri tersebut dan memegang salah
satu tampuk kepemimpinan tertinggi di negeri itu, yaitu
Hasan At-Turabi. Apakah orang seperti dia yang kalian
banggakan, orang yang berakidah dan berpemikiran
sesat?! Simak salah satu ucapan dia: “Aku ingin berkata
bahwa dalam lingkup daulah yang satu dan perjanjian
yang satu, boleh bagi seorang muslim – sebagaimana
boleh pula bagi seorang Nashrani– untuk mengganti
agamanya.”2
Kami pun mengatakan kepada kelompok Hizbut Tahrir
dengan pernyataan yang sama. Bagaimana Allah akan
memberikan keberhasilan kepada kalian sementara
kalian menempuh cara-cara Khawarij yang telah
dikecam keras oleh Rasulullah n dalam sekian banyak
haditsnya?
Di mana prinsip dan dakwah kalian –wahai Hizbut
Tahrir—dibanding manhaj yang diajarkan oleh
Rasulullah n dalam menyampaikan nasehat kepada
penguasa, sebagaimana hadits beliau, dari shahabat
‘Iyadh bin Ghunm: Rasulullah n bersabda:
“Barangsiapa yang hendak menasehati seorang
penguasa, maka jangan dilakukan secara terang-
terangan (di tempat umum atau terbuka dan yang
semisalnya, pent). Namun hendaknya dia sampaikan
kepadanya secara pribadi, jika ia (penguasa itu)
menerima nasehat tersebut maka itulah yang
diharapkan, namun jika tidak mau menerimanya maka
berarti ia telah menunaikan kewajibannya.” (HR. Ahmad,
Ibnu Abi ‘Ashim, Al-Baihaqi. Dishahihkan oleh Al-Imam
Al-Albani di dalam Zhilalul Jannah hadits no. 1096)
2. Jenis cara batil yang kedua adalah melalui tindakan
atau gerakan kudeta/revolusi terhadap penguasa yang
sah, dengan alasan mereka telah kafir karena tidak
menerapkan hukum/syariat Islam dalam praktek
kenegaraannya. Kelompok pergerakan ini cenderung
menamakan tindakan teror dan kudeta yang mereka
lakukan dengan nama jihad, yang pada hakekatnya
justru tindakan tersebut membuat kabur dan
tercemarnya nama harum jihad itu sendiri. Mereka
melakukan pengeboman di tempat-tempat umum
sehingga tak pelak lagi warga sipil menjadi korban.
Bahkan tak jarang di tengah-tengah mereka didapati
sebagian umat Islam yang tidak bersalah dan tidak
mengerti apa-apa. Cara-cara seperti ini lebih banyak
diperankan oleh kelompok-kelompok radikal semacam
Jamaah Islamiyyah, demikian juga Usamah bin Laden –
salah satu tokoh Khawarij masa kini— dengan Al-
Qaeda-nya beserta para pengikutnya dari kalangan
pemuda yang tidak memiliki bekal ilmu syar’i dan
cenderung melandasi sikapnya di atas emosi. Cara-cara
yang mereka lakukan ini merupakan salah satu bentuk
pengaruh pemikiran-pemikiran sesat dari tokoh-tokoh
mereka, seperti:
a. Abul A’la Al-Maududi, di mana dia menyatakan: “…
Mungkin telah jelas bagi anda semua dari tulisan-
tulisan dan risalah-risalah kita bahwa tujuan kita yang
paling tinggi yang kita perjuangkan adalah:
MENGADAKAN GERAKAN PENG-GULINGAN
KEPEMIMPINAN. Dan yang saya maksudkan dengan itu
adalah untuk membersihkan dunia ini dari kekotoran
para pemimpin yang fasiq dan jahat. Dan dengan itu
kita bisa menegakkan imamah yang baik dan
terbimbing. Itulah usaha dan perjuangan yang bisa
menyampaikan ke sana. Itu adalah cara yang lebih
berhasil untuk mencapai keridhaan Allah dan
mengharapkan wajah-Nya yang mulia di dunia dan
akhirat.” (Al-Ususul Akhlaqiyyah lil Harakah Al-
Islamiyyah, hal. 16)
Al-Maududi juga berkata: “Kalau seseorang ingin
membersihkan bumi ini dan menukar kejahatan dengan
kebaikan… tidak cukup bagi mereka hanya dengan
berdakwah mengajak manusia kepada kebaikan dan
mengagungkan ketakwaan kepada Allah serta menyuruh
mereka untuk berakhlak mulia. Tapi mereka harus
mengumpulkan beberapa unsur (kekuatan) manusia
yang shalih sebanyak mungkin, kemudian dibentuk
(sebagai suatu kekuatan) untuk merebut kepemimpinan
dunia dari orang-orang yang kini sedang memegangnya
dan mengadakan revolusi.” (Al-Ususul Akhlaqiyah lil
Harakah Al-Islamiyyah, hal. 17-18)
b. Sayyid Quthb. Pernyataan Sayyid Quthb dalam
beberapa karyanya yang mengarahkan dan menggiring
umat ini untuk menyikap lingkungan dan masyarakat
serta pemerintahan muslim sebagai lingkungan,
masyarakat, dan pemerintahan yang kafir dan jahiliyah.
Pemikiran ini berujung kepada tindakan kudeta dan
penggulingan kekuasaan sebagai bentuk metode
penyelesaian problema umat demi terwujudnya Khilafah
Islamiyyah.
Metode berpikir seperti tersebut di atas disuarakan pula
oleh tokoh-tokoh mereka yang lainnya seperti Sa’id
Hawwa, Abdullah ‘Azzam, Salman Al-‘Audah, DR. Safar
