Cara-Cara Batil Menegakkan Daulah
Islamiyah
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Luqman Ba’abduh
Tema Khilafah Islamiyyah ternyata memiliki daya tarik
cukup besar. Isu ini terbukti mampu menimbulkan
sentimen tersendiri di kalangan kaum muslimin. Banyak
yang semangatnya tergugah dan kemudian ramai-ramai
berjuang agar Khilafah Islam kembali berdiri. Namun
sayang, perjuangan mereka jauh dari tuntunan syariat.
Akhirnya, kegagalan demi kegagalan yang mereka raih.
Yang lebih tragis, tak sedikit darah kaum muslimin
tertumpah akibat perjuangan mereka yang hanya
bermodal semangat itu.
Ketika kaum muslimin, terkhusus para aktivisnya, telah
menjauhi dan meninggalkan metode dan cara yang
ditempuh oleh para nabi dan generasi Salaful Ummah di
dalam mengatasi problematika umat dalam upaya
mewujudkan Daulah Islamiyyah, tak pelak lagi mereka
akan mengikuti ra`yu dan hawa nafsu. Karena tidak ada
lagi setelah Al-Haq yang datang dari Allah I dan Rasul-
Nya n serta Salaful Ummah, kecuali kesesatan.
Sebagaimana firman Allah:
“Maka apakah setelah Al Haq itu kecuali
kesesatan?” (Yunus: 32)
Dengan cara yang mereka tempuh ini, justru
mengantarkan umat ini kepada kehancuran dan
perpecahan, sebagaimana firman Allah I:
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-
Ku yang lurus, maka ikutlah dia, dan janganlah kalian
mengikuti As-Subul (jalan-jalan yang lain), karena
jalan-jalan itu menyebabkan kalian tercerai berai dari
jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kalian bertaqwa.” (Al-An’am: 153)
Di antara cara-cara sesat yang mereka tempuh antara
lain:
1. Penyelesaian problem umat melalui jalur politik
dengan ikut terjun langsung atau tidak langsung dalam
panggung politik dengan berbagai macam alasan untuk
membenarkan tindakan mereka.
Di antara mereka ada yang beralasan bahwa tidak
mungkin Daulah Islamiyyah akan terwujud kecuali
dengan cara merebut kekuasaan melalui jalur politik,
yaitu dengan memperbanyak perolehan suara dukungan
dan kursi jabatan dalam pemerintahan. Sehingga dengan
banyaknya dukungan dan kursi di pemerintahan, syariat
Islam bisa diterapkan. Walaupun dalam pelaksanaannya,
mereka rela untuk mengadopsi dan menerapkan sistem
politik Barat (kufur) yang bertolak belakang seratus
delapan puluh derajat dengan Islam. Mereka sanggup
untuk berdusta dengan menyebarkan isu-isu negatif
terhadap lawan politiknya. Bila perlu, merekapun
sanggup untuk mencampakkan prinsip-prisip Islam yang
paling utama dalam rangka untuk memuluskan ambisi
mereka, baik melalui acara ‘kontrak politik’ atau yang
semisalnya.1 Bahkan tidak jarang merekapun sanggup
untuk berdusta atas nama Ulama Ahlus Sunnah dengan
mencuplik fatwa-fatwa para ulama tersebut dan
mengaplikasikannya tidak pada tempatnya. Cara ini
lebih banyak dipraktekkan oleh kelompok Al-Ikhwanul
Muslimun.
Sebagian kelompok lagi beralasan bahwa melalui politik
ini akan bisa direalisasikan amar ma’ruf nahi munkar
kepada penguasa, yaitu dengan menekan dan memaksa
mereka menerapkan hukum syariat Islam dan
meninggalkan segala hukum selain hukum Islam.
Walaupun sepintas lalu mereka tampak ‘menghindarkan
diri’ untuk terjun langsung ke panggung politik
demokrasi seperti halnya kelompok pertama, namun
ternyata mereka menerapkan cara-cara Khawarij di
dalam melaksanakan aktivitas politiknya. Yaitu melalui
berbagai macam orasi politik yang penuh dengan
provokasi, atau dengan berbagai aksi demonstrasi
dengan menggiring anak muda-mudi sebagaimana
digiringnya gerombolan kambing oleh penggembalanya.
Kemudian mereka menamakan tindakan-tindakan
tersebut sebagai tindakan kritik dan kontrol serta koreksi
terhadap penguasa, atau terkadang mereka
mengistilahkannya dengan amar ma’ruf nahi munkar.
