Wednesday, January 29, 2014

Janji Suami Untuk Tidak Menikah Lagi

Bismillah.
JANJI SUAMI KEPADA ISTRI UNTUK TIDAK MENIKAH LAGI 

Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah

=>Pertanyaan : Salah seorang ikhwah di negeri kami (Indonesia) bertanya kepada Anda, "Apakah seorang suami boleh berjanji kepada istrinya untuk tidak menikah lagi, dan jika dia melanggar janjinya apakah dia bersalah?"

✔Jawab : Ada yang bertanya tentang seseorang yang berjanji kepada istrinya untuk tidak menikah lagi, kemudian dia melanggarnya dengan menikah lagi, jawabannya jika janji tersebut terjadi ketika akad nikah dan akad itu dibangun di atas syarat ini –yaitu dia menikahi wanita tersebut dengan syarat tidak akan menikah lagi– maka wajib atas suami untuk memenuhinya, karena akad tersebut terjadi dengan syarat ini, dan kaum Muslimin itu terikat dengan syarat mereka. Rasulullah shallallahu alaihi was sallam bersabda :

 ﺣَﻼَﻻً َ ﺣَﺮﱠم ْ أَو ﺣَﺮَاﻣًﺎ َّ أَﺣَﻞ ﺷَﺮْﻃًﺎ إِﻻﱠ ْ، ﺷُﺮُوْﻃِﻬِﻢ ﻋَﻠَﻰ َ اﻟْﻤُﺴْﻠِﻤُﻮْن .

“Kaum Muslimin itu terikat dengan syarat mereka, kecuali syarat yang menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal.” [Asy-Syaikh Al-Albany rahimahullah menilainya shahih dalam Irwa'ul Ghalil no. 1303 –pent]

Hadits ini dibicarakan (diperselisihkan) keshahihannya, tetapi maknanya benar dan merupakan kaedah yang agung. Jika dia mengatakan janjinya tersebut setelah akad karena sebuah sebab atau yang lainnya, kemudian dia berubah pikiran dan merasa perlu untuk menikah lagi, maka dari satu sisi hal itu boleh baginya dan dia tidak teranggap melanggar syarat. Kemudian hendaknya dia menimbang maslahat, apakah maslahatnya dengan memenuhi janji atau kah maslahatnya dengan menikah lagi. Jadi benar-benar diperhatikan mana yang maslahat. Sebagian manusia terkadang padanya ada hal-hal yang datangnya belakangan (yang menjadi pertimbangan baru untuk memutuskan –pent). Jadi perlu diperhatikan masalahat pada perkara ini.

=>Ditanyakan dan diterjemahkan oleh Abu Almass bin Jaman Al-Austahy pada pelajaran kitab Shahih Al-Adab Al-Mufrad Setelah maghrib)

Kunjungi situs kami www.tunas-tauhid.blogspot.com

Kewanitaan ( khusus wanita / laki-laki yg sudah menikah )