Al-Hawali, dan lain-lain.3
Buku-buku dan karya-karya mereka telah tersebar luas
di negeri ini, yang cukup punya andil besar dalam
menggiring para pemuda khususnya untuk berpemikiran
radikal serta memilih cara-cara kekerasan untuk
mengatasi problematika umat ini dan menggapai angan
yang mereka canangkan. Maka wajib bagi semua pihak
dari kalangan muslimin untuk berhati-hati dan tidak
mengkonsumsi buku fitnah karya tokoh-tokoh Khawarij.
Demikian juga buku-buku kelompok Syi’ah Rafidhah
yang juga syarat dengan berbagai provokasi kepada
umat ini untuk melakukan berbagai aksi dan tindakan
teror terhadap penguasa. Mudah-mudahan Allah I
memberikan taufiq-Nya kepada pemerintah kita agar
mereka bisa mencegah peredaran buku-buku sesat dan
menyesatkan tersebut di tengah-tengah umat, demi
terwujudnya stabilitas keamanan umat Islam di negeri
ini.
Khilafah Islamiyyah
bukan Tujuan Utama Dakwah para Nabi
Dari penjelasan-penjelasan di atas jelas bagi kita,
bahwa banyak dari kalangan aktivis pergerakan-
pergerakan Islam yang menyatakan bahwa
permasalahan Daulah Islamiyyah merupakan
permasalahan yang penting, bahkan terpenting dalam
masalah agama dan kehidupan.
Dari situ muncul beberapa pertanyaan besar yang harus
diketahui jawabannya oleh setiap muslim, yaitu: Apakah
penegakan Daulah Islamiyyah adalah fardhu ‘ain
(kewajiban atas setiap pribadi muslim) yang harus
dipusatkan atau dikosentrasikan pikiran, waktu, dan
tenaga umat ini untuk mewujudkannya?
Kemudian: Benarkah bahwa tujuan utama dakwah para
nabi adalah penegakan Daulah Islamiyyah?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di
atas, mari kita simak penjelasan para ulama besar Islam
berikut ini.
Al-Imam Abul Hasan Al-Mawardi berkata di dalam
kitabnya Al-Ahkam As-Sulthaniyah: “…Jika telah pasti
tentang wajibnya (penegakan) Al-Imamah (kepeme-
rintahan/kepe-mimpinan) maka tingkat kewajibannya
adalah fardhu kifa-yah, seperti kewa-jiban jihad
dan menuntut ilmu .” Sebelumnya beliau juga berkata:
“Al-Imamah ditegakkan sebagai sarana untuk
melanjutkan khilafatun nubuwwah dalam rangka
menjaga agama dan pengaturan urusan dunia yang
penegakannya adalah wajib secara ijma’, bagi pihak
yang berwenang dalam urusan tersebut.” (Al-Ahkam As-
Sulthaniyah, hal. 5-6)
Imamul Haramain menyatakan bahwa permasalahan Al-
Imamah merupakan jenis permasalahan furu’. (Al-
Ahkam As-Sulthaniyah, hal. 5-6)
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata: “Maka
anda melihat pernyataan mereka (para ulama) tentang
permasalahan Al-Imamah bahwasanya ia tergolong
permasalahan furu’, tidak lebih sebatas wasilah (sarana)
yang berfungsi sebagai pelindung terhadap agama dan
politik (di) dunia, yang dalil tentang kewajibannya masih
diperselisihkan apakah dalil ‘aqli ataukah dalil syar’i….
Bagaimanapun, jenis permasalahan yang seperti ini
kondisinya, yang masih diperselisihkan tentang posisi
dalil yang mewajibkannya, bagaimana mungkin bisa
dikatakan bahwa masalah Al-Imamah ini merupakan
puncak tujuan agama yang paling hakiki?”
Demikian jawaban dari pertanyaan pertama. Adapun
jawaban untuk pertanyaan kedua, mari kita simak
penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t:
“Sesungguhnya pihak-pihak yang berpendapat bahwa
permasalahan Al-Imamah merupakan satu tuntutan
yang paling penting dalam hukum Islam dan merupakan
permasalahan umat yang paling utama (mulia) adalah
suatu kedustaan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum
muslimin, baik dari kalangan Ahlus Sunnah maupun dari
kalangan Syi’ah (itu sendiri). Bahkan pendapat tersebut
terkategorikan sebagai suatu kekufuran, sebab masalah
iman kepada Allah dan Rasul-Nya adalah perma-
salahan yang jauh lebih penting daripada perma-
salahan Al-Imamah. Hal ini merupakan permasalahan
yang diketahui secara pasti dalam dienul
Islam.” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, 1/16)
Kemudian beliau melanjutkan:
“…Kalau (seandainya) demikian (yakni kalau seandainya
Al-Imamah merupakan tujuan utama dakwah para nabi,
pent), maka (mestinya) wajib atas Rasulullah n untuk
menjelaskan (hal ini) kepada umatnya sepeninggal
beliau, sebagaimana beliau telah menjelaskan kepada
umat ini tentang permasalahan shalat, shaum (puasa),
zakat, haji, dan telah menentukan perkara iman
dan tauhid kepada Allah I serta iman pada hari akhir.
Dan suatu hal yang diketahui bahwa penjelasan tentang
