Sunday, March 2, 2014

Penyimpangan - Penyimpangan ihya atturots seasons 4

Penulis: Al Ustadz Abu Karimah Askary bin Jamal
Al-Bugisi

Ulama, Antara Senior Dan Paling Senior ?

Ketahuilah –semoga Allah senantiasa memberikan
hidayah dan taufik-Nya kepada kita semua- bahwa
satu hal yang mesti menjadi pegangan setiap muslim,
terkhusus tatkala seorang muslim tersebut
menisbahkan dirinya kepada manhaj yang mulia,
manhaj salafi dan menyatakan dirinya sebagai Ahlus
Sunnah. Bahwa seseorang dalam menyikapi segala
sesuatu dalam perkara agama, adalah dengan cara
menerapkan dalil-dalil serta kaidah dengan cermat
dan tepat berdasarkan apa yang telah dikehendaki
Allah dan Rasul-Nya, yang sejalan dengan metode
salafus shaleh, serta menjauhkan diri dari hawa
nafsu, fanatisme golongan dan kelompok. Tidak
menyikapi sesuatu berdasarkan perasaan, naluri,
suara terbanyak, kesenioran seseorang dan yang
semisalnya dari berbagai macam alasan yang dibuat
untuk melegitimasi sebuah pendapat, lalu
menyalahkan pendapat yang menyelisihinya.
Oleh karenanya, suatu kesalahan yang sangat fatal
dan bahkan suatu kebatilan yang ditampakkan oleh
Al-Akh Firanda –semoga Allah mengembalikannya
kepada Al-Haq, disebabkan kembali kepada
kebenaran itu jauh lebih baik daripada berkelanjutan
di atas kebatilan-, ketika berusaha membela
kesesatan yang dimiliki Ihya At-Turots dengan cara-
cara seperti yang kami sebutkan. Berkata Al-Akh
Firanda:
“Jika para ulama kibar yang memberi rekomendasi
saja bisa keliru dan salah, padahal mereka lebih
senior dan jumlahnya lebih banyak, maka para ulama
yang meng-hizbi-kan yayasan tersebut -yang
notabene mereka adalah murid-murid para ulama
kibar tersebut, dengan jumlah mereka yang lebih
sedikit- tentunya kemungkinan untuk salah dan keliru
lebih besar lagi.”
(Kaidah-kaidah Penerapan Hajr, Firanda,hal:88 atau
artikel Menjawab Syubhat Menepis Tudingan :
Kedudukan Yayasan Ihya’ at-Turats Kuwait dan
Sikap Kita Terhadap Permasalahan Khilafiyah
Ijtihadiyah (bagian satu) artikel ke 466)
Ucapan ini sama seperti apa yang disebutkan oleh
Abdullah Taslim –semoga Allah meluruskan
lisannya-:
“Adapun tentang syaikh Rabi’ bin Hadi –semoga
Allah Azza wa Jalla menjaganya- beliau tidak
termasuk ulama yang paling senior di Saudi, karena
ulama-ulama lain yang lebih tua dan lebih lama
belajar dibanding beliau banyak di Saudi…”
(Konsultasi Ustadz: Memahami Kaidah Al Jarhul
Mufassar Muqaddamun Alatta’diil dan Sikap Kita di
Tengah Kerasnya Gelombang Fitnah (UPDATE),
artikel ke 338).
Firanda juga mengatakan:
“Bukankah secara naluri sangat wajar jika seseorang
salafi memilih para ulama yang lebih senior –juga
lebih banyak jumlahnya- untuk dijadikan tempat
bertanya dan bersandar dalam masalah ini? ….”
(Kaidah –kaidah Penerapan Hajr:89 atau artikel
Menjawab Syubhat Menepis Tudingan : Kedudukan
Yayasan Ihya’ at-Turats Kuwait dan Sikap Kita
Terhadap Permasalahan Khilafiyah Ijtihadiyah
(bagian satu), artikel ke 466).
