Sunday, March 2, 2014

penyimpangan - Penyimpangan ihya atturots seasons 2

Penulis: Al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-
Bugisi

JUM'IYYAH IHYA AT-TUROTS, MASALAH IJTIHADIYYAH?????

Pada edisi yang lalu telah kita nukilkan sebagian
fatwa para ulama yang menyatakan bahwa Ihya At-
Turots adalah organisasi yang dibangun diatas
manhaj Ikhwani,yang didalamnya diterapkan cara-
cara hizbiyyah. Diantaranya mengikat anggotanya
dengan cara bai’at, ikut serta dalam politik praktis,
berparlemen, menyebarkan pemikiran Quthbiyyah dan
Abdurrahman Abdul Khaliq. Sehingga, menyebabkan
terjadinya perpecahan di berbagai negeri karena
campur tangan organisasi ini yang
mengatasnamakan dakwahnya dengan dakwah
Salafiyyah, termasuk perpecahan yang telah terjadi di
Indonesia juga tidak terlepas dari campur tangan
mereka.
Pada saat kaum muslimin berusaha mengenal
dakwah Salafiyyah secara murni dan konsekuen dan
senantiasa berpijak di atas Al Qur’an dan Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam dengan
pemahaman yang benar dari Salafus Saleh dengan
bimbingan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Maka mereka pun dikejutkan dengan sepak terjang
organisasi Ihya At-turots Al-Kuwaiti tersebut di bumi
Indonesia. Dengan mengandalkan dananya, ia pun
menyalurkannya kepada beberapa organisasi/
yayasan atau pondok pesantren untuk memenuhi
kebutuhan mereka seperti, membangun masjid,
menanggung anak-anak yatim, menggaji para du’at
(guru) dan yang semisalnya.
Nah, kalau permasalahannya hanya berhenti sampai
di sini, maka hal itu tidak dipersoalkan oleh para
Ulama yang memberi peringatan dari bahayanya
organisasi ini. Namun persoalannya ternyata tidak
hanya sampai disitu, penyaluran dana tersebut diikuti
dengan berbagai kegiatan-kegiatan yang mereka
adakan justru menjadi faktor terbesar semakin
terpecahnya Ahlus Sunnah di negeri ini. Mulai
dengan cara melakukan hubungan erat dan saling
ta’awun dengan organisasi Al-Irsyad cabang
Tengaran,yang pada saat itu dipimpin oleh Yusuf
Utsman Baisa,yang akhirnya dijadikan sebagai salah
satu tempat dilakukannya beberapa kegiatan Ihya At-
Turots.
Kegiatan Al Irsyad tersebut, mulai dari mendatangkan
Abdurrohman Abdul Khaliq yang sempat
menyampaikan ceramahnya di hadapan sebagian
para du’at. Lalu disusul dengan pengadaan berbagai
kegiatan dauroh,dengan diundangnya para du’at ihya
At-Turots yang berasal dari berbagai macam elemen
dan beraneka ragam fikroh (pemikiran) dan
dilanjutkan dengan diadakannya pengkaderan khusus
dengan istilah “mulazamah” selama setahun,
dibawah bimbingan langsung dari da’i Ihya At-
Turots yang dikirim khusus untuk mengajar di
Ponpes Al-Irsyad,Tengaran,dia bernama Syarif Fu’ad
Hazza’[1]. Apa yang kami sebutkan ini adalah
hanyalah sebagian kecil dari berbagai kejadian yang
dilakoni oleh Ihya At-Turots dalam memecah belah
Ahlus Sunnah.
Namun pada edisi kali ini, kami tidak ingin
membahas tentang dampak negatif yang ditimbulkan
oleh Ihya At-Turots tersebut secara detail, sebab itu
akan kami rinci pada edisi-edisi yang akan datang –
insya Allah Ta’ala-.
Adapun pembahasan kami untuk edisi ini, yakni
dengan adanya sebagian mereka yang selalu
menganggap sepele terhadap permasalahan ini. Jika
ada yang berbicara tentang bahayanya Ihya At-
Turots dan memperingatkan kaum muslimin dari
kesesatan mereka, maka serta-merta ada yang
membantah dan mengatakan, “…ya akhi, ini kan
masalah khilafiyyah dan dalam masalah khilaf, kita
tidak boleh ada pengingkaran.”Atau ucapan,”…kan
ada juga ulama yang merekomendasi mereka
sebagai Ahlus Sunnah.” Atau kata-kata seperti, ”…
tidak boleh mentahdzir dalam masalah ijtihadiyyah,”
“…yang mentahdzir kan bukan ulama Kibar…”.