Al-Imamah di dalam Al Qur`an dan As Sunnah tidak
seperti penjelasan tentang perkara-perkara ushul
(prinsip) tersebut… Dan juga tentunya di antara perkara
yang diketahui bahwa suatu tuntutan terpenting dalam
agama ini, maka penjelasannya di dalam Al Qur`an akan
jauh lebih besar dibandingkan masalah-masalah lain.
Demikian juga penjelasan Rasulullah n terntang
permasalahan (Al-Imamah) tersebut akan lebih
diutamakan dibandingkan permasalahan-permasalahan
lainnya. Sementara Al Qur`an dipenuhi dengan
penyebutan (dalil-dalil) tentang tauhid kepada Allah I,
nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta tanda-tanda
kebesaran-Nya, tentang (iman) kepada para malaikat-
Nya, kitab-kitab suci-Nya, para rasul-Nya, dan hari
akhir. Dan tentang kisah-kisah (umat terdahulu), tentang
perintah dan larangan, hukum-hukum had dan warisan.
Sangat berbeda sekali dengan permasalahan Al-
Imamah. Bagaimana mungkin Al Qur`an akan dipenuhi
dengan selain permasalahan-permasalahan yang
penting dan mulia?” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyah,
1/16)
Setelah kita membaca penjelasan ilmiah Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah di atas, lalu coba kita bandingkan dengan
ucapan Al-Maududi, yang menyatakan bahwa:
1. Permasalahan Al-Imamah adalah inti permasalahan
dalam kehidupan kemanusiaan dan merupakan pokok
dasar dan paling mendasar.
2. Puncak tujuan agama yang paling hakiki adalah
penegakan struktur Al-Imamah (kepemerintahan) yang
shalihah dan rasyidah.
3. (Permasalahan Al-Imamah) adalah tujuan utama
tugas para nabi.
Menanggapi hal itu, Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-
Madkhali hafizhahullah berkata: “Sesungguhnya
permasalahan yang terpenting adalah permasalahan
yang dibawa oleh seluruh para nabi –alaihimush shalatu
was salaam- yaitu permasalahan tauhid dan iman,
sebagaimana telah Allah simpulkan dalam firman-Nya:
“Dan sesungguhnya telah Kami utus pada tiap-tiap umat
seorang rasul (dengan tugas menyeru) beribadahlah
kalian kepada Allah (saja) dan jauhilah oleh kalian
thagut.” (An-Nahl: 36)
“Tidaklah Kami utus sebelummu seorang rasul-pun
kecuali pasti kami wahyukan kepadanya: Sesungguhnya
tidak ada yang berhak untuk diibadahi kecuali Aku, maka
beribadahlah kalian semuanya (hanya) kepada-Ku.” (Al-
Anbiya`: 25)
“Sungguh telah kami wahyukan kepadamu dan kepada
(para nabi) yang sebelummu (bahwa) jika engkau
berbuat syirik niscaya akan batal seluruh amalanmu dan
niscaya engkau akan termasuk orang-orang yang
merugi.” (Az-Zumar: 65)
Inilah permasalahan yang terpenting yang karenanya
terjadi permusuhan antara para nabi dengan umat
mereka, dan karenanya ditenggelamkan pihak-pihak
yang telah ditenggelamkan… Dan sesungguhnya puncak
tujuan agama yang paling hakiki dan tujuan penciptaan
jin dan manusia, serta tujuan diutusnya para Rasul, dan
diturunkannya kitab-kitab suci adalah peribadatan
kepada Allah (tauhid), serta pemurnian agama hanya
untuk-Nya… Sebagaimana firman Allah:
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar
mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
“Aliif Laam Raa. (Inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya
disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci
yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana
lagi Maha Tahu. Agar kalian tidak beribadah kecuali
kepada Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah
pemberi peringatan dan pembawa kabar gembira
kepadamu daripada-Nya.” (Hud: 1-2)
Demikian tulisan ini kami sajikan sebagai bentuk
nasehat bagi seluruh kaum muslimin. Semoga Allah
memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua.
Wallahu a’lam bish-shawab.
(sumber : asy syariah.com)
1 Untuk lebih jelasnya tentang berbagai sepak terjang
mereka yang menyimpang dalam politik, pembaca bisa
membaca kitab Madarikun Nazhar fi As-Siyasah karya
Asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani; dan kitab
Tanwiiruzh Zhulumat bi Kasyfi Mafasidi wa Syubuhati
Al-Intikhabaat oleh Asy-Syaikh Abu Nashr Muhammad
bin Abdullah Al-Imam.
2 Ucapan ini dinyatakan di Universitas Khurthum, seperti
dinukil oleh Ahmad bin Malik dalam Ash-Sharimul
Maslul fi Raddi ‘ala At-Turabi Syaatimir Rasul, hal 12.
3 Tiga tokoh terakhir ini yang banyak berpengaruh dan
sangat dikagumi oleh seorang teroris muda berasal dari
Indonesia, bernama Imam Samudra.