Bismillah.
     Cairan Kuning Setelah Masa Haid
Fadhilatusy Syaikh ditanya: Apakah hukum cairan
berwarna kuning yang keluar dari wanita sesudah
masa sucinya?
Beliau menjawab:
Kaidah umum dalam permasalahan ini dan
permasalahan yang semisalnya bahwa cairan kuning
atau keruh sesudah masa haid tidak
diperhitungkansebagai haid. Hal ini berdasarkan
perkataan Ummu ‘Athiyah:
“Kami tidak memperhitungkan warna kuning dan
keruh sesudah masa suci (sebagai darah haid).”
Sebagaimana kaidah yang umum juga agar seorang
wanita jangan tergesa-gesa untuk segera mandi
hanya karena melihat darahnya berhenti sampai
betul-betul dia melihat al-qashshatul baidha
sebagaimana perkataan ‘Aisyah kepada para wanita
sahabat yang mereka datang dengan membawa
kapas:
     “Jangan kalian tergesa-gesa (untuk bersuci) sampai
kalian melihat al-qashshatul baidha.”
Pada kesempatan ini kami peringatkan kepada para
wanita dengan peringatan yang tegas dari
penggunaan pil-pil pencegah haid. Karena pil-pil
tersebut sebagaimana yang aku yakini dari
keterangan dokter yang aku tanyai baik yang ada di
wilayah timur maupun barat dari dokter-dokter
Saudi, alhamdulillah. Begitu juga keterangan dari
para dokter utusan di kerajaan (Saudi) ini yang
berada di wilayah tengah, di mana mereka sepakat
bahwa pil-pil ini berbahaya. Sebagian mereka telah
menuliskan untukku 14 bahaya yang timbul akibat
pil-pil tersebut. Yang paling bahayanya akan
menyebabkan terlukanya rahim. Luka ini akan
menyebabkan berubahnya dan kacaunya darah. Ini
perkara yang bisa disaksikan dan betapa banyak
masalah-masalah yang menimpa wanita akibat
penggunaan pil-pil tersebut. Di antaranya juga akan
membahayakan janin-janin di masa yang akan
datang. Jika yang terlahir wanita, maka tidak
dinikahi karena kemandulannya. Tentu ini
merupakan bahaya yang sangat besar.
     Sesungguhnya manusia, dengan akalnya walaupun
bukan seorang dokter, walaupun tidak mengerti
kedokteran, dia tahu bahwa mencegah sesuatu yang
sifatnya alami ini yang telah Alloh jadikan pada
waktu-waktu tertentu, dia tahu bahwa hal itu akan
membahayakan, sebagaimana seseorang yang
berusaha untuk menahan kencing atau beraknya,
tidak diragukan lagi akan membahayakannya.
Begitu pula dengan darah alami yang telah Allah
tetapkan ini pada anak keturunan Adam dari jenis
wanita ini. Tidak diragukan lagi bahwa usaha untuk
menahannya agar tidak keluar pada waktu nyang
semestinya akan membahayakan wanita.
Kami peringatkan kepada para wanita dari
penggunaan pil-pil ini. Begitu juga kami harapkan
para lelaki agar sadar dan melarang mereka dari
perbuatan tersebut. Wallahul Muwaffiq
Hukum Pil Pencegah Haid
Fadhilatusy Syaikh ditanya tentang hukum
penggunaan pil-pil pencegah haid?
Beliau menjawab:
Penggunaan pil-pil pencegah haid jika tidak
membahayakan kesehatan, maka tidak mengapa,
dengan syarat diijinkan oleh suaminya.
Akan tetapi sebatas pengetahuanku bahwa pil-pil ini
membahayakan para wanita. Sebagaimana diketahui
bahwa keluarnya darah haid adalah sesuatu yang
sifatnya alami. Sesuatu yang sifatnya alami, jika
dihalangi keluarnya dari waktu yang semestinya
pasti akan memunculkan gangguan pada tubuhnya.
Demikian juga termasuk bahayanya akan
mengacaukan kebiasaan haidnya. Sehingga dia
dalam kebimbangan terhadap shalatnya dan juga
dalam hubungan dengan suaminya, dan lain-lain.
Karena itu aku tidak mengatakan bahwa
penggunaannya adalah perkara yang haram, tetapi
aku tidak suka jika para wanita menggunakannya
karena bahaya yang dikhawatirkan akan
menimpanya.
     Aku katakan: semestinya seorang wanita ridha
dengan ketentuan Allah padanya. Nabi pada tahun
beliau berhaji mendatangi ‘Aisyah, sementara beliau
sedang dalam keadaan menangis dan beliau telah
berihram untuk umrah. Nabi bersabda:
“Ada apa denganmu, apakah engkau nifas (yakni
haid)? Aku menjawab: benar. Beliau bersabda: Ini
adalah perkara yang telah Allah tetapkan pada
wanita anak keturunan nabi Adam.”
     Semestinya dia bersabar dan mengharap pahala.
Jika dia terhalangi untuk bisa berpuasa dan shalat
maka sesungguhnya pintu dzikir senantiasa terbuka
untuknya, alhamdulillah. Dia bisa berdzikir kepada
Allah dengan mengucapkan tasbih. Dia juga bisa
bershadaqah, berbuat baik kepada manusia dengan
ucapan dan perbuatan dan ini termasuk seutama-
utama amalan.

Kunjungi situs kami www.tunas-tauhid.blogspot.com

Fhoto kota ma'bar


Bismillah.
Di atas ini adalah fhoto kota ma'bar yg di fhoto melalau satelit, yg di mana di kota ini terdapat darul hadits bimbingna syaikh muhammad al imam hafidzahullohu ta'ala.