Ada juga yang menyatakan , “ulama yang mentahdzir
kan hanya beberapa ulama saja, adapun yang
merekomendasi lebih banyak jumlahnya, bahkan
ulama tersebut adalah guru-guru mereka yang
mentahdzir” dan yang semisalnya yang hendak
mementahkan kembali permasalahan ini dan
menganggap – tidak masalah – jika seseorang ingin
bekerjasama dengan mereka, karena mereka pun
menyebarkan dakwah Ahlus Sunnah.
Maka, marilah kita mengikuti kajian-kajian berikut
ini, sebagai jawaban dari berbagai syubhat seputar
Jum’iyyah Ihya At-Turots.
Menyikapi masalah khilaf
Diantara perkara yang wajib diketahui dalam hal ini
adalah menyikapi setiap permasalahan sesuai
porsinya, tidak berlebih-lebihan dan tidak pula
kurang dari kadar semestinya. Demikian pula dalam
hal menyikapi adanya perselisihan yang terjadi di
kalangan para Ulama. Ada perkara-perkara yang
bisa ditolerir yang memerlukan sikap lapang dada
dalam menghadapi adanya khilaf tersebut, ada pula
yang membutuhkan sikap tegas bahkan sampai
kepada tingkat memperingatkan umat dari
bahayanya pendapat yang keliru tersebut.
Nah, barangsiapa yang berpendapat bahwa masalah
khilafiyyah ijtihadiyyah tidak boleh ada pengingkaran
atau tahdzir padanya maka sungguh dia telah
melakukan suatu kesalahan yang fatal.Seperti apa
yang disebutkan oleh al akh Firanda : “……..atau
diterapkan pada perkara-perkara yang sebenarnya
tidak boleh ada pengingkaran apalagi sampai
tahapan tahdzir dan hajr seperti perkara-perkara
yang merupakan masalah ijtihadiyyah”[2] .
(Kaidah-Kaidah Penerapan Hajr (Boikot) terhadap
Ahli Bid’ah Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah
(Menyikapi Sejumlah Kesalahan Penerapan Hajr di
Indonesia, penulis Al Akh Firanda Ibnu ‘Abidin Abu
‘Abdil Muhsin as-Soronji, hal 8, tanpa penerbit [3] ).
Sungguh benar apa yang dikatakan oleh seorang
penyair :
ﻟﻴﺲ ﻛﻞ ﺧﻼﻑ ﺟﺎﺀ ﻣﻌﺘﺒﺮﺍ
ﺇﻻ ﺧﻼﻑ ﻟﻪ ﺣﻆ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﻈﺮ
“Tidak semua khilaf yang datang itu bisa dianggap
Kecuali jika khilaf tersebut memiliki sisi pandang”
Bila kita telah memahami masalah ini, maka disaat
kita mendapati adanya permasalahan yang
diperselisihkan di kalangan para Ulama, maka sikap
pertama bagi seorang muslim adalah menimbang
masalah tersebut berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam dengan
pemahaman Salafus Soleh. Sebagaimana firman-
Nya:
ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﺃَﻃِﻴﻌُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﺃَﻃِﻴﻌُﻮﺍ ﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝَ ﻭَﺃُﻭﻟِﻲ ﺍﻷَﻣْﺮِ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻓَﺈِﻥْ
ﺗَﻨَﺎﺯَﻋْﺘُﻢْ ﻓِﻲ ﺷَﻲْﺀٍ ﻓَﺮُﺩُّﻭﻩُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝِ ﺇِﻥْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗُﺆْﻣِﻨُﻮﻥَ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻵﺧِﺮِ
ﺫَﻟِﻚَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻭَﺃَﺣْﺴَﻦُ ﺗَﺄْﻭِﻳﻼً ﴿٥۹ ﴾ ] ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ : ٥۹ [
] 59 ] Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah
dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya. [QS An Nisaa: 59]
Dan firman-Nya:
ﻭَﻣَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻟِﻤُﺆْﻣِﻦٍ ﻭَﻻَ ﻣُﺆْﻣِﻨَﺔٍ ﺇِﺫَﺍ ﻗَﻀَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟُﻪُ ﺃَﻣْﺮًﺍ ﺃَﻥْ ﻳَﻜُﻮﻥَ ﻟَﻬُﻢُ ﺍﻟْﺨِﻴَﺮَﺓُ
ﻣِﻦْ ﺃَﻣْﺮِﻫِﻢْ ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﻌْﺺِ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟَﻪُ ﻓَﻘَﺪْ ﺿَﻞَّ ﺿَﻼَﻻً ﻣُﺒِﻴﻨًﺎ ﴿ ۳٦ ﴾ ]ﺍﻷﺣﺰﺍﺏ :
۳٦ [
] 36 ] Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min
dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah
dia telah sesat, sesat yang nyata. [QS Al Ahzaab: 36]
Dan firman-Nya:
ﻓَﻼَ ﻭَﺭَﺑِّﻚَ ﻻَ ﻳُﺆْﻣِﻨُﻮﻥَ ﺣَﺘَّﻰ ﻳُﺤَﻜِّﻤُﻮﻙَ ﻓِﻴﻤَﺎ ﺷَﺠَﺮَ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﺛُﻢَّ ﻻَ ﻳَﺠِﺪُﻭﺍ ﻓِﻲ ﺃَﻧْﻔُﺴِﻬِﻢْ
ﺣَﺮَﺟًﺎ ﻣِﻤَّﺎ ﻗَﻀَﻴْﺖَ ﻭَﻳُﺴَﻠِّﻤُﻮﺍ ﺗَﺴْﻠِﻴﻤًﺎ ﴿٦٥﴾ ] ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ : ٦٥ [
] 65 ] Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya)
tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati
mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya. [QS An Nisaa:
65]
Dan nash-nash dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah
dalam perkara ini masih sangat banyak.