agama seseorang itu di nilai dari siapa teman dekatnya

Salafus Shalih Menilai Seseorang Dengan Melihat Teman
Dekatnya

 Abu Qilabah berkata :
[ Qaatalallahu! Semoga Allah binasakan penyair yang
mengucapkan syair :
Janganlah bertanya siapa dia tapi tanyakan siapa
temannya
Karena setiap orang akan meniru temannya ]
Saya katakan : “Ucapan Abu Qilabah (Qaatalallahu) ini
adalah ungkapan yang menunjukkan kekagumannya
dengan bait syair tersebut dan ini adalah syairnya Ady bin
Zaid Al Abadiy.”
Al Ashma’iy berkata : “Saya belum pernah menemukan
satu bait syair yang paling menyerupai As Sunnah selain
ucapan Ady ini.”
. Abu Hurairah berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam bersabda :
“(Agama) seseorang (dikenal) dari agama temannya maka
perhatikanlah siapa temanmu.” (As Shahihah 927)
. Ibnu Mas’ud berkata :
“Nilailah seseorang itu dengan siapa ia berteman karena
seorang Muslim akan mengikuti Muslim yang lain dan
seorang fajir akan mengikuti orang fajir yang lainnya.” (Al
Ibanah 2/477 nomor 502 dan Syarhus Sunnah Al Baghawi
13/70)
. Dan ia berkata :
“Seseorang itu akan berjalan dan berteman dengan orang
yang dicintainya dan mempunyai sifat seperti dirinya.” (Al
Ibanah 2/476 nomor 499)
. Beliau melanjutkan :
“Nilailah seseorang itu dengan temannya sebab
sesungguhnya seseorang tidak akan berteman kecuali
dengan orang yang mengagumkannya (karena seperti
dia).” (Al Ibanah 2/477 nomor 501)
. Abu Darda mengatakan :
“Tanda keilmuan seseorang (dilihat) dari jalan yang
ditempuhnya, tempat masuknya, dan majelisnya.” (Al
Ibanah 2/464 nomor 459-460)
. Yahya bin Abi Katsir mengatakan, Nabi Sulaiman bin
Daud Alaihis Salam bersabda :
“Jangan menetapkan penilaian terhadap seseorang sampai
kamu memperhatikan siapa yang menjadi temannya.” (Al
Ibanah 2/480 nomor 514)
. Musa bin Uqbah Ash Shuriy tiba di Baghdad dan hal ini
disampaikan kepada Imam Ahmad bin Hanbal lalu beliau
berkata :
“Perhatikan dimana ia singgah dan kepada siapa dia
berkunjung.” (Al Ibanah 2/479-480 nomor 511)
. Qatadah berkata :
“Sesungguhnya kami, demi Allah belum pernah melihat
seseorang menjadikan teman buat dirinya kecuali yang
memang menyerupai dia maka bertemanlah dengan orang-
orang yang shalih dari hamba-hamba Allah agar kamu
digolongkan dengan mereka atau menjadi seperti
mereka.” (Al Ibanah 2/477 nomor 500)
. Syu’bah berkata, aku dapati tulisan dalam catatanku
(menyatakan) bahwasanya seseorang akan berteman
dengan orang yang ia sukai. (Al Ibanah 2/452 nomor
419-420)
. Al Auza’iy berkata :
“Siapa yang menyembunyikan bid’ahnya dari kita tidak
akan dapat menyembunyikan persahabatannya.” (Al Ibanah
2/476 nomor 498)
. Al A’masy mengatakan :
“Biasanya Salafus Shalih tidak menanyakan (keadaan)
seseorang sesudah (mengetahui) tiga hal yaitu jalannya,
tempat masuknya, dan teman-temannya.” (Al Ibanah
2/476 nomor 498)
. Ayyub As Sikhtiyani diundang untuk memandikan jenazah
kemudian beliau berangkat bersama beberapa orang.
Ketika penutup wajah jenazah itu disingkapkan beliau
segera mengenalinya dan berkata :
“Kemarilah –kepada– temanmu ini, saya tidak akan
memandikannya karena saya pernah melihatnya berjalan
dengan seorang ahli bid’ah.” (Al Ibanah 2/478 nomor 503)
. Abdullah bin Mas’ud berkata :
“Nilailah tanah ini dengan nama-namanya dan nilailah
seorang teman dengan siapa ia berteman.” (Al Ibanah
2/479 nomor 509-510)
. Muhammad bin Abdullah Al Ghalabiy mengatakan :
“Ahli bid’ah itu akan menyembunyikan segala sesuatu
kecuali persatuan dan persahabatan (di antara
mereka).” (Al Ibanah 1/205 nomor 44 dan 2/482 nomor
518)
. Mu’adz bin Mu’adz berkata kepada Yahya bin Sa’id :
“Hai Abu Yahya, seseorang walapun dia menyembunyikan
pemikirannya tidak akan tersembunyi hal itu pada anaknya
tidak pula pada teman-temannya atau teman duduknya.”
. Amru bin Qais Al Mulaiy berkata :
“Jika kamu lihat seorang pemuda tumbuh bersama Ahli
Sunnah wal Jamaah harapkanlah dia dan bila ia tumbuh
bersama ahli bid’ah berputus-asalah kamu dari
(mengharap kebaikan)nya. Karena pemuda itu bergantung
di atas apa yang pertama kali ia tumbuh dan dibentuk.” (Al
Ibanah 1/205 nomor 44 dan 2/482 nomor 518)
. Ia –juga– mengatakan :
“Seorang pemuda itu benar-benar akan berkembang maka
jika ia lebih mementingkan duduk dengan Ahli Ilmu ia akan
selamat dan jika ia condong kepada yang lain ia akan
celaka.”
166. Ibnu Aun mengatakan :
“Siapa pun yang duduk dengan ahli bid’ah ia lebih
berbahaya bagi kami dibanding ahli bid’ah itu sendiri.” (Al