Yang ternyata tindakan mereka tersebut justru
mendatangkan kehinaan bagi kaum muslimin serta
ketidakstabilan bagi kehidupan umat Islam, baik sebagai
pribadi muslim ataupun sebagai warga negara di banyak
negeri. Dengan ini, semakin pupuslah harapan
terwujudnya Daulah Islamiyyah. Cara ini lebih banyak
dimainkan oleh kelompok Hizbut Tahrir.
Maka Ahlus Sunnah menyatakan kepada mereka, baik
kelompok Al-Ikhwanul Muslimun ataupun Hizbut Tahrir
serta semua pihak yang menempuh cara mereka,
tunjukkan kepada umat ini satu saja Daulah Islamiyyah
yang berhasil kalian wujudkan dengan cara yang kalian
tempuh sepanjang sejarah kelompok kalian. Di Mesir
kalian telah gagal total, bahkan harus ditebus dengan
dieksekusinya tokoh-tokoh kalian di tiang gantungan
atau ditembak mati, dan semakin suramnya nasib
dakwah. Di Al-Jazair pun ternyata juga pupus bahkan
berakhir dengan pertumpahan darah dan perpecahan.
Atau mungkin kalian akan menyebut Sudan, sebagai
Daulah Islamiyyah yang berhasil kalian dirikan, di mana
kalian berhasil dalam Pemilu di negeri tersebut. Namun
apa yang terjadi setelah itu…? Wakil Presidennya adalah
seorang Nashrani, lebih dari 10 orang menteri di kabinet
adalah Nashrani. Atau mungkin kalian menganggap itu
sebagai kesuksesan di panggung politik di negeri Sudan,
ketika kalian berhasil ‘mengorbitkan’ salah satu
pembesar kalian di negeri tersebut dan memegang salah
satu tampuk kepemimpinan tertinggi di negeri itu, yaitu
Hasan At-Turabi. Apakah orang seperti dia yang kalian
banggakan, orang yang berakidah dan berpemikiran
sesat?! Simak salah satu ucapan dia: “Aku ingin berkata
bahwa dalam lingkup daulah yang satu dan perjanjian
yang satu, boleh bagi seorang muslim – sebagaimana
boleh pula bagi seorang Nashrani– untuk mengganti
agamanya.”2
Kami pun mengatakan kepada kelompok Hizbut Tahrir
dengan pernyataan yang sama. Bagaimana Allah akan
memberikan keberhasilan kepada kalian sementara
kalian menempuh cara-cara Khawarij yang telah
dikecam keras oleh Rasulullah n dalam sekian banyak
haditsnya?
Di mana prinsip dan dakwah kalian –wahai Hizbut
Tahrir—dibanding manhaj yang diajarkan oleh
Rasulullah n dalam menyampaikan nasehat kepada
penguasa, sebagaimana hadits beliau, dari shahabat
‘Iyadh bin Ghunm: Rasulullah n bersabda:
“Barangsiapa yang hendak menasehati seorang
penguasa, maka jangan dilakukan secara terang-
terangan (di tempat umum atau terbuka dan yang
semisalnya, pent). Namun hendaknya dia sampaikan
kepadanya secara pribadi, jika ia (penguasa itu)
menerima nasehat tersebut maka itulah yang
diharapkan, namun jika tidak mau menerimanya maka
berarti ia telah menunaikan kewajibannya.” (HR. Ahmad,
Ibnu Abi ‘Ashim, Al-Baihaqi. Dishahihkan oleh Al-Imam
Al-Albani di dalam Zhilalul Jannah hadits no. 1096)
2. Jenis cara batil yang kedua adalah melalui tindakan
atau gerakan kudeta/revolusi terhadap penguasa yang
sah, dengan alasan mereka telah kafir karena tidak
menerapkan hukum/syariat Islam dalam praktek
kenegaraannya. Kelompok pergerakan ini cenderung
menamakan tindakan teror dan kudeta yang mereka
lakukan dengan nama jihad, yang pada hakekatnya
justru tindakan tersebut membuat kabur dan
tercemarnya nama harum jihad itu sendiri. Mereka
melakukan pengeboman di tempat-tempat umum
sehingga tak pelak lagi warga sipil menjadi korban.