Firanda juga mengatakan tentang Ihya at Turots:
“Yayasan ini sangat terkenal dan kiprahnya diketahui
oleh banyak orang.maka bagaimana mungkin para
ulama tersebut menutup mata dari kesalahan-
kesalahannya?! Ini mirip dengan cara hizbiyyin dalam
menolak fatwa-fatwa para ulama kibar, yaitu dengan
tuduhan bahwa mereka tidak mengerti fiqhul waqi’,
sehingga fatwa mereka mentah, tidak sesuai dengan
kenyataan yang ada. Na’udzu billah minal hizbiyyah”
(Idem, hal: 84 atau artikel Menjawab Syubhat
Menepis Tudingan : Kedudukan Yayasan Ihya’ at-
Turats Kuwait dan Sikap Kita Terhadap
Permasalahan Khilafiyah Ijtihadiyah (bagian satu) hal
466).
Untuk itu, maka bantahan terhadap ucapan ini dari
beberapa sisi [1]:
Pertama:merupakan satu hal yang sangat dimaklumi
oleh kita sekalian, bahwa menilai kebenaran adalah
dengan cara menimbangnya berdasarkan Al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam
dengan pemahaman Salaful Ummah.Tanpa harus
memperhatikan dan menimbang sedikit banyaknya
orang yang mengikuti kebenaran tersebut dan berapa
orang yang berpijak di atasnya. Allah Ta’ala
berfirman:
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍْ ﺃَﻃِﻴﻌُﻮﺍْ ﺍﻟﻠّﻪَ ﻭَﺃَﻃِﻴﻌُﻮﺍْ ﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝَ ﻭَﺃُﻭْﻟِﻲ ﺍﻷَﻣْﺮِ ﻣِﻨﻜُﻢْ ﻓَﺈِﻥ
ﺗَﻨَﺎﺯَﻋْﺘُﻢْ ﻓِﻲ ﺷَﻲْﺀٍ ﻓَﺮُﺩُّﻭﻩُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠّﻪِ ﻭَﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝِ ﺇِﻥ ﻛُﻨﺘُﻢْ ﺗُﺆْﻣِﻨُﻮﻥَ ﺑِﺎﻟﻠّﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻵﺧِﺮِ
ﺫَﻟِﻚَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻭَﺃَﺣْﺴَﻦُ ﺗَﺄْﻭِﻳﻼً
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”. (QS.An-Nisaa:59)
ﺍﺗَّﺒِﻌُﻮﺍْ ﻣَﺎ ﺃُﻧﺰِﻝَ ﺇِﻟَﻴْﻜُﻢ ﻣِّﻦ ﺭَّﺑِّﻜُﻢْ ﻭَﻻَ ﺗَﺘَّﺒِﻌُﻮﺍْ ﻣِﻦ ﺩُﻭﻧِﻪِ ﺃَﻭْﻟِﻴَﺎﺀ ﻗَﻠِﻴﻼً ﻣَّﺎ ﺗَﺬَﻛَّﺮُﻭﻥَ
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-
pemimpin selain-Nya. amat sedikitlah kamu
mengambil pelajaran (daripadanya). (QS.Al-A’raf:3).
Dan ayat yang menjelaskan tentang hal ini masih
sangat banyak.
Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam “Al-
Mustadrak :1/172, dari Abu Hurairah radhiallahu
anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
ﺇﻧﻲ ﻗﺪ ﺗﺮﻛﺖ ﻓﻴﻜﻢ ﺷﻴﺌﻴﻦ ﻟﻦ ﺗﻀﻠﻮﺍ ﺑﻌﺪﻫﻤﺎ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺳﻨﺘﻲ ﻭﻟﻦ ﻳﺘﻔﺮﻗﺎ
ﺣﺘﻰ ﻳﺮﺩﺍ ﻋﻠﻲ ﺍﻟﺤﻮﺽ
“Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian
dua perkara, kalian tidak akan tersesat setelah
keduanya: Kitabullah dan Sunnahku. Dan keduanya
tidak akan berpisah hingga keduanya mendatangiku
di atas telaga”. (Disahihkan Al-Albani dalam Shahih
al-Jami’: 2937)
Maka siapa saja dari kalangan para ulama yang
membawakan dalil yang shahih,dan mengikuti
metode salaf dalam beristidlal dan memahami dalil,
maka harus diterima, tanpa melihat apakah dia
seorang alim yang dianggap ‘senior’ –jika ungkapan
ini benar- ataukah kurang ‘senior’. Maka membeda-
bedakan para ulama dalam menerima pendapat
mereka – antara senior dengan yang paling senior –
secara mutlak adalah menyelisihi manhaj salaf yang
dapat menjerumuskan seseorang ke dalam sikap
fanatik terhadap satu pendapat tanpa memperhatikan
hujjah-hujjah mereka.