Ibanah 2/273 nomor 486)
. Ketika Sufyan Ats Tsaury datang ke Bashrah melihat
keadaan Ar Rabi’ bin Shabiih dan kedudukannya di tengah
ummat, Yahya bin Sa’id Al Qaththan berkata : “Ia bertanya
apa madzhabnya?”
Mereka menjawab bahwa madzhabnya tidak lain adalah As
Sunnah, ia berkata lagi : “Siapa teman baiknya?”
Mereka menjawab : “Qadary.”
Beliau berkata : “Berarti ia seorang Qadariy.” (Al Ibanah
2/453 nomor 421)
Ibnu Baththah berkata : [ Semoga Allah merahmati Sufyan
Ats Tsauri, ia sungguh telah berbicara dengan Al Hikmah
maka alangkah tepat ucapannya itu dan ia juga telah
berkata dengan ilmu yang sesuai dengan Al Quran dan As
Sunnah serta apa-apa yang sesuai dengan hikmah, realita,
dan pemahaman Ahli Bashirah, Allah berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, jangan kamu ambil
menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang bukan
golonganmu (sebab) mereka senantiasa menimbulkan
bahaya bagi kamu dan mereka senang dengan apa yang
menyusahkanmu.” (QS. Ali Imran : 118) ]
. Imam Abu Daud As Sijistaniy berkata, saya berkata
kepada Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal (jika) saya
melihat seorang Sunniy bersama ahli bid’ah apakah saya
tinggalkan ucapannya?
Beliau menjawab : “Tidak. Sebelum kamu terangkan
kepadanya bahwa orang yang kamu lihat bersamanya itu
adalah ahli bid’ah. Maka jika ia menjauhinya, tetaplah
bicara dengannya dan jika tidak mau gabungkan saja
dengannya (anggap saja ia ahli bid’ah). Ibnu Mas’ud
pernah berkata, seseorang itu (dinilai) siapa teman
dekatnya.” (Thabaqat Hanabilah 1/160 no 216)
. Ibnu Taimiyyah mengatakan :
“Dan siapa yang selalu berprasangka baik terhadap
mereka (ahli bid’ah) –dan mengaku belum mengetahui
keadaan mereka– kenalkanlah ahli bid’ah itu padanya
maka jika ia telah mengenalnya namun tidak
menampakkan penolakan terhadap mereka, gabungkanlah
ia bersama mereka dan anggaplah ia dari kalangan
mereka juga.” (Al Majmu’ 2/133)
. Utbah Al Ghulam berkata :
“Barangsiapa yang tidak bersama kami maka dia adalah
lawan kami.” (Al Ibanah 2/437 nomor 487)
. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Ruh-ruh itu adalah juga sepasukan tentara maka yang
saling mengenal akan bergabung dan yang tidak mengenal
akan berselisih.” (HR. Al Bukhary 3158 dan Muslim 2638)
. Al Fudlail bin Iyyadl mengomentari hadits ini dengan
berkata :
“Tidak mungkin seorang Sunniy akan berbasa-basi kepada
ahli bid’ah kecuali jika ia dari kalangan munafiq.” (Lihat
Ar Rad Alal Mubtadi’ah li Ibni Al Banna)
. Ibnu Mas’ud berkata :
“Jika seorang Mukmin memasuki mesjid yang di dalamnya
berkumpul 100 orang dan yang muslim hanya satu ia tentu
akan masuk ke dalamnya lalu duduk di dekatnya dan jika
seorang munafiq memasuki mesjid yang di dalamnya
berkumpul 100 orang dan hanya terdapat satu orang
munafiq juga ia akan tetap masuk dan duduk di dekatnya.”
Hammad bin Zaid mengatakan, Yunus berkata kepadaku :
“Hai Hammad, sesungguhnya jika saya melihat seorang
pemuda berada di atas perkara yang mungkar saya tetap
tidak akan berputus-asa mengharapkan kebaikannya
kecuali bila saya melihatnya duduk bersama ahli bid’ah
maka ketika itu saya tahu kalau dia binasa.” (Al Kifayah
91, Syarh Ilal At Tirmidzy 1/349)
. Ahmad bin Hanbal berkata :
“Jika kamu melihat seorang pemuda tumbuh bersama Ahli
Sunnah wal Jamaah maka harapkanlah (kebaikannya) dan
jika kamu lihat dia tumbuh bersama ahli bid’ah maka
berputus-asalah kamu dari (mengharap kebaikan)nya.
Karena sesungguhnya pemuda itu tergantung di atas apa
ia pertama kali tumbuh.” (Al Adabus Syari’ah Ibnu Muflih
3/77)
. Dlamrah bin Rabi’ah berkata, (saya mendengar) dari Ibnu
Syaudzab Al Khurasaniy berkata :
“Sesungguhnya di antara kenikmatan yang Allah berikan
kepada para pemuda ialah ketika ia beribadah dan
bersaudara dengan seorang Ahli Sunnah. Dan ia akan
bergabung bersamanya di atas As Sunnah.” (Al Ibanah
1/205 nomor 43 dan Ash Shughra 133 nomor 91 dan Al
Lalikai 1/60 nomor 31)
. Dari Abdullah bin Syaudzab dari Ayyub ia berkata :
“Termasuk kenikmatan bagi seorang pemuda dan orang-
orang non Arab ialah jika Allah menurunkan taufiq kepada
mereka untuk mengikuti orang yang berilmu di kalangan
Ahli Sunnah.” (Al Lalikai 1/60 nomor 30)
(Sumber : Kilauan Mutiara Hikmah Dari Nasihat Salaful
Ummah, terjemah dari kitab Lamudduril Mantsur minal
Qaulil Ma’tsur, karya Syaikh Abu Abdillah Jamal bin
Furaihan Al Haritsi. Diterjemahkan oleh Ustadz Idral Harits,
Pengantar Ustadz Muhammad Umar As Sewwed.