Bahkan tak jarang di tengah-tengah mereka didapati
sebagian umat Islam yang tidak bersalah dan tidak
mengerti apa-apa. Cara-cara seperti ini lebih banyak
diperankan oleh kelompok-kelompok radikal semacam
Jamaah Islamiyyah, demikian juga Usamah bin Laden –
salah satu tokoh Khawarij masa kini— dengan Al-
Qaeda-nya beserta para pengikutnya dari kalangan
pemuda yang tidak memiliki bekal ilmu syar’i dan
cenderung melandasi sikapnya di atas emosi. Cara-cara
yang mereka lakukan ini merupakan salah satu bentuk
pengaruh pemikiran-pemikiran sesat dari tokoh-tokoh
mereka, seperti:
a. Abul A’la Al-Maududi, di mana dia menyatakan: “…
Mungkin telah jelas bagi anda semua dari tulisan-
tulisan dan risalah-risalah kita bahwa tujuan kita yang
paling tinggi yang kita perjuangkan adalah:
MENGADAKAN GERAKAN PENG-GULINGAN
KEPEMIMPINAN. Dan yang saya maksudkan dengan itu
adalah untuk membersihkan dunia ini dari kekotoran
para pemimpin yang fasiq dan jahat. Dan dengan itu
kita bisa menegakkan imamah yang baik dan
terbimbing. Itulah usaha dan perjuangan yang bisa
menyampaikan ke sana. Itu adalah cara yang lebih
berhasil untuk mencapai keridhaan Allah dan
mengharapkan wajah-Nya yang mulia di dunia dan
akhirat.” (Al-Ususul Akhlaqiyyah lil Harakah Al-
Islamiyyah, hal. 16)
Al-Maududi juga berkata: “Kalau seseorang ingin
membersihkan bumi ini dan menukar kejahatan dengan
kebaikan… tidak cukup bagi mereka hanya dengan
berdakwah mengajak manusia kepada kebaikan dan
mengagungkan ketakwaan kepada Allah serta menyuruh
mereka untuk berakhlak mulia. Tapi mereka harus
mengumpulkan beberapa unsur (kekuatan) manusia
yang shalih sebanyak mungkin, kemudian dibentuk
(sebagai suatu kekuatan) untuk merebut kepemimpinan
dunia dari orang-orang yang kini sedang memegangnya
dan mengadakan revolusi.” (Al-Ususul Akhlaqiyah lil
Harakah Al-Islamiyyah, hal. 17-18)
b. Sayyid Quthb. Pernyataan Sayyid Quthb dalam
beberapa karyanya yang mengarahkan dan menggiring
umat ini untuk menyikap lingkungan dan masyarakat
serta pemerintahan muslim sebagai lingkungan,
masyarakat, dan pemerintahan yang kafir dan jahiliyah.
Pemikiran ini berujung kepada tindakan kudeta dan
penggulingan kekuasaan sebagai bentuk metode
penyelesaian problema umat demi terwujudnya Khilafah
Islamiyyah.
Metode berpikir seperti tersebut di atas disuarakan pula
oleh tokoh-tokoh mereka yang lainnya seperti Sa’id
Hawwa, Abdullah ‘Azzam, Salman Al-‘Audah, DR. Safar
Al-Hawali, dan lain-lain.3
Buku-buku dan karya-karya mereka telah tersebar luas
di negeri ini, yang cukup punya andil besar dalam
menggiring para pemuda khususnya untuk berpemikiran
radikal serta memilih cara-cara kekerasan untuk
mengatasi problematika umat ini dan menggapai angan
yang mereka canangkan. Maka wajib bagi semua pihak
dari kalangan muslimin untuk berhati-hati dan tidak
mengkonsumsi buku fitnah karya tokoh-tokoh Khawarij.
Demikian juga buku-buku kelompok Syi’ah Rafidhah
yang juga syarat dengan berbagai provokasi kepada
umat ini untuk melakukan berbagai aksi dan tindakan
teror terhadap penguasa. Mudah-mudahan Allah I
memberikan taufiq-Nya kepada pemerintah kita agar
mereka bisa mencegah peredaran buku-buku sesat dan
menyesatkan tersebut di tengah-tengah umat, demi
terwujudnya stabilitas keamanan umat Islam di negeri
ini.
Khilafah Islamiyyah
bukan Tujuan Utama Dakwah para Nabi
Dari penjelasan-penjelasan di atas jelas bagi kita,
bahwa banyak dari kalangan aktivis pergerakan-
pergerakan Islam yang menyatakan bahwa
permasalahan Daulah Islamiyyah merupakan
permasalahan yang penting, bahkan terpenting dalam
masalah agama dan kehidupan.