Kunjungi situs kami www.tunas-tauhid.blogspot.com

Fhoto kota aden yaman


Bismillah.
Di atas ini adalah fhoto kota aden yaman yg di fhoto melalui satelit, yang di mana di kota ini terdapat darul hadits vuyush bimbingnan syaikh abdurrohman al mar'i hafidzahullohu ta'ala.

Kunjungi situs kami www.tunas-tauhid.blogspot.com

Tuesday, January 28, 2014

Hukum menikahi wanita yang sedang Hamil / Hamil duluan.

Bismillah.
Bagaimana hukum menikah setelah hamil duluan? Karena saat ini ini marak terjadi di masyarakat.

Jawab:
Akibat pergaulan bebas, tidak ada aturan. Dan yang sangat disayangkan, sebagian orang tua membiarkan hal ini, dibiarkan. Kalau ada teman laki-lakinya yang ingin bertamu ke rumah, maka alasan orang tuanya ke belakang. “Maaf, ada kebutuhan di belakang”. Dia dibiarkan berdua.
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ

“Tidaklah sekali-kali seorang lelaki berkhalwat dengan seorang wanita, melainkan yang ketiganya adalah setan.” (HR. Tirmidzi, no.2165)

Setan yang bermain di situ, akhirnya terjadi perzinaan, wal’iyadzubillah. Sehingga, tidak sedikit para wanita, mereka dalam kondisi hamil sebelum menikah. Hamil diluar pernikahan, Allahul musta’an. Para wanita yang tidak memelihara kehormatannya, hidup bebas. Mendapatkan godaan dari seorang laki-laki, akhirnya tergoda. Dengan mudahnya dia dipengaruhi. Sehingga dalam keadaan belum menikah dia sudah dalam keadaan hamil.

Ini apa hukum menikah dalam keadaan seperti ini? Hukumnya tidak sah.
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (QS: Ath-Thalaaq Ayat: 4)

Adapun pada saat dia hamil, lalu kemudian dia menikah maka pernikahan itu tidak sah. Pernikahan tersebut adalah pernikahan yang tidak sah. Dan tidak diperbolehkan bagi seorang yang telah mengetahui hukum ini, lalu kemudian dia menikahi seorang wanita yang dalam keadaan hamil. Apabila dia mengetahui hukumnya, lalu dia masa bodo, dan dia tetap menikahi wanita tersebut, maka pernikahannya itu bathil. Sebab wanita itu belum hilang masa iddahnya. Dalam artian dia harus ditunggu sampai melahirkan. Setelah itu dinikahkan.

Ada sebagian mengatakan, “ya tapi malu, bagaimana? masa dia hamil dalam keadaan tidak punya suami, malu”. Sudah sejak awal, dia tidak punya rasa malu. Dari awal, dia sudah tidak punya rasa malu. Kenapa dia biarkan dirinya terjerumus ke dalam perbuatan nista seperti itu? Kalau dia punya rasa malu, hendaknya dia memelihara kehormatannya. Apakah setelah kemudian terjadi kecelakaan, lalu kemudian hendak ditutupi rasa malu ini? Lalu kemudian kita melanggar syari’at Allah subhanahu wata’ala?

Menikahkan begitu saja dalam keadaan hamil? Sekarang ini subhanallah. Akhirnya semakin maraknya hal ini, sebagian pemuda menganggap enteng permasalahan ini. Orang tua tidak setuju? Gampang. Katanya orang Makassar, silariang. Sudah bawa lari saja sekalian, bawa lari sehari, dua hari, kecelakaan, Allahul musta’an. Sudah, lalu kemudian menggampangkan permasalahan ini. Orang tuanya ngamuk-ngamuk sementara waktu. Pikirnya seperti itu. Sudah, dinikahkan saja. Menuntut tanggung jawab. Laki-laki ya mau saja dia bertanggung jawab. Tapi tidak seperti itu keadaannya. Tidak seperti itu keadaannya, tidak diperbolehkan. Kecuali apabila dia telah melahirkan.

Jika dilakukan dalam keadaan tidak tahu, bagaimana hubungan nasab anak dan ayahnya? Karena yang ana tahu, anak hasil zina dinisbatkan kepada ibunya. Sedangkan dalam kasus tersebut, status anak adalah hasil zina. Tapi yang menikahi ibunya juga ternyata ayah kandungnya?