hadits-hadits terkait bid'ah

Bismillah.
"dari ummul mukminin ummu 'abdillah aisyah, dia berkata; Rosululloh bersabda: `Barangsiapa mengada-ngadakan dalam urusan kami ini ( perkara agama ), perkara yg tidak ada asalnya, maka hal itu tertolak`.HR. Imam Bukhori wa Imam Muslim" kemudian ada lg yg memyangkut hal ini di hadits yg terkait juga "Dari abu Najih Al-Irbadl bin sariyah rodiyallohu'anhu ia berkata; pada suatu hari nabi mengimami kami sholat, kemudian beliau menghadap ke arah kami, lalu beliau memberi nasehat kepada kami dengan nasehat yg benar2 menyentuh, hingga bercucuranlah mata-mata kami ( menangis ), dan bergetarlah hati2 kami. lalu ada seorang berkata; "wahai Rosululloh seolah olah ini adalah nasihat orang yg akan berpisah, apa yg akan engkau nasihatkan kepada kami?" Rosululloh bersabda: "aku wasiatkan kepada kalian agar bertaqwa kepada Alloh, mendengar dan taat, sekalipun yg memerintahkan kalian adalah hamba sahaya, karena siapa saja di antara kalian yg hidup ( panjang ) sepeninggalku, akan melihat perselisihan yg banyak, maka wajib bagi kalian berpegang kepada sunnahku, dan sunnah para kholifah yg terbimbing dan mendapatkan petunjuk, berpegang teguhlah kalian dengannya dan gigitlah ia dengan gigi2 geraham kalian, dan hati2lah kalian terhadap perkara2 baru ( perkara agama ) yg di ada2kan, karena SETIAP PERKARA2 BARU YG DI ADA2KAN ( DALAM PERKARA AGAMA ) ADALAH BID'AH, DAN SETIAP BID'AH ADALAH SESAT, DAN SETIAP KESESATAN NERAKALAH TEMPATNYA" HR. Abu Daud wa Tirmidzi.

Saturday, February 1, 2014

Tahdzir merupakan bagian dari manhaj salaf / ahlus sunnah

Bismillah.
   Tahdzir merupakan bagian dari manhaj salaf / ahlus sunnah.
Jangan ingin menyatukan umat pada satu pendapat  dalam fiqh
Tidak diragukan bahwa madzhab-madzhab fiqh para ‘ulama telah meninggalkan warisan ilmiah yang tak ternilai dalam sejarah umat. Para ‘ulama tersebut memberikan perhatian besar terhadap dalil-dalil rinci dalam syari’at, memberikan pedoman dalam metode pengambilan istinbath dan menyelami makna-makna, serta menyimpulkan hukum untuk permasalahan-permasalahan kekinian. Hanya orang-orang yang sempit cara pandang dan sempit pemahamannya sajalah yang akan merasa tidak suka dengan hal tersebut, dan menginginkan untuk menghimpun umat hanya pada satu pendapat saja dalam fiqh.

   Pada kesempatan kunjungannya ke Yaman, asy-Syaikh ‘Ubaid al-Jabiri menyatakan ucapan yang sangat bagus. Kata beliau, “Permasalahn yang terjadi pada kalian adalah, kalian ingin menyatukan semua orang hanya pada pendapat saja dalam fiqh. Ini mustahil!” bukankah kalian tahu bahwa Bin Baz berbeda pendapat dengan al-’Utsaimin, atau sebaliknya al-’Utsaimin berbeda pendapat dengan Bin Baz dalam beberapa permasalahan ijtihadiyyah yang memang sangat mungkin terjadi perbedaan pendapat. Demikian juga para ‘ulama lainnya, terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. namun para ‘ulama tersebut satu sama lain tetap saling menghormati dan saling menghargai. Ini dalam permasalahan fiqhiyyah ijtihadiiyah.


Kapan saling tasamuh (toleran), dan kapan tidak?

   Namun ingat, janganlah sikap toleran dan kelapangan dalam permasalahan ijtihadiyyah diseret dan diletakkan pada permasalahan lain. Yaitu diseret untuk permasalahan aqidah dan manhaj.

   “Kenapa Ahlus Sunnah berbeda pendapat dengan Ikhwanul Muslimin, bukankah Imam Malik, asy-Syafi’i, Ahmad saling berbeda pendapat, namun mereka tetap saling memuji?! Kenapa menyalahkan orang-orang sufiyyah, bukankah mereka mengucapkan Lailaha illallah juga? Bukankah mereka adalah saudara kita??! Kalian tidak paham Fiqhul Khilaf!!”

Apa yang mereka maukan dari “Fiqhul Khilaf”? yaitu jangan membantah ahlul bid’ah!! Ini maksud mereka.

   Di sini tercampur antara barang baik dengan barang jelek. Sehingga dengan cara ini mereka hendak mengelabuhi umat, terutama generasi muda para penuntut ilmu. Mereka berkata dalam memuji tokoh-tokoh bid’ah dan merendahkan para ‘ulama, “Lihatlah pada si fulan, menunjukkan sikap toleran. Lihatlah akal sempurna yang ada padanya. Sementara mereka (‘ulama ahlus sunnah) tidak ada padanya kecuali terburu-buru, kedunguan, bisanya hanya mencela dan membongkar aib orang lain”, dengan cara ini mereka menjauhkan umat dari para ‘ulama ahlus sunnah.



Peran besar al-Jarh wat Ta’dil dan Tahdzir

   Demi Allah, kalau bukan karena al-Jarh wat Ta’dil, kalau bukan karena tahdzir terhadap ahlul bid’ah, kalau bukan karena tahdzir terhadap orang-orang menyimpang, tidak akan sampai kepada kita Islam yang murni dan bersih. Tidak akan sampai as-Sunnah seperti yang antum berjalan di atasnya sekarang!


Perhatikan, bahwa sikap lapang dan toleran itu dalam permasalahan ijtihadiyyah yang memungkinkan terjadinya khilaf padanya. Di sini engkau harus lapang dada. Bin Baz bersedekap setelah ruku’, sementara al-Albani tidak bersedekap setelah ruku’. Maka siapa yang bersedekap atau tidak, maka ini permasalahan yang lapang. Satu sama lain tidak boleh saling mencela.