Dari situ muncul beberapa pertanyaan besar yang harus
diketahui jawabannya oleh setiap muslim, yaitu: Apakah
penegakan Daulah Islamiyyah adalah fardhu ‘ain
(kewajiban atas setiap pribadi muslim) yang harus
dipusatkan atau dikosentrasikan pikiran, waktu, dan
tenaga umat ini untuk mewujudkannya?
Kemudian: Benarkah bahwa tujuan utama dakwah para
nabi adalah penegakan Daulah Islamiyyah?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di
atas, mari kita simak penjelasan para ulama besar Islam
berikut ini.
Al-Imam Abul Hasan Al-Mawardi berkata di dalam
kitabnya Al-Ahkam As-Sulthaniyah: “…Jika telah pasti
tentang wajibnya (penegakan) Al-Imamah (kepeme-
rintahan/kepe-mimpinan) maka tingkat kewajibannya
adalah fardhu kifa-yah, seperti kewa-jiban jihad
dan menuntut ilmu .” Sebelumnya beliau juga berkata:
“Al-Imamah ditegakkan sebagai sarana untuk
melanjutkan khilafatun nubuwwah dalam rangka
menjaga agama dan pengaturan urusan dunia yang
penegakannya adalah wajib secara ijma’, bagi pihak
yang berwenang dalam urusan tersebut.” (Al-Ahkam As-
Sulthaniyah, hal. 5-6)
Imamul Haramain menyatakan bahwa permasalahan Al-
Imamah merupakan jenis permasalahan furu’. (Al-
Ahkam As-Sulthaniyah, hal. 5-6)
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata: “Maka
anda melihat pernyataan mereka (para ulama) tentang
permasalahan Al-Imamah bahwasanya ia tergolong
permasalahan furu’, tidak lebih sebatas wasilah (sarana)
yang berfungsi sebagai pelindung terhadap agama dan
politik (di) dunia, yang dalil tentang kewajibannya masih
diperselisihkan apakah dalil ‘aqli ataukah dalil syar’i….
Bagaimanapun, jenis permasalahan yang seperti ini
kondisinya, yang masih diperselisihkan tentang posisi
dalil yang mewajibkannya, bagaimana mungkin bisa
dikatakan bahwa masalah Al-Imamah ini merupakan
puncak tujuan agama yang paling hakiki?”
Demikian jawaban dari pertanyaan pertama. Adapun
jawaban untuk pertanyaan kedua, mari kita simak
penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t:
“Sesungguhnya pihak-pihak yang berpendapat bahwa
permasalahan Al-Imamah merupakan satu tuntutan
yang paling penting dalam hukum Islam dan merupakan
permasalahan umat yang paling utama (mulia) adalah
suatu kedustaan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum
muslimin, baik dari kalangan Ahlus Sunnah maupun dari
kalangan Syi’ah (itu sendiri). Bahkan pendapat tersebut
terkategorikan sebagai suatu kekufuran, sebab masalah
iman kepada Allah dan Rasul-Nya adalah perma-
salahan yang jauh lebih penting daripada perma-
salahan Al-Imamah. Hal ini merupakan permasalahan
yang diketahui secara pasti dalam dienul
Islam.” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, 1/16)
Kemudian beliau melanjutkan:
“…Kalau (seandainya) demikian (yakni kalau seandainya
Al-Imamah merupakan tujuan utama dakwah para nabi,
pent), maka (mestinya) wajib atas Rasulullah n untuk
menjelaskan (hal ini) kepada umatnya sepeninggal
beliau, sebagaimana beliau telah menjelaskan kepada
umat ini tentang permasalahan shalat, shaum (puasa),
zakat, haji, dan telah menentukan perkara iman
dan tauhid kepada Allah I serta iman pada hari akhir.
Dan suatu hal yang diketahui bahwa penjelasan tentang
Al-Imamah di dalam Al Qur`an dan As Sunnah tidak
seperti penjelasan tentang perkara-perkara ushul
(prinsip) tersebut… Dan juga tentunya di antara perkara
yang diketahui bahwa suatu tuntutan terpenting dalam
agama ini, maka penjelasannya di dalam Al Qur`an akan
jauh lebih besar dibandingkan masalah-masalah lain.