Maka jika muncul satu pendapat dari seorang alim
atau yang lainnya yang menyelisihi nash yang shorih
(jelas), maka bukanlah hal yang tercela apabila
pendapat tersebut diingkari dan diperingatkan umat
(tahdzir), agar mereka menjauhi pendapat itu. Bahkan
hal itu termasuk dalam nasehat yang dianjurkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam dalam
sabdanya:
(( ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﻟﻨﺼﻴﺤﺔ ))
“Agama itu adalah nasehat”
(HR.Muslim dari Abu Ruqoyyah Tamim bin Aus Ad-
Dari Radiyallahu ‘anhu ).
Oleh karenanya masih saja para Ulama
mengeluarkan bantahan-bantahannya dan
memperingatkan umat dari bahayanya mengambil
suatu pendapat, yang telah jelas menyelisihi apa
yang telah tsabit dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassallam. Disini akan kami nukilkan beberapa
contoh tentang apa yang kami sebutkan:
1) Nikah mut’ah, yang telah jelas haramnya
berdasarkan dalil-dalil yang datang dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassallam bahwa beliau
mengharamkannya. Saya kira tentang keharamannya
bukanlah perkara yang samar bagi kita sekalian,
sehingga tidak perlu kita menyebutkan dalil-dalilnya,
namun itu bukan tujuan kita bahas disini. Namun
yang perlu diketahui bahwa di kalangan para ulama
bahkan shahabat ada yang menghalalkannya,
sebagaimana yang telah tsabit dari Abdullah bin
Abbas , diantara yang masyhur berpendapat demikian
adalah Ibnu Juraij Abdul Malik bin Abdil Aziz
rahimahullah Ta’ala. Lalu jika ada orang di zaman
kita ada yang mau melakukan nikah mut’ah, apakah
kita tidak mengingkarinya? Apakah kita tidak
mentahdzirnya? Dengan alasan bahwa ini masalah
khilafiyyah ijtihadiyyah – menurut bahasanya Al-Akh
Firanda- ? Tentunya orang yang sedikit
pengetahuannya tentang kaidah-kaidah dalam
manhaj Salaf pun bisa menjawab hal ini.
2) Nikah dengan cara tahlil, yaitu menikahi seorang
wanita yang telah bercerai dengan suami
pertamanya,yang dimaksudkan -dengan menikahinya
– diapun mencerainya, sehingga dia bisa kembali
kepada suami pertamanya. Atau telah terjadi
kesepakatan diantara mereka bahwa jika ia
menikahinya dan telah menyetubuhinya, maka dia
harus mencerainya agar dapat kembali ke suaminya
yang pertama. Adapun jumhur para Ulama
mengharamkan pernikahan model ini. Berkata Umar :
“Tidaklah ada orang yang didatangkan kepadaku
melakukan nikah tahlil melainkan akan aku rajam
keduanya”. Namun diriwayatkan dari Abu Hanifah
bahwa ia membolehkannya. Lalu jika ada orang yang
melakukannya pada hari ini, apakah anda tidak
memberi peringatan (tahdzir) dari pendapat tersebut
– dengan alasan – masalah ini termasuk ijtihadiyyah
khilafiyyah ? Jawablah dengan jawaban seorang
Salafi yang ikhlas dalam mengikuti manhaj Salaf !
Silahkan lihat ucapan Syaikhul Islam tentang
pembahasan nikah tahlil dalam Majmu’ Fatawa :
20/266-dst Jilid 32/93 dan hal:96-97 serta di
tempat yang lainnya.