Adapun permasalahan aqidah dan manhaj, yang padanya pembelaan terhadap dakwah yang haq dan bantahan terhadap dakwah yang batil, kemudian dikatakan kenapa tidak ada toleransi, kenapa tidak ada kelapangan, kenapa kita tidak saling memberikan udzur dalam permasalahan yang kita berbeda? maka ini semua adalah ucapan yang batil.

Apabila kalian mendengar pernyataan para ‘ulama dalam sikap lapang dan toleran, serta bagaimana mereka saling memberikan udzur dalam permasalahan fiqhiyyah, maka itu semua dalam permasalahan ijtihadiyyah yang memungkinkan terjadi perbedaan pendapat padanya. Adapun permasalahan aqidah dan manhaj, maka tidak ada toleransi dan kelapangan di sini.

Namun tidak berarti menghalangi kita dari berdakwah dengan cara yang baik. Kita sampaikan penjelasan tentang al-haq dengan cara yang baik, jelaskan kebatilannya dan sampaikan nasehat. Kalau dia seorang dari ahlus sunnah wal Jama’ah, maka kita junjung tinggi dia, namun kebatilannya tetap harus ditolak. Ibnul Qayyim berkata tentang al-Harawi yang aqidahnya tercampur dengan kotoran-kotoran shufiyyah, “al-Harawi adalah orang yang kita cintai, namun kebenaran lebih kita cintai.”

Ucapan senada juga dikatakan oleh asy-Syaikh Muhammad Aman al-Jami ketika membantah satu kesalahan yang asy-Syaikh al-Albani terjatuh padanya, “Aku katakan kepada asy-Syaikh al-Albani ketika kami dulu di al-Jami’ah al-Islamiyyah, ‘Al-Albani adalah orang yang kami cintai, namun al-Haq lebih kami cintai.” Demikian kita katakan kepada setiap salafy/ahlus sunnah yang terjatuh pada kesalahan dan menyalahi kebenaran, “Kami mencintaimu, namun al-Haq lebih kami cintai.” Dia tetap kita jaga kehormatannya, dan kita nasehati dengan cara yang terbaik.

Namun apabila seseorang itu prinsipnya adalah bid’ah, mengajak kepada bid’ah, atau menguatkan bid’ah, atau dia menisbahkan diri kepada sunnah padahal sangat banyak penyimpangannya dan sering menentang ahlul haq. Maka orang seperti ini harus ditahdzir, harus ditahdzir orangnya dan manhajnya. Bahkan bahaya orang seperti ini lebih besar, karena dia berpenampilan sunnah, berbicara dengan sunnah, padahal dia menyimpang dari sunnah. Adapun seorang  yang jelas-jelas ahlul bid’ah, maka menghadapinya lebih mudah. Apabila para penuntut ilmi diperingatkan dari ahlul bid’ah tersebut akan lebih mudah menerima.

Kisah tentang niqasy (diskusi) yang terjadi antara al-Imam asy-Syafi’i dengan al-Imam al-Muzani rahimahumallah, sampai terjadi perdebatan yang cukup runcing antara kedua imam tersebut. Namun pada keesokan harinya, al-Imam asy-Syafi’i memegang tangan al-Muzani seraya mengatakan, “Tidak engkau suka bahwa kita berbeda pendapat namun kita tetap sebagai saudara?”

Tentu saja kisah ini dimanfaatkan oleh para ahlul batil untuk membenarkan kaidah mereka, “Kita saling bekerja sama dalam permasalahan yang kita bersepakat padanya, dan kita saling memberikan udzur dalam perkara yang kita saling berbeda padanya.” Padahal tidak demikian.

Perlu diketahui, bahwa yang dimaksud oleh asy-Syafi’i “bahwa kita berbeda pendapat”, bukan perbedaan pendapat dalam masalah seperti, hukum menyembelih untuk kuburan, ajakan kepada hizbiyyah, memberontak kepada pemerintah muslimin, menjatuhkan kehormatan ‘ulama umat, menjauhkan umat dari sunnah, ajakan untuk bergaul dengan ahlul bid’ah dan memperkuat barisan mereka, dst. Bukan ini yang dimaksud. Namun yang dimaksud adalah permasalahan ijtihadiyyah yang memungkinkan terjadi perbedaan pendapat padanya.



Kami akan terus mentahdzir

Jangan mencela ahlul haq yang terus menjelaskan dan mentahdzir. Karena memang kebatilan itu terus menerus dilancarkan dan ditebarkan. Maka para da’i al-haq harus tampil tegak membela al-haq, tidak akan merugikan mereka orang-orang yang menghinakan mereka.

Maka jika ada yang mengatakan, “Berhentilah dari mentahdzir, jangan menyibukkan umat dengan tahdzir-tahdzir. Cara ini sudah usang, kita sudah bosan dengannya. Kalian telah menyibukkan umat dengan tahdzir. Tidak ada pada kalian kecuali tahdzir.”

Padahal demi Allah, jika diteliti tidak ada yang menegakkan durus kecuali ahlus sunnah, tidaklah memberikan pengajaran ilmu (taklim) kecuali ahlus sunnah, tidak ada yang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar kecuali ahlus sunnah, tidak ada yang menunaikan tanggung jawab masyarakat kecuali ahlus sunnah. Bagaimana mereka bisa mengatakan kepada ahlus sunnah, “Tidak ada pada kalian kecuali tahdzir.” Sungguh mereka telah berdusta.

Benar, tahdzir ada pada kami. Tahdzir merupakan bagian dari manhaj kami (ahlus sunnah), dan manhaj kami tidak terbatas pada tahdzir saja.