Demikian juga penjelasan Rasulullah n terntang
permasalahan (Al-Imamah) tersebut akan lebih
diutamakan dibandingkan permasalahan-permasalahan
lainnya. Sementara Al Qur`an dipenuhi dengan
penyebutan (dalil-dalil) tentang tauhid kepada Allah I,
nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta tanda-tanda
kebesaran-Nya, tentang (iman) kepada para malaikat-
Nya, kitab-kitab suci-Nya, para rasul-Nya, dan hari
akhir. Dan tentang kisah-kisah (umat terdahulu), tentang
perintah dan larangan, hukum-hukum had dan warisan.
Sangat berbeda sekali dengan permasalahan Al-
Imamah. Bagaimana mungkin Al Qur`an akan dipenuhi
dengan selain permasalahan-permasalahan yang
penting dan mulia?” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyah,
1/16)
Setelah kita membaca penjelasan ilmiah Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah di atas, lalu coba kita bandingkan dengan
ucapan Al-Maududi, yang menyatakan bahwa:
1. Permasalahan Al-Imamah adalah inti permasalahan
dalam kehidupan kemanusiaan dan merupakan pokok
dasar dan paling mendasar.
2. Puncak tujuan agama yang paling hakiki adalah
penegakan struktur Al-Imamah (kepemerintahan) yang
shalihah dan rasyidah.
3. (Permasalahan Al-Imamah) adalah tujuan utama
tugas para nabi.
Menanggapi hal itu, Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-
Madkhali hafizhahullah berkata: “Sesungguhnya
permasalahan yang terpenting adalah permasalahan
yang dibawa oleh seluruh para nabi –alaihimush shalatu
was salaam- yaitu permasalahan tauhid dan iman,
sebagaimana telah Allah simpulkan dalam firman-Nya:
“Dan sesungguhnya telah Kami utus pada tiap-tiap umat
seorang rasul (dengan tugas menyeru) beribadahlah
kalian kepada Allah (saja) dan jauhilah oleh kalian
thagut.” (An-Nahl: 36)
“Tidaklah Kami utus sebelummu seorang rasul-pun
kecuali pasti kami wahyukan kepadanya: Sesungguhnya
tidak ada yang berhak untuk diibadahi kecuali Aku, maka
beribadahlah kalian semuanya (hanya) kepada-Ku.” (Al-
Anbiya`: 25)
“Sungguh telah kami wahyukan kepadamu dan kepada
(para nabi) yang sebelummu (bahwa) jika engkau
berbuat syirik niscaya akan batal seluruh amalanmu dan
niscaya engkau akan termasuk orang-orang yang
merugi.” (Az-Zumar: 65)
Inilah permasalahan yang terpenting yang karenanya
terjadi permusuhan antara para nabi dengan umat
mereka, dan karenanya ditenggelamkan pihak-pihak
yang telah ditenggelamkan… Dan sesungguhnya puncak
tujuan agama yang paling hakiki dan tujuan penciptaan
jin dan manusia, serta tujuan diutusnya para Rasul, dan
diturunkannya kitab-kitab suci adalah peribadatan
kepada Allah (tauhid), serta pemurnian agama hanya
untuk-Nya… Sebagaimana firman Allah:
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar
mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
“Aliif Laam Raa. (Inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya
disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci
yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana
lagi Maha Tahu. Agar kalian tidak beribadah kecuali
kepada Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah
pemberi peringatan dan pembawa kabar gembira
kepadamu daripada-Nya.” (Hud: 1-2)
Demikian tulisan ini kami sajikan sebagai bentuk
nasehat bagi seluruh kaum muslimin. Semoga Allah
memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua.
Wallahu a’lam bish-shawab.
(sumber : asy syariah.com)
1 Untuk lebih jelasnya tentang berbagai sepak terjang
mereka yang menyimpang dalam politik, pembaca bisa
membaca kitab Madarikun Nazhar fi As-Siyasah karya
Asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani; dan kitab
Tanwiiruzh Zhulumat bi Kasyfi Mafasidi wa Syubuhati
Al-Intikhabaat oleh Asy-Syaikh Abu Nashr Muhammad
bin Abdullah Al-Imam.
2 Ucapan ini dinyatakan di Universitas Khurthum, seperti
dinukil oleh Ahmad bin Malik dalam Ash-Sharimul
Maslul fi Raddi ‘ala At-Turabi Syaatimir Rasul, hal 12.
3 Tiga tokoh terakhir ini yang banyak berpengaruh dan
sangat dikagumi oleh seorang teroris muda berasal dari
Indonesia, bernama Imam Samudra.