Bayangkan saja kalau ada seorang muslim
membawakan satu pendapat dari salah seorang alim
yang disertai hujjah dan dalil yang jelas, lalu
menolak mentah-mentah pendapat tersebut dengan
alasan : “Pendapat ini menyelisihi pendapat alim
yang lebih senior menurut kami”. Maka hal ini tak
ubahnya seperti kaum sufi yang selalu beralasan,
“kami berpegang dengan pendapat guru kami”,
walaupun telah disampaikan kepada mereka dalil
yang jelas yang menyelisihi pendapat mereka. Allahul
musta’an. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah Ta’ala:
ﻓﺪﻳﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻣﺒﻨﻰ ﻋﻠﻰ ﺍﺗﺒﺎﻉ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺳﻨﺔ ﺭﺳﻮﻟﻪ ﻭﻣﺎ ﺍﺗﻔﻘﺖ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻷﻣﺔ
ﻓﻬﺬﻩ ﺍﻟﺜﻼﺛﺔ ﻫﻲ ﺃﺻﻮﻝ ﻣﻌﺼﻮﻣﺔ ﻭﻣﺎ ﺗﻨﺎﺯﻋﺖ ﻓﻴﻪ ﺍﻷﻣﺔ ﺭﺩﻭﻩ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ
ﻭﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﻭﻟﻴﺲ ﻷﺣﺪ ﺃﻥ ﻳﻨﺼﺐ ﻟﻸﻣﺔ ﺷﺨﺼﺎ ﻳﺪﻋﻮ ﺇﻟﻰ ﻃﺮﻳﻘﺘﻪ ﻭﻳﻮﺍﻟﻲ ﻋﻠﻴﻬﺎ
ﻭﻳﻌﺎﺩﻱ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻻ ﻳﻨﺼﺐ ﻟﻬﻢ ﻛﻼﻣﺎ ﻳﻮﺍﻟﻲ ﻋﻠﻴﻪ
ﻭﻳﻌﺎﺩﻱ ﻏﻴﺮ ﻛﻼﻡ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻣﺎ ﺍﺟﺘﻤﻌﺖ ﻋﻠﻴﻪ
ﺍﻷﻣﺔ ﺑﻞ ﻫﺬﺍ ﻣﻦ ﻓﻌﻞ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺒﺪﻉ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﻨﺼﺒﻮﻥ ﻟﻬﻢ ﺷﺨﺼﺎ ﺃﻭ ﻛﻼﻣﺎ ﻳﻔﺮﻗﻮﻥ
ﺑﻪ ﺑﻴﻦ ﺍﻷﻣﺔ ﻳﻮﺍﻟﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﺃﻭ ﺗﻠﻚ ﺍﻟﻨﺴﺒﺔ ﻭﻳﻌﺎﺩﻭﻥ
“Agama kaum muslimin dibangun di atas ittiba’
terhadap Kitabullah dan Sunnah rasul-Nya dan apa
yang telah disepakati umat ini di atasnya, maka tiga
perkara ini adalah prinsip-prinsip yang terpelihara.