3) Jama’ah Tabligh, jama’ah Shufiyyah, dimana para
Ulama telah mentahdzirnya dan memberi peringatan
darinya. Hal ini adalah perkara yang sudah ma’ruf di
kalangan kita sekalian. Akan tetapi ternyata masih
ada juga yang memberi pujian pada mereka, seperti
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, bahkan
mengarang sebuah kitab sebagai bentuk pujian
terhadap mereka yang akhirnya kitab tersebut
dijadikan tameng oleh Jama’ah Tabligh. Maka
silahkan ditanyakan kepada Al-Akh Firanda –
hadanallahu wa iyyah- : “Apakah anda tidak
mengingkari Jama’ah Tabligh dan mentahdzir
darinya?” Atau anda masih menganggap bahwa ini
masalah khilafiyyah ijtihadiyyah yang tidak boleh
ada pengingkaran dan tahdzir padanya ? Kalau anda
memberi jawaban pertama, maka anda telah
merobohkan kaedah yang anda gunakan sendiri. Dan
kalau anda memilih jawaban yang kedua, maka anda
perlu untuk mengintrospeksi kembali terhadap
manhaj anda.
4) Masalah demonstrasi. Baru-baru ini ketika Syaikh
Ali Hasan hafidzahullah berkunjung ke Makasar,
dalam salah satu pertemuan beliau ditanya tentang
hukum berdemonstrasi. Beliaupun menjawab bahwa
ini termasuk perkara yang diperselisihkan oleh para
Ulama, walaupun yang rajih menurut beliau adalah
terlarang. Saya sendiri belum mengetahui siapa di
kalangan para Ulama Ahlus Sunnah yang
membolehkan demonstrasi, namun kalaulah apa
yang disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan tersebut
benar, apakah jika ada yang membolehkan
demonstrasi bahkan melakukannya, apakah tidak
diperbolehkan mentahdzir darinya dengan alasan
bahwa ini termasuk masalah khilafiyyah ijtihadiyyah?
Kita tunggu jawaban dari Al-Akh Firanda.
5) Masalah haramnya musik. Kita tentunya telah
mengetahui berdasarkan banyak dalil baik dari Al-
Qur’an maupun As-Sunnah yang menjelaskan
tentang diharamkannya musik. Dan ini adalah
pendapat jumhur dari kalangan para Ulama. Namun
di kalangan para Ulama masih ada juga yang
menghalalkan, seperti Ibnu Hazm rahimahullah
Ta’ala. Jika demikian keadaannya, lalu tanyakanlah
kepada al-akh Firanda: “Apakah anda tidak
mentahdzir dari musik karena termasuk masalah
ijtihadiyyah khilafiyyah?”.
6) Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb, Salman dan Safar
Hawali. Dimana para Ulama telah menjelaskan dan
mentahdzir dari kesesatannya, seperti Al-Allamah Al-
Albani, Asy Syaikh Ibn Baaz dan Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahumullah Ta’ala. Bahkan telah
dinyatakan bahwa mereka ini tergolong diantara
kaum Neo Khawarij. Namun bukankah Al-Akh
Firanda juga mengetahui bahwa masih ada juga yang
membela mereka, seperti Syaikh Abdurrahman Jibrin,
Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid dan mungkin
masih ada yang lainnya yang ana tidak ketahui. Lalu
silahkan tanyakan kepada Al-Akh Firanda: “Apakah
anda termasuk yang membela mereka atau yang
mentahdzir ? Atau mungkin anda memiliki jawaban
rinci ?” Mungkin itu yang kita tunggu.
Saya kira beberapa contoh ini sudah cukup mewakili
yang lainnya, sebab masih banyak lagi contoh yang
disebutkan oleh para Ulama, diantaranya Syaikhul
Islam dalam Majmu’ al-Fatawa dan Ibnu Qoyyim
dalam kitabnya yang sangat bermanfaat, “A’laam al-
Muwaqqi’in”.