Berbeda halnya apabila seorang tidak mengetahui hukum. Orang tuanya menyangka bahwa itu boleh-boleh saja. Boleh menikahkan anak meskipun dalam keadaan hamil. Berpegang kepada fatwa sebagian ustadz misalnya. Akhirnya terjadilah pernikahan, anaknya dalam keadaan hamil menikah. Ini apa hukumnya? Maka hukumnya sah, dibangun di atas pengetahuan dia yang jahil ketika itu. Atau ada seorang yang telah memfatwakan kepadanya dengan fatwa tersebut. Maka dibangun di atas hukum yang diyakini ketika itu.

Meskipun kita mengatakan, yang shahih dalam permasalahan ini bahwa seorang wanita menikah dalam keadaan hamil hukumnya tidak sah. Makanya kita mengatakan bagi orang yang sudah mengetahui hukum ini, lalu dia melakukannya maka pernikahannya bathil. Tapi seorang misalnya tidak mengetahui, dia menyangka bahwa itu boleh. Mungkin ada yang memfatwakan kepadanya. Maka dibangun di atas persangkaan sebelumnya bahwa yang demikian menurut mereka sebelum itu adalah diperbolehkan. Maka tidak perlu diulangi, sah.

Oleh karena itu, para sahabat yang mereka masuk ke dalam islam, nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah memerintahkan kepada mereka untuk mengulangi akad pernikahannya. Tapi dibangun di atas keyakinan mereka dahulu. Keyakinan jahiliyah. Mereka menganggap pada masa itu, pernikahan mereka di masa jahiliyah itu sah, maka itu sah. Padahal kalau kita membaca sejarah pernikahan jahiliyah, macam-macam cara mereka. Dan sekian banyak cara itu tidak sejalan dengan syari’at islam.

Akan tetapi nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mempertanyakan itu. Ketika mereka semua masuk ke dalam islam, nabi tidak pernah memerintahkan kepada mereka untuk mengulangi akadnya. Untuk mengulangi akad pernikahan. Dibangun di atas keyakinan mereka dahulu bahwa yang demikian sah. Bahkan ada seorang sahabat (Ghailan As-Tsaqafi) ketika dia masuk islam, datang kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu dia mengatakan “Ya rasulullah, saya masuk islam dan saya memiliki sembilan istri, apa yang harus saya lakukan?”

Kata nabi ‘alaihi shallatu wasallam:
“أَمْـسِكَ أَرْبَـعًا , وَفَارِقْ سَائِرَهُنَّ”

“Pertahankanlah istrimu empat saja, dan ceraikan istri-istrimu yang lainnya”. (Riwayat Ahmad, Syafi’i, Tarmizi, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah, Daraquthni dan Baihaqi)

Rasul tidak mengatakan, lepaskan dulu semua, nanti akad baru. Tidak demikian, maka ini menunjukkan bahwa apa yang diyakini sebelumnya, maka dibangun di atas keyakinan sebelumnya.

Adapun status anak tersebut, maka anak tersebut dinisbatkan kepada ibunya. Anak tersebut dinisbatkan kepada ibunya. Dia tidak punya ayah, meskipun laki-laki tersebut dia yang melakukannya. Tetap tidak boleh dinisbatkan kepadanya itu ayah. Dinisbatkan kepada ibunya. Karena itu bukan orang tuanya secara syar’i. Bukan orang tuanya secara syar’i. Tetapi tetap tidak diperbolehkan bagi dia untuk menikahi anak tersebut.

Kalau misalnya ada seorang laki-laki, dia berzina dengan seorang wanita. Akhirnya wanita itu melahirkan anaknya dalam keadaan laki-laki ini tidak menikah dengan wanita tersebut. Anaknya ini dewasa akhirnya menjadi remaja, bolehkah laki-laki yang pernah berzina dengan ibunya menikahi anaknya? Jawabannya tidak boleh, karena itu bagian darinya meskipun tidak berstatus sebagai ayah. Meskipun secara syar’i tidak berstatus sebagai ayah, tapi itu bagian dari dirinya dan tidak diperbolehkan.

Kunjungi situs kami www.tunas-tauhid.blogspot.com

Larangan Isbal / kain celana, sarung, dll hingga di bawah mata kaki

Bismillah.
"kain yang panjangnya di bawah mata kaki tempatnya adalah di NERAKA.  H.R Bukhori no 5787.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ

“Sarung yang berada di bawah kedua mata kaki, ada di dalam neraka (kaki tersebut).”