Dan apa yang diperselisihkan oleh umat, maka
mereka kembalikan kepada Allah dan rasul-Nya. Dan
tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk
menetapkan bagi umat ini seorang figur, yang ia
menyeru kepada jalannya dan dia berwala’ dan ber-
bara’ diatasnya, kecuali Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam. Dan tidak boleh pula ia menetapkan untuk
mereka sebuah ucapan yang ia berwala’ dan bara’
diatasnya, kecuali firman Allah Ta’ala dan sabda
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam dan apa
yang telah menjadi kesepakatan (ijma’) umat ini.
Bahkan ini termasuk perbuatan ahli bid’ah yang telah
menetapkan bagi mereka seorang (figur) atau sebuah
ucapan, yang mereka memecah belah umat ini
dengannya, dimana mereka berwala’ dan bara’ di
atas ucapan atau penisbahan tersebut”
(Dar’ut Ta’arudh, Syaikhul Islam: 1/272, Majmu’
Fatawa:20/164)
Kedua: apa yang disebutkan oleh Al-Akh Firanda –
semoga Allah mengembalikannya kepada Al-haq-
dalam membagi ulama menjadi senior dan paling
senior, lalu lebih mendahulukan ucapan yang paling
senior di atas yang senior saja (bukan yang “paling”)
secara mutlak, adalah perkara yang menyelisihi Al-
Qur’an, As-Sunnah dan apa yang telah diamalkan
oleh para ulama Salafus Shalih radhiallahu anhum .
Adapun Al-Qur’an, diantaranya adalah firman Allah
Azza wa Jalla:
ﻭَﻣَﺎ ﺃَﺭْﺳَﻠْﻨَﺎ ﻣِﻦ ﻗَﺒْﻠِﻚَ ﺇِﻻَّ ﺭِﺟَﺎﻻً ﻧُّﻮﺣِﻲ ﺇِﻟَﻴْﻬِﻢْ ﻓَﺎﺳْﺄَﻟُﻮﺍْ ﺃَﻫْﻞَ ﺍﻟﺬِّﻛْﺮِ ﺇِﻥ ﻛُﻨﺘُﻢْ ﻻَ
ﺗَﻌْﻠَﻤُﻮﻥَ
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali
orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada
mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui”. (QS.An-Nahl:43)
Yang menjadi syahid dari ayat ini bahwa Allah Azza
wa Jalla tidak membeda-bedakan para ulama –
antara yang senior dan yang paling senior – namun
siapa yang membawa hujjah dari mereka, maka
dialah yang dipegang pendapatnya.
Adapun dari As-Sunnah, diantaranya adalah sabda
Rasulullah shallalahu alaihi wasallam:
ﻭ ﺇﻥ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻭﺭﺛﺔ ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ ﻭ ﺇﻥ ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ ﻟﻢ ﻳﻮﺭﺛﻮﺍ ﺩﻳﻨﺎﺭﺍ ﻭ ﻻ ﺩﺭﻫﻤﺎ ﺇﻧﻤﺎ
ﻭﺭﺛﻮﺍ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻓﻤﻦ ﺃﺧﺬﻩ ﺃﺧﺬ ﺑﺤﻆ ﻭﺍﻓﺮ .
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi
dan sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan
dinar dan tidak pula dirham, namun sesungguhnya
mereka hanyalah mewariskan ilmu. Maka siapa yang
mengambilnya, maka dialah yang mengambil bagian
yang sempurna”.
(HR.Ahmad, Tirmidzi, An-Nasaa-i, Abu Dawud, Ibnu
Majah dan yang lainnya dari Abu Darda’.
Dishahihkan Al-Albani rahimahullah Ta’ala dalam
Shahih al-Jami’:6297).