Bila hal ini telah kita pahami, maka sesungguhnya
para Ulama masih saja memperingatkan dari
bahayanya suatu pendapat yang menyelisihi dalil,
walaupun di kalangan para Ulama ada yang
berpendapat dengannya. Sebab tidak seorang pun
dari kalangan para ulama melainkan Ia memiliki
zallah (ketergelinciran/kekeliruan). Berkata Al-Auza’i
rahimahullah Ta’ala:
( ﻧﺠﺘﻨﺐ ﺃﻭ ﻧﺘﺮﻙ ﻣﻦ ﻗﻮﻝ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﺮﺍﻕ ﺧﻤﺴﺎ ﻭﻣﻦ ﻗﻮﻝ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺤﺠﺎﺯ ﺧﻤﺴﺎ ﻣﻦ
ﻗﻮﻝ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﺮﺍﻕ ﺷﺮﺏ ﺍﻟﻤﺴﻜﺮ ﻭﺍﻷﻛﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻓﻲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻭﻻ ﺟﻤﻌﺔ ﺇﻻ
ﻓﻲ ﺳﺒﻌﺔ ﺃﻣﺼﺎﺭ ﻭﺗﺄﺧﻴﺮ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻌﺼﺮ ﺣﺘﻰ ﻳﻜﻮﻥ ﻇﻞ ﻛﻞ ﺷﻲﺀ ﺃﺭﺑﻌﺔ ﺃﻣﺜﺎﻟﻪ
ﻭﺍﻟﻔﺮﺍﺭ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﺰﺣﻒ ﻭﻣﻦ ﻗﻮﻝ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺤﺠﺎﺯ ﺍﺳﺘﻤﺎﻉ ﺍﻟﻤﻼﻫﻲ ﻭﺍﻟﺠﻤﻊ ﺑﻴﻦ
ﺍﻟﺼﻼﺗﻴﻦ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻋﺬﺭ ﻭﺍﻟﻤﺘﻌﺔ ﺑﺎﻟﻨﺴﺎﺀ ﻭﺍﻟﺪﺭﻫﻢ ﺑﺎﻟﺪﺭﻫﻤﻴﻦ ﻭﺍﻟﺪﻳﻨﺎﺭ ﺑﺎﻟﺪﻳﻨﺎﺭﻳﻦ
ﻳﺪﺍ ﺑﻴﺪ ﻭﺇﺗﻴﺎﻥ ﺍﻟﺴﻨﺎﺀ ﻓﻲ ﺃﺩﺑﺎﺭﻫﻦ )
“Kita menjauhi atau meninggalkan lima pendapat
ulama Irak dan lima pendapat ulama Hijaz, “Diantara
pendapat ulama Irak adalah bolehnya minum yang
memabukkan, makan di waktu fajar telah masuk di
bulan Ramadhan, tidak ada sholat Jum’at kecuali
pada tujuh negeri, bolehnya mengakhirkan sholat
Ashar hingga bayangan sesuatu empat kali lipatnya,
bolehnya melarikan diri dari medan pertempuran.”
Dan ucapan penduduk Hijaz yaitu: “Bolehnya
mendengarkan musik, menjamak antara dua sholat
tanpa udzur, menikahi wanita dengan nikah mut’ah,
bolehnya menukar satu dirham dengan dua dirham
dan satu dinar ditukar dengan dua dinar secara
kontan dan bolehnya menggauli wanita lewat
duburnya”.”
(Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Ma’rifat Uluum
al-Hadits:65 dan dari jalannya Al-Baihaqi dalam
Sunannya: 10/211).
Beliau rahimahullah juga mengatakan:
ﻣﻦ ﺃﺧﺬ ﺑﻨﻮﺍﺩﺭ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺧﺮﺝ ﻣﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ
“Barangsiapa yang mengambil pendapat ganjil para
ulama, maka dia keluar dari Islam”
(diriwayatkan Al-Baihaqi:10/211)
Juga berkata Ismail bin Ishaq Al-Qadhi:
ﻣﻦ ﺃﺑﺎﺡ ﺍﻟﻤﺴﻜﺮ ﻟﻢ ﻳﺒﺢ ﺍﻟﻤﺘﻌﺔ ﻭﻣﻦ ﺃﺑﺎﺡ ﺍﻟﻤﺘﻌﺔ ﻟﻢ ﻳﺒﺢ ﺍﻟﻐﻨﺎﺀ ﻭﺍﻟﻤﺴﻜﺮ ﻭﻣﺎ
ﻣﻦ ﻋﺎﻟﻢ ﺇﻻ ﻭﻟﻪ ﺯﻟﺔ ﻭﻣﻦ ﺟﻤﻊ ﺯﻟﻞ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺛﻢ ﺃﺧﺬ ﺑﻬﺎ ﺫﻫﺐ ﺩﻳﻨﻪ
“(Ulama) yang membolehkan minum yang
memabukkan, dia tidak membolehkan nikah mut’ah.
Dan Ulama yang membolehkan nikah mut’ah, tidak
membolehkan nyanyian dan yang memabukkan.
Tidak seorang alim pun melainkan dia memiliki
ketergelinciran (kekeliruan, pen). Dan barangsiapa
yang mengumpulkan ketergelinciran para Ulama,
maka akan hilang agamanya.”
(Diriwayatkan Al-Baihaqi:10/211).