Maka ucapan terhadap ahlus sunnah, “Tidak ada pada kalian kecuali tahdzir. Tidak ada pada kalian kecuali celaan.” demi Allah ini adalah cara-cara kaum hizbiyyin dalam upaya mereka menjauhkan umat dari ahlus sunnah di setiap tempat dan di setiap negeri!! Kalau ada seorang salafy mengucapkan kata-kata seperti di atas terhadap saudaranya salafy, niscaya kita meragukan kesalafiyahannya!!


Sungguh durus, taklim, fiqh, tauhid, aqidah, dst maka kalian tidak akan mendapatinya kecuali pada ahlus sunnah salafiyyin. dan kita  tegaskan bahwa, Tahdzir merupakan bagian dari manhaj kita (ahlus sunnah), dan manhaj kita tidak terbatas pada tahdzir saja. Dan selama kita hidup, kita tidak akan meninggalkan tahdzir. Jika ada yang hendak menghasut, “kamu akan terus-terusan mentahdzir?” kita jawab: Ya, kita akan mentahdzir, dan akan terus mentahdzir. Dengan cara inilah agama terjaga.


Perhatikan kalimat Lailaha illallah, padanya ada nafi dan itsbat. Demikianlah agama ini tidak tegak kecuali dengan cara pembelaan terhadapnya, menjaganya, dan menghilangkan berbagai kotoran darinya. Adapun jika ada orang yang mau hanya berjalan begitu saja, maka cara ini akan memunculkan orang-orang yang mumayyi’ (lembek) tidak menegakkan sunnah dan tidak pula membantah bid’ah.

Sungguh kita sering terganggu dengan adanya orang-orang mukhadzdzil seperti ini. tidak jarang orang-orang tersebut dari barisan kita, atau dinisbahkan kepada kita. Siapa yang bergembira dan menjadi kuat dengan ucapan orang-orang tersebut? Para hizbiyyin, ahlul bid’ah, dan orang-orang menyimpang yang bergembira. Perhatikan ucapan orang-orang tersebut, “Lihat si fulan bijak, tidak seperti mereka.” atau “Perhatikan si fulan, ini baru salafy sejati.” Siapa si  fulan yang ia puji tersebut? Yang ia puji itu ternyata hizbi, atau sufi, atau sekuler, atau liberalis.


(faidah yang aku catat dari pelajaran al-Muhimmat al-Awwaliyah fi al-Muqaddimat al-Fiqhiyyah bersama asy-Syaikh Hani bin Braik, Dhuha Kamis 22 Syawwal 1434 H/29 Agustus 2013 M. Semoga bermanfaat bagi semua)

Sumber: dammaj habibah

Arti lemah lembut.

Bismillah.
Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkunjung ke perkampungan kaum Anshar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyapa
anak-anak dengan memberi salam kepada mereka.
Tak hanya itu, beliau lalu mengusap kepala masing-
masing anak dari kalangan Anshar tersebut.
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
rahimahullah menyebutkan hadits tersebut sebagai
hadits sahih dalam Al-Jami’u Ash-Shahih. Dalam
riwayat tersebut mencerminkan betapa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok manusia
yang sarat kelemahlembutan. Sikap itu tecermin
manakala beliau, dengan penuh perhatian, menyapa
anak-anak lalu mengusap kepala mereka.
Kepribadian nan hangat beliau tunjukkan saat
berjumpa anak-anak. Sebuah sikap peduli yang
teramat terpuji.
Sikap yang ditunjukkan beliau juga mencerminkan
betapa beliau seorang yang tawadhu (rendah hati).
Walau terhadap anak kecil, beliau tetap memberikan
perlakuan yang baik. Tidak meremehkan apalagi
menyakitinya melalui sebuah sikap. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam hadits sahih
riwayat Anas bin Malik, bahkan memberi salam
terlebih dulu kepada anak-anak. Ini menunjukkan
jiwa tawadhu beliau sekaligus kepribadian beliau
yang senantiasa memberi keteladanan nan terpuji.
Allah Ta’ala berfirman :
ﻓَﺒِﻤَﺎ ﺭَﺣْﻤَﺔٍ ﻣِّﻦَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻟِﻨﺖَ ﻟَﻬُﻢْ ۖ ﻭَﻟَﻮْ ﻛُﻨﺖَ ﻓَﻈًّﺎ َﻠِﻴﻆَ
ﺍﻟْﻘَﻠْﺐِ ﻟَﺎﻧﻔَﻀُّﻮﺍ ﻣِﻦْ ﺣَﻮْﻟِﻚَ
“Maka dengan sebab rahmat dari Allah, engkau
bersikap lemah lembut kepada mereka. Seandainya
engkau bersikap kasar dan keras hati niscaya
mereka akan menjauh darimu…” (Al Imran :159)
Juga firman-Nya:
ﻟَﻘَﺪْ ﺟَﺎﺀَﻛُﻢْ ﺭَﺳُﻮﻝٌ ﻣِّﻦْ ﺃَﻧﻔُﺴِﻜُﻢْ ﻋَﺰِﻳﺰٌ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻣَﺎ ﻋَﻨِﺘُّﻢْ
ﺣَﺮِﻳﺺٌ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢ ﺑِﺎﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﺭَﺀُﻭﻑٌ ﺭَّﺣِﻴﻢٌ
“Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari
kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan
yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan
(keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan
penyayang terhadap orang-orang yang
beriman.” (At-Taubah:128).
Demikianlah sikap dari seorang yang berkepribadian
agung. Beliau tampakkan sebagai pola kebiasaan
sehari-hari, tidak dibuat-buat dan merupakan
refleksi dari keadaan pribadinya yang teramat luhur.
Sungguh telah ada pada diri rasul teladan yang baik
bagi kalian. Wallahu a’lam.
Ditulis Oleh Al Ustadz Abu faruq Ayip Syafruddin

Kunjungi situs kami www.tunas-tauhid.blogspot.com