Adapun ucapan Firanda dkk tersebut bertentangan
dengan apa yang telah menjadi pendirian para
Salafus Sholeh radhiallahu anhum, maka berikut ini
beberapa contoh dari sikap Salafus Salih radhiallahu
anhum yang tidak membeda-bedakan – antara
senior dan yang paling senior- , namun hujjah adalah
pegangan dan sandaran mereka:
- Yakni hadits yang diriwayatkan Bukhari dalam
shahihnya dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma
berkata: “Adalah Umar radhiallahu anhu
memasukkan aku –dalam pertemuan-pertemuan
penting- bersama para syaikh Badar (pembesar
shahabat yang pernah mengikuti perang Badar),
sehingga sebagian mereka merasa canggung.” Lalu
ia berkata : “Mengapa engkau mengikut sertakan dia
bersama kami, padahal kamipun memiliki anak-anak
yang sebaya dengannya?”, maka berkata Umar:
“Sesungguhnya ia berasal dari sesuatu yang telah
kalian ketahui.” [2]
Lalu ia (Umar radhiallahu anhu) memanggilku pada
suatu hari dan mengikut-sertakan aku bersama
mereka (dalam pertemuan). Aku tidak menyangka
bahwa ia memanggilku pada saat itu, melainkan
untuk memperlihatkannya kepada mereka. Bertanya
Umar: “Apa pendapat kalian tentang firman Allah
Ta’ala (QS An Nashr 1 – 3):
ﺇِﺫَﺍ ﺟَﺎﺀ ﻧَﺼْﺮُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺍﻟْﻔَﺘْﺢُ
(artinya : Apabila telah datang pertolongan Allah dan
kemenangan… QS An Nashr 1)
Maka menjawab sebagian mereka: kami
diperintahkan untuk mengucapkan hamdalah dan
beristighfar kepada-Nya, apabila Dia telah menolong
kita dan memberikan kemenangan kepada kita.
Sebagian mereka diam dan tidak mengucapkan
sesuatu. Maka ia (Umar) mengatakan kepadaku :
“Apakah demikian yang engkau katakan wahai Ibnu
Abbas?”, maka aku menjawab: “Tidak.” Ia bertanya:
“Lalu apa pendapatmu?” Aku menjawab: “Itu
pertanda ajal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
Allah memberitahukan kepadanya. Maka, “jika
datang pertolongan Allah dan kemenangan – dan itu
pertanda ajalmu – maka bertasbihlah dengan memuji
Rabb-Mu dan beristighfar kepada-Nya.
Sesungguhnya Dia Maha Pengampun.” Maka berkata
Umar radhiallahu anhu: “Akupun memahami ayat
tersebut seperti yang engkau
katakan.” (HR.Bukhari:8/565).
Perhatikanlah kisah ini, dimana Umar bin Khattab
radhiallahu anhu memasukkan Ibnu Abbas dalam
deretan para ulama yang dimintai pendapat oleh
beliau, padahal Ibnu Abbas tidak termasuk orang
yang paling senior –meminjam istilah Al-Akh
Firanda- di kalangan mereka radhiallahu anhum.
Bahkan Umar radhiallahu anhu membenarkan
jawaban Ibnu Abbas dibandingkan jawaban yang
lainnya dari kalangan para Shahabat yang pernah
mengikuti perang Badar dari kalangan Muhajirin dan
Anshar, padahal Ibnu Abbas radhiallahu anhuma
tidak termasuk yang paling senior diantara mereka.
- Telah diriwayatkan Imam Muslim dalam shahihnya
dari Sa’ad bin Abi Waqqas radhiallahu anhu bahwa
pernah beliau duduk di dekat Abdullah bin Umar
radhiallahu anhuma. Lalu datanglah Khabbab, lalu
berkata : “Wahai Abdullah, tidakkah engkau
mendengar apa yang diucapkan oleh Abu Hurairah,
bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﺧَﺮَﺝَ ﻣَﻊَ ﺟَﻨَﺎﺯَﺓٍ ﻣِﻦْ ﺑَﻴْﺘِﻬَﺎ ﻭَﺻَﻠَّﻰ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﺛُﻢَّ ﺗَﺒِﻌَﻬَﺎ ﺣَﺘَّﻰ ﺗُﺪْﻓَﻦَ ﻛَﺎﻥَ ﻟَﻪُ ﻗِﻴﺮَﺍﻃَﺎﻥِ
ﻣِﻦْ ﺃَﺟْﺮٍ ﻛُﻞُّ ﻗِﻴﺮَﺍﻁٍ ﻣِﺜْﻞُ ﺃُﺣُﺪٍ ﻭَﻣَﻦْ ﺻَﻠَّﻰ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﺛُﻢَّ ﺭَﺟَﻊَ ﻛَﺎﻥَ ﻟَﻪُ ﻣِﻦْ ﺍﻟْﺄَﺟْﺮِ ﻣِﺜْﻞُ
ﺃُﺣُﺪٍ
“Barangsiapa yang keluar bersama jenazah dari
rumahnya, lalu mensholatinya, lalu mengikutinya,
hingga dikuburkan maka dia mendapatkan dua qirot
dari pahala, setiap qirot seperti bukit Uhud. Dan
barangsiapa yang menshalatinya, lalu kembali, maka
dia mendapatkan pahala seperti satu bukit Uhud
(satu qirot, pen).