Berkata pula Yahya bin Sa’id Al-Qoththon
rahimahullah Ta’ala:
ﻟﻮ ﺃﻥ ﺭﺟﻼ ﻋﻤﻞ ﺑﻜﻞ ﺭﺧﺼﺔ : ﺑﻘﻮﻝ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻜﻮﻓﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺒﻴﺬ ﻭﺃﻫﻞ ﺍﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﻓﻲ
ﺍﻟﺴﻤﺎﻉ ﻭﺃﻫﻞ ﻣﻜﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺘﻌﺔ ﻟﻜﺎﻥ ﻓﺎﺳﻘﺎ
“Kalaulah sekiranya seseorang mengamalkan setiap
rukhshah (yang ringan ) : “Pendapat ahli Kufah
tentang nabidz [4] , dan pendapat penduduk Madinah
tentang musik, pendapat penduduk Makkah tentang
(nikah) Mut’ah, maka dia menjadi orang
fasik.” (Aunul Ma’bud:13/187)
Berkata Sulaiman At-Taimi:
ﻟﻮ ﺃﺧﺬﺕ ﺑﺮﺧﺼﺔ ﻛﻞ ﻋﺎﻟﻢ ﺃﻭ ﺯﻟﺔ ﻛﻞ ﻋﺎﻟﻢ ﺍﺟﺘﻤﻊ ﻓﻴﻚ ﺍﻟﺸﺮ ﻛﻠﻪ
“Jika engkau mengambil rukhshah setiap alim atau
kekeliruan setiap alim, maka telah berkumpul
padamu setiap kejelekan”
(Musnad Ibnu Ja’ad:1319, Hilyah Al-Auliya’:3/323,
Tadzkirotul Huffadz:1/151)
Ibnu Hazm rahimahullah tatkala menyebutkan
tentang sedikitnya jumlah ijma’ yang tsabit, lalu
beliau berkata:
ﻭﻟﻮ ﺃﻥ ﺍﻣﺮﺃ ﻻ ﻳﺄﺧﺬ ﺇﻻ ﺑﻤﺎ ﺍﺟﺘﻤﻌﺖ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻷﻣﺔ ﻓﻘﻂ ﻭﻳﺘﺮﻙ ﻛﻞ ﻣﺎ ﺍﺧﺘﻠﻔﻮﺍ ﻓﻴﻪ
ﻣﻤﺎ ﻗﺪ ﺟﺎﺀﺕ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﻨﺼﻮﺹ ﻟﻜﺎﻥ ﻓﺎﺳﻘﺎ ﺑﺈﺟﻤﺎﻉ ﺍﻷﻣﺔ
“…Kalau sekiranya seseorang tidak mengambil
kecuali apa yang disepakati umat ini, lalu
meninggalkan setiap apa yang diperselisihkan
padanya dari sesuatu yang telah datang padanya
nash, maka dia menjadi seorang yang fasik”. (Al-
Ihkam,Ibnu Hazm:2/208).
Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah Ta’ala tatkala
beliau menjelaskan tentang batilnya perbuatan hilah
[5] :
“Perkataan mereka, ‘Bahwa permasalahan khilaf
tidak ada pengingkaran atasnya’, tidaklah benar,
sebab sikap pengingkaran ada kalanya diarahkan
kepada sebuah ucapan, fatwa atau amalan. Adapun
yang pertama, maka apabila ucapan tersebut
menyelisihi Sunnah atau ijma’ yang masyhur, maka
wajib mengingkarinya berdasarkan kesepakatan. Jika
tidak demikian (maksudnya tidak ada kesepakatan-
pen) maka menjelaskan kelemahannya dan
penyelisihannya terhadap dalil, maka tetap ada
pengingkaran yang semisalnya. Adapun suatu
amalan, maka apabila menyelisihi Sunnah atau ijma’,
maka wajib mengingkarinya berdasarkan tingkatan-
tingkatan dalam mengingkari. Lalu bagaimana
mungkin seorang faqih menyatakan bahwa tidak
boleh ada pengingkaran terhadap berbagai masalah
yang diperselisihkan, sementara para fuqoha’ dari
seluruh golongan telah menyatakan dengan jelas
bahwa akan dibatalkannya keputusan hukum seorang
hakim, jika menyelisihi al-Kitab atau as-Sunnah
walaupun telah disetujui oleh sebagian ulama.
Adapun bila dalam permasalahan tersebut tidak ada
Sunnah, atau ijma’, dan ijtihad diperbolehkan
padanya. Maka tidak diingkari orang yang
melakukannya karena berijtihad atau bertaqlid.
Dan sesungguhnya munculnya pengkaburan ini
disebabkan karena orang yang mengatakannya
meyakini bahwa permasalahn khilaf itu adalah
masalah ijtihad, sebagaimana yang disangka oleh
beberapa orang dari kalangan manusia yang tidak
memiliki sifat tahqiq (pengecekan secara benar)
dalam berilmu.
Yang benar adalah apa yang diyakini oleh para imam
bahwa permasalahan ijtihad selama tidak ada dalil
yang wajib diamalkan secara dzahir, seperti hadits
yang shohih yang tidak ada yang menyelisihinya,
maka diperbolehkan padanya –jika tidak ada dalil
yang zhahir yang wajib diamalkan- berijtihad, sebab
adanya dalil-dalil yang terlihat saling bertentangan
serta karena terkaburkannya dalil-dalil didalamnya.