Sarung, celana, jubah, atau yang semisal, biasanya dikenakan oleh kaum musbil hingga menutupi mata kaki. Kebiasaan yang perlu dikritisi secara tinjauan syariat Islam. Mengapa hal “remeh” semacam ini dibahas? Itulah kesempurnaan ajaran Islam. Cara berpakaian pun ada aturannya.
Takhrij Hadits

Hadits dengan lafadz di atas diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5450), an-Nasa’i (no. 5330), dan Ahmad (2/498), dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Seluruhnya dari riwayat Syu’bah, dari Sa’id al-Maqburi, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Hadits lain yang lafadznya senada cukup banyak, antara lain,

1. Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat ath-Thabarani dalam al-Kabiir (3/138).

2. Hadits Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu ‘anhu riwayat an-Nasa’i dan Ibnu Majah (no. 3572).

3. Hadits Aisyah x riwayat Ahmad (6/59, 254, 257).

4. Hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu riwayat Ahmad dan lainnya. (ash- Shahihah, no. 2037) Isbal dan Musbil Isbal artinya menggunakan pakaian yang menutupi mata kaki, baik dalam bentuk sarung, celana, maupun jubah. Musbil adalah sebutan untuk orang yang melakukan isbal. Isbal telah menjadi pandangan sehari-hari dari kalangan kaum muslimin. Ada yang sama sekali tidak mengerti tentang keharamannya, ada yang sekadar mengikuti mode dan tren, juga ada yang tidak menaruh perhatian sedikit pun tentang hal ini. Sebenarnya, bagaimanakah hukum isbal itu? Hukuman apa yang diancamkan atas kaum musbil? Apakah hal ini termasuk masalah furu’—menurut kalangan tertentu—, sehingga tidak layak untuk diperdebatkan? Benarkah hal ini hanya masalah adat dan budaya orang Arab yang tidak berlaku di negeri kita, Indonesia? Adakah perbedaan antara musbil yang sombong dan musbil yang tidak sombong? Simaklah penjelasan ringkas berikut ini, barakallahu fikum.
Hukum Isbal

Isbal hukumnya haram, bahkan dapat dikategorikan sebagai kabair (dosa besar). Hukum ini berlandaskan pada keterangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim (no. 106) dan lainnya, “Ada tiga golongan manusia pada hari kiamat nanti. Allah Subhanahu wata’ala tidak berbicara kepada mereka, tidak memandang ke arah mereka, juga tidak menyucikan mereka. Untuk mereka azab yang pedih.” Kata-kata ini diulang sebanyak tiga kali oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sampai-sampai para sahabat bertanya, “Siapakah ketiga golongan tersebut, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,

الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ

“Orang musbil, orang yang selalu mengungkit-ungkit kebaikan, dan orang yang menjual barang dagangan dengan sumpah palsu.” (Fatwa al-Utsaimin, Nur ‘alad Darb)

Artinya, masalah isbal bukanlah masalah kecil. Tidak tepat juga jika masalah isbal dinilai sebagai masalah furu’. Anggapan sebagian kalangan bahwa masalah isbal hanyalah adat dan budaya orang Arab juga tidak benar. Ternyata, isbal termasuk dosa besar sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Hukum isbal hanya berlaku untuk kalangan laki-laki. Sebab, ada hukum tersendiri bagi kaum wanita. Kekhususan hukum ini untuk kaum laki-laki telah dinukilkan ijma’ ulama oleh Ibnu Raslan dalam Syarah Sunan. (Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abi Dawud)
Apakah Isbal Hanya Berlaku untuk Sarung?

Sesuai lafadz hadits di atas, seolaholah, zahirnya menunjukkan hukum isbal hanya berlaku untuk sarung saja. Benarkah demikian? Al-Imam al-Bukhari rahimahullah memberi judul bab untuk hadits di atas bab “Pakaian yang Berada di Bawah Mata Kaki Akan Masuk Neraka.” Kemudian al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, ”Demikianlah, al-Bukhari rahimahullah menyebutkan secara mutlak dan tidak memberikan taqyid (pembatasan) dengan ‘sarung’ sebagaimana yang terdapat di dalam lafadz hadits. Ini adalah isyarat bahwa hukum isbal berlaku secara umum baik untuk sarung, jubah, maupun pakaian lainnya. Sepertinya, al-Bukhari rahimahullah mengisyaratkan pada lafadz hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Malik, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah; yang dinyatakan sahih oleh Abu Awanah dan Ibnu Hibban.” (Fathul Bari, Syarah Shahih al-Bukhari) Hukum isbal yang tidak hanya terbatas pada sarung juga dapat dipahami dari hadits-hadits lain tentang isbal yang disebutkan pada kajian kita ini.
Musbil Tanpa Disertai Sikap Sombong