Maka Ibnu Umar mengutus Khabbab kepada Aisyah
untuk bertanya kepadanya tentang ucapan Abu
Hurairah [3] , lalu ia kembali kepadanya untuk
mengabarinya. Maka Ibnu Umar sambil
menggenggam kerikil masjid ditangannya sambil
meremas ditangannya, sehingga utusan tersebut
kembali kepadanya. Berkatalah (utusan tersebut):
“Aisyah berkata: Telah benar Abu Hurairah.”
Maka Ibnu Umar melemparkan kerikil yang
digenggamnya ke tanah sambil mengatakan:
“Sungguh kami telah melalaikan banyak qirat.”
Dalam riwayat lain Ibnu Umar mengatakan kepada
Abu Hurairah radhiallahu anhu:
“Wahai Abu Hurairah, engkau yang paling sering
bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan
yang paling mengerti tentang haditsnya”.
(HR. Muslim, sebagian tambahan oleh Imam Ahmad.
Lihat Ahkamul Janaiz karya Al-Albani rahimahullah:
89)
Perhatikanlah riwayat ini, dimana Abdullah bin Umar
mengakui keilmuan yang dimiliki oleh Abu Hurairah
radhiallahu anhu. Dan Abu Hurairah mengetahui
sesuatu yang tidak diketahui oleh Abdullah bin Umar
radhiallahu anhuma. Padahal kalau dilihat dari sisi
kesenioran –meminjam istilah al Akh Firanda-,
Abdullah bin Umar jauh lebih senior dari Abu
Hurairah, sebagaimana yang telah kita ketahui hal
tersebut, sebab Ibnu Umar telah masuk Islam
diusianya yang masih kecil, belum baligh, lalu ikut
berhijrah ke Madinah bersama ayahnya, Umar bin
Khattab radhiallahu anhu. Sedangkan Abu Hurairah,
masuk Islam pada tahun ketujuh, pada masa
Khaibar.
Inilah yang diamalkan oleh para ulama Salaf, dimana
mereka senantiasa kembali kepada al-Haq disaat
mengetahuinya, walaupun yang membawa kebenaran
tersebut seorang yang lebih rendah tingkat
“keseniorannya” dibandingkan yang lain. Contoh lain
yakni apa yang terjadi di masa Imam Bukhari
rahimahullah, disaat Al-Allamah Ad-Dakhili
rahimahullah – salah seorang muhaddits senior di
Bukhara pada masanya – yang mana beliau memiliki
halaqoh ilmu yang masyhur. Pada suatu ketika Ad
Dakhili mengajar seperti biasanya, sementara Imam
Bukhari mendengarkan. Berkata Ad-Dakhili dalam
menyebutkan sanad hadits : “Sufyan dari Abu Zubair
dari Jabir”. Maka Imam Bukhari menegurnya dan
berkata: “Sesungguhnya Abu Zubair tidak
meriwayatkan dari Ibrahim”. Demi mendengar hal itu,
maka Ad-Dakhili pun menghardiknya. Namun
Bukhari dengan rendahnya mengatakan: “Periksalah
kitab indukmu jika engkau memilikinya”.