Dan pada ucapan seorang alim, “Sesungguhnya
masalah ini qoth’i atau yaqini dan tidak
diperbolehkan padanya ijtihad, bukanlah merupakan
cercaan terhadap yang menyelisihinya ,tidak pula
dinisbahkan kepadanya bahwa dia sengaja
menyelisihi kebenaran. Sementara permasalahan
yang diperselisihkan padanya oleh Ulama Salaf
maupun khalaf, dalam keadaan kita telah meyakini
kebenaran salah satu dari dua pendapat tersebut,
banyak…”
Lalu beliau menyebutkan sekian banyak contoh
dalam hal ini, setelah itu beliau mengatakan, “Yang
jelas, tidak ada udzur di sisi Allah Azza wa Jalla
pada hari Kiamat bagi siapa yang telah sampai
kepadanya apa yang terdapat dalam suatu
permasalahan,baik masalah ini atau yang lainnya,
berupa hadits-hadits dan atsar yang tidak ada yang
menyelisihinya, jika dia melemparnya di belakang
punggungnya, lalu dia taqlid pada orang yang
dilarang untuk taqlid kepadanya dan yang telah
mengatakan kepadanya, “Tidak halal bagimu untuk
mengikuti ucapanku jika menyelisihi Sunnah. Maka
jika telah shohih suatu hadits, maka jangan engkau
pedulikan ucapanku”. Kendatipun dia tidak
mengatakan itu kepadamu, maka sesungguhnya itu
adalah suatu hal yang wajib yang tidak ada pilihan
lain bagimu. Bahkan kalaupun dia mengatakan
kepadamu selain itu, maka tidak ada leluasa bagimu
kecuali mengikuti hujjah. Kalau saja dalam masalah
ini tidak terdapat hadits dan atsar sama sekali, maka
sesungguhnya seorang mukmin mengetahui secara
pasti bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam
tidak pernah mengajari para shahabatnya cara hilah
seperti ini dan tidak pula membimbing kepadanya,
‘kalaulah sekiranya sampai kepadanya berita bahwa
ada seseorang melakukannya niscaya akan
diingkarinya’. Dan tidak pernah seorang pun dari
para shahabat yang memfatwakannya dan tidak pula
mengajarkannya. Sebab yang demikian termasuk
perkara yang dipastikan oleh setiap orang yang
sedikit menelaah tentang keadaan mereka, sejarah
kehidupan mereka dan fatwa-fatwanya. Hal ini
tidaklah membutuhkan dalil lebih dari sekedar
mengetahui hakekat agama yang Allah Azza wa Jalla
mengutus Rasul-Nya dengannya.”
(A’laam al-Muwaqqi’in,Ibnul Qoyyim:3/300-301)
Mendudukkan Rekomendasi Para Ulama
Jika kita memperhatikan secara seksama apa yang
menyebabkan terjadinya perbedaan fatwa dalam
menyikapi Ihya At-Turots, keadaannya bukanlah
seperti masalah khilafiyyah yang didalamnya terjadi
saling tarik menarik dalil atau masing-masing
mengetahui dalil yang ada, hanya berbeda dalam hal
pemahaman. Seperti halnya masalah sedekap disaat
posisi I’tidal (dalam sholat, red), dimana masing-
masing dari para Ulama tersebut mengetahui dalil
yang datang dalam masalah ini, namun terjadi
perbedaan dalam hal memahaminya. Atau seperti
masalah duduk akhir dalam sholat, apakah dengan
cara tawarruk ataukah iftirosy, masing-masingnya
berhujjah dengan satu hadits yaitu hadits yang
diriwayatkan Imam Bukhari dari Abu Humaid As-
Sa’idi. Atau seperti masalah menggerakkan jari
ketika tasyahhud, yang berbeda dalam menyikapi
keabsahan adanya tambahan “wayuharrikuha” dalam
riwayat Zaidah bin Qudamah, atau permasalahan
yang semisal apa yang kami sebutkan.
Namun perselisihan fatwa yang terjadi dalam
menyikapi Ihya At-Turots tidaklah seperti tersebut
diatas, namun disebabkan karena adanya tambahan
ilmu yang diketahui oleh Ulama yang mentahdzir
mereka, yang tidak diketahui oleh para Ulama yang
merekomendasi mereka. Cobalah kita perhatikan
rekomendasi para Ulama tersebut, apakah mereka
memberi rekomendasi karena dalam Ihya At-Turots
ada bai’at? Atau karena mereka ikut serta dalam
politik praktis? Atau mereka ketahui bahwa diantara
mereka ada yang memiliki fikroh At-takfir?
Jawabannya adalah: “Tidak!”. Bahkan merupakan
perkara yang ma’ruf tentang sikap para Ulama
terhadap berbagai macam penyimpangan tersebut
yang dapat menjerumuskan kaum muslimin kepada
berbagai praktek hizbiyyah.