Ada sekelompok orang yang kurang bisa menerima hukum isbal secara mutlak. Alasan mereka adalah sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 3665) dan Muslim (no. 2085) dari sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مِنَ الْخُيَلَاءِ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa menyeret pakaiannya (melebihi mata kaki) karena sombong, Allah Subhanahu wata’ala tidak akan memandangnya pada hari kiamat nanti.”

Kata mereka, “Larangan isbal hanya berlaku untuk orang yang sombong saja! Jika tidak disertai sikap sombong, tidak mengapa.” Jika berdasarkan ilmu kita berbicara, bukan hawa nafsu; jika di atas sikap hormat kepada hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kita berhukum, tidak dengan menurutkan kesenangan hati; jika tidak mengambil sikap seenaknya kita sendiri, menerima satu hadits dan menolak hadits yang lain, walau tidak diakui secara lisan; tentu setiap hadits dapat diposisikan sebagaimana mestinya. Lihat dan teladanilah sikap para ulama. Mengenai hal ini, mereka merincinya menjadi dua masalah.

 1. Musbil disertai sikap sombong

Orang semacam inilah yang dimaksud oleh hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu di atas. Orang seperti inilah yang diancam dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ada tiga golongan manusia pada hari kiamat nanti. Allah Subhanahu wata’ala tidak berbicara kepada mereka, tidak memandang ke arah mereka, dan tidak menyucikan mereka. Untuk mereka azab yang pedih.”

2. Musbil tanpa diikuti oleh sikap sombong

Orang semacam ini siksanya di bawah tingkatan siksa jenis orang pertama. Orang seperti inilah yang dimaksud dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas. Orang semacam inilah yang diancam dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sarung yang berada di bawah kedua mata kaki, ada di dalam neraka.” (Fatwa al-Utsaimin, Nur ‘alad Darb)

Pendapat para ulama di atas didukung oleh sebuah riwayat dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4093), an-Nasa’i (no. 9714—9717), Ibnu Majah (no. 3573), dan yang lain, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah (no. 2017). Di dalam riwayat tersebut, dua keadaan di atas disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam secara berbeda dalam satu konteks. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ، مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ

“Pakaian yang berada di bawah mata kaki, ada di dalam neraka. Barang siapa menyeret pakaiannya (melebihi mata kaki) karena sombong, Allah Subhanahu wata’ala tidak akan memandangnya.” 

Jadi, sabda Nabi, “Barang siapa menyeret pakaiannya (melebihi mata kaki) karena sombong, Allah Subhanahu wata’ala tidak akan memandangnya”, tidak berarti apabila isbal tidak disertai sikap sombong maka boleh. Bukan seperti itu hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dipahami! Hal lain yang perlu dicermati juga adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu. Beliau adalah sahabat yang meriwayatkan hadits larangan isbal dengan disertai sikap sombong. Bagaimanakah praktik Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu dalam hal ini? Bukankah beliau lebih layak untuk diteladani dalam memahami hadits tersebut? Ternyata, Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma yang meriwayatkan hadits tentang larangan musbil dengan disertai sikap sombong, pada praktiknya menggunakan kain sarung di atas mata kaki, bahkan di pertengahan betis. Al-Imam Muslim rahimahullah (no. 2086) meriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita, “Aku pernah bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan kain sarungku turun. Lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menegur, ‘Wahai Abdullah, tinggikan kain sarungmu!’ Aku pun mengangkatnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap mengatakan, ‘Naikkan lagi!’ Aku pun mengangkatnya lebih tinggi. Setelah itu, aku selalu menjaga kain sarungku dalam posisi seperti itu.” Ada yang bertanya, “Sampai batas mana?” Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma menjawab,  “Sampai pertengahan betis.” Bagaimana dengan Atsar tentang Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu? Sekelompok kecil orang di atas ternyata masih berusaha mencari alasan dan pembenaran, walau sangat dipaksakan. Kata mereka, “Abu Bakr juga terkadang musbil dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan kepada beliau, ‘Sungguh, engkau tidak termasuk yang melakukan isbal dengan disertai sikap sombong’.” Mereka memahami, “Jadi, larangan itu hanya berlaku pada orang musbil yang bersikap sombong. Jika tidak, boleh-boleh saja!” Pembaca, semoga Allah Subhanahu wata’ala menjaga Anda, marilah kita mencermati hadits tentang Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu lebih dekat. Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu berkata,

إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ إِنَّكَ لَسْتَ : ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ

“Sungguh, salah satu bagian pakaianku selalu turun, namun aku selalu menjaganya agar tidak turun.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak termasuk yang melakukannya karena sikap sombong.” (HR. al- Bukhari no. 5447)

Ada beberapa hal yang harus dicermati tentang keadaan Abu Bakr di atas:

1. Tidak ada faktor kesengajaan isbal dari Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu.

2. Upaya Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu untuk selalu menaikkan kembali pakaiannya jika turun menutupi mata kaki.

3. Yang terkadang turun menutupi mata kaki Abu Bakr adalah salah satu sisi pakaiannya. Artinya, sisi pakaian yang lain berada di atas mata kaki.

4. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam merekomendasi Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu sebagai orang yang tidak sombong. Pertanyaannya, ”Apakah riwayat tentang Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu dapat disamakan dengan kaum musbil yang dengan sengaja telah melakukan isbal? Apakah mereka selalu berusaha menaikkan celana jika mulai menutupi mata kaki? Siapa yang merekomendasi mereka bebas dari sikap sombong?” Praktik Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan Para Sahabat Lihatlah praktik para sahabat dalam hal ini. Abu Ishaq bertutur, “Aku pernah melihat beberapa orang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka menggunakan sarung sampai di tengah betis, di antaranya Ibnu Umar, Zaid bin Arqam, Usamah bin Zaid, dan al-Bara’ bin ‘Azib .” (Majma’ az- Zawaid) Beberapa saat sebelum Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, seorang pemuda datang menjenguk untuk mendoakan dan menghibur Umar radhiyallahu ‘anhu. Ketika pemuda itu mohon izin, Umar melihat pakaiannya menutupi mata kaki. Umar pun menegur, “Wahai anak saudaraku, angkatlah pakaianmu. Itu lebih bersih dan bisa menambah takwa kepada Allah Subhanahu wata’ala!” (HR. al-Bukhari no. 3424) Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu ‘anhuma bercerita, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memegang otot betisku dan bersabda,

هَذَا مَوْضِعُ الْإِزَارِ، فَإِنْ أَبَيْتَ فَأَسْفَلُ، فَإِنْ أَبَيْتَ، فَلاَ حَقَّ لِلْإِزَارِ فِيْ الْكَعْبَيْنِ

‘Di sinilah letak sarung. Jika engkau tidak ingin, bisa di bawahnya sedikit. Jika engkau masih juga tidak ingin, tidak ada hak untuk sarung berada tepat pada mata kaki’.” (HR. at-Tirmidzi dalam Syamail Muhammadiyah dan dinyatakan sahih oleh al-Albani no. 99)

Sebagai penutup, marilah kita meresapi kata-kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di bawah ini. Ubaid bin Khalid al-Muharibi berkisah, “Saat aku berjalan di kota Madinah, tiba-tiba seseorang berkata dari belakangku, ‘Angkatlah pakaianmu! Sungguh, itu bisa menambah takwamu’.” Ternyata, orang tersebut adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku menjawab, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, hanya sekadar burdah putih.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَمَا لَكَ فِيَّ أُسْوَةٌ؟

“Apakah engkau tidak ingin meneladani diriku?” Aku pun memerhatikan sarung beliau, ternyata sampai di pertengahan betis. (HR. at-Tirmidzi dalam Syamail Muhammadiyah dan dinyatakan sahih oleh al-Albani no. 97)

Sekarang, kita bisa menyampaikan kepada siapa saja yang bertanya tentang hukum isbal, “Apakah engkau tidak ingin meneladani diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggunakan pakaian di atas mata kaki, bahkan hingga di tengah betis.” Wallahu a’lam.

Kunjungi situs kami www.tunas-tauhid.blogspot.com