Maka semestinya sikap yang ditempuh oleh seorang
“Salafi” adalah memandang secara jernih letak
perbedaan fatwa yang terjadi. Sebab para Ulama
rahimahumullah tersebut berfatwa sebatas apa yang
telah sampai kepada mereka. Oleh karenanya Aisyah
radhiallahu ‘anha mengingkari orang yang
mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassallam pernah kencing berdiri,karena itulah ilmu
yang sampai kepadanya. Dan telah diketahui oleh
shahabat yang lain, diantaranya Hudzaifah
Radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassallam pernah kencing dalam keadaan
berdiri. Ibnu Abbas radhiallahu anhuma yang
menghalalkan nikah mut’ah,sebab tidak sampai
kepada beliau kabar dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassallam bahwa nikah mut’ah tersebut
hukumnya haram secara mutlak. Imam Syafi’i
rahimahullah Ta’ala yang mentsiqohkan Ibrahim bin
Muhammad bin Abi Yahya Al-Aslami, sebab – tidak
sampai kepada beliau ilmunya – bahwa dia seorang
perawi yang ditinggalkan haditsnya. Berkata Imam
Ahmad : “Dia seorang Qodari, Mu’tazili dan Jahmi,
semua musibah ada padanya”. Berkata Bisyr bin
Mufadhdhal : “Aku bertanya kepada Ulama penduduk
Madinah tentangnya, semuanya mengatakan :
kadzdzab (pendusta besar) atau yang semisalnya”.
Akankah kita katakan (sesuai kaedah Firanda) bahwa
masalah Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya Al-
Aslami adalah permasalahan ijtihadiyah sehingga dia
tidak boleh dijarh?! Atau menurut kaedah al akh
Firanda, ia justru akan menjarh Imam Ahmad
Rahimahullah Ta’ala yang notabene beliau adalah
murid dari Imam Syafi’i Rahimahullah Ta’ala? Dan
masih banyak lagi permisalan dalam permasalahan
seperti ini. Sehingga dalam menyikapi permasalahan
ini, semestinya menerapkan kaedah yang sudah
ma’ruf:
“Yang mengetahui adalah hujjah atas bagi yang tidak
mengetahui”,”yang menetapkan lebih didahulukan
ucapannya dari yang menafikan”. Wallahul muwaffiq.
(bersambung, insya Allah…………)
Footnote :
1. Dan dahulu penulis termasuk orang yang turut
serta mengikuti berbagai kegiatan Ihya At-Turots
yang diadakan di Tengaran dan di tempat yang
lainnya, termasuk pada saat diadakannya kegiatan
mulazamah setahun bersama Syarif Hazza’, bahkan
termasuk diantara murid Syarif Hazza’ yang paling
dekat dengannya. Hanya saja penulis tidak sempat
menghadiri ceramah Abdurrohman Abdul Khaliq
disebabkan karena penulis menyangka bahwa dia
akan datang pada hari yang telah direncanakan,
ternyata pertemuan yang tersebut diundur. Waktu itu
penulis datang bersama Al-Ustadz Al-fadhil Ibnu
Yunus hafidzahullah. Semoga Allah Azza wa Jalla
mengampuni kesalahan-kesalahan kita.
2. Dalam ucapan ini ada dua permasalahan yang
perlu pembahasan: masalah mengingkari dan tahdzir
dari permasalahan khilafiyah dan yang kedua adalah
masalah hajr. Untuk edisi ini kita hanya membahas
bagian pertama.
3. Buku ini saya dapatkan foto kopinya dari Al-Akh
Al-Ustadz Ibnu Yunus hafidzahullah. Dan saya tidak
memiliki bukunya yang sudah dicetak.
4. Sejenis tape dari korma atau anggur atau yang
lainnya yang disimpan pada sebuah tempat lalu
dibiarkan dalam waktu beberapa lama yang dapat
menyebabkan ia menjadi sesuatu yang memabukkan.
5. Hilah adalah jenis khusus dari suatu amalan yang
mana pelakunya berpindah dari satu keadaan menuju
kepada keadaan lainnya. Biasanya dilakukan untuk
mengaburkan sesuatu yang terlarang baik secara
syari’at, akal ataukah kebiasaan.(A’laam Al-
Muwaqqi’in,Ibnul Qoyyim: 3/252). Dengan kata lain
hilah adalah mengamalkan muamalah dengan cara
yang terlarang dengan cara yang samar, yang tidak
ada yang mengetahui keharamannya kecuali orang
memperhatikannya secara seksama.
(Ditulis oleh al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal
Al-Bugisi)

Silahkan kunjungi situs kami di www.tunas-tauhid.blogspot.com

No comments:

Post a Comment