Maka masuklah Ad-Dakhili dan memeriksa kitab
induknya. Maka dia pun mengakui kebenaran ucapan
Bukhari. Namun sebelum membenarkannya, dia ingin
menguji Imam Bukhari. Maka Ad-Dakhili pun
bertanya: “Lalu apa yang benar wahai anak ?”, maka
Imam Bukhari pun menjawab: “Az-Zubair –dia
adalah Bin ‘Adi- dari Ibrahim”. Lantas Ad-Dakhili
mengambil pulpen lalu membenarkannya dan
berkata: “Engkau benar.”
Ada seseorang bertanya kepada Imam Bukhari:
“Berapa umurmu disaat engkau membantahnya?”.
Beliau menjawab: “Sebelas tahun”. [4]
Para pembaca yang budiman –semoga Allah
merahmatimu-, cobalah perhatikan kisah ini,dimana
seorang yang sangat yunior –yang masih berumur
sebelas tahun- membenarkan kesalahan seorang
alim yang senior di zamannya. Kalaulah Al-Allamah
Ad-Dakhili punya pendirian semodel Firanda, maka
mungkin dia akan mengatakan: “Maaf, anda siapa?
Saya ini kan lebih senior dari anda !”. “Saya tetap
akan berada di atas pendapat saya. Dan saya tidak
perlu mengeceknya lebih lanjut. Sebab kalau saya
saja yang senior ini bisa salah, maka terlebih lagi
kamu yang masih yunior itu, kemungkinan salahnya
lebih besar lagi”, demikian tangkisnya. Namun
karena beliau bukan orang yang semodel dengan al
akh Firanda, maka beliau pun merujuk kepada kitab
induknya dan akhirnya mengakui kebenaran ucapan
seorang yang masih yunior di kala itu.
Begitulah kebiasaan Salafus Shalih, lebih
mengedepankan sikap ilmiah dan membahas setiap
perkara yang diperselisihkan dengan hujjah dan dalil.
Kalaulah seperti Imam Bukhari rahimahullah yang di
kala itu masih yunior diterima pendapatnya karena
adanya hujjah. Maka apakah kalian tidak akan
menerima pendapat para Ulama yang mentahdzir
dari organisasi Ihya At-Turats tersebut, walaupun
mereka membawa seribu satu hujjah ? Apakah hanya
dengan alasan bahwa mereka bukan yang paling
senior? Mereka baru setingkat murid-muridnya saja?
Ataukah setiap perkara tersebut harus dibahas
berdasarkan Ilmu dan Hujjah? Jika anda seorang
Salafi, maka jawablah dengan mengikuti kaidah
Salafiyyah dalam mentarjih permasalahan ini.
Nah, untuk melengkapi tentang hal ini, ada baiknya
kita nukilkan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah Ta’ala dalam menjelaskan perkara ini
[5] . Beliau berkata:
“Sesungguhnya meliputi seluruh hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah mungkin bagi
seseorang dari kalangan umat ini. Dan dahulu
Rasulullah Shallalahu alaihi wasallam menyampaikan
hadits, berfatwa, menghukumi atau melakukan
sesuatu, lalu didengarkan ataukah dilihat oleh orang
yang hadir (pada saat itu). Lalu mereka –atau
sebagian mereka- menyampaikan kepada siapa yang
dapat sampai kepadanya. Maka sampailah ilmu
tersebut kepada siapa yang Allah Ta’ala kehendaki
dari kalangan para ulama, dari kalangan para
Shahabat, Tabi’in dan orang setelah mereka. Lalu di
majelis yang lain, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam
menyampaikan hadits, atau berfatwa, atau
menghukumi sesuatu, atau melakukan sesuatu.
Lantas disaksikan oleh orang yang sebelumnya tidak
menghadiri majelis yang lalu, lalu mereka pun
menyampaikan kepada siapa yang memungkinkan
dari mereka. Sehingga mereka ini memiliki ilmu –
yang tidak dimiliki oleh mereka yang lain – dan
demikian pula sebaliknya. Dan sesungguhnya
bertingkat-tingkat para ulama dari kalangan para
Shahabat dan yang setelahnya dengan banyaknya
ilmu dan baiknya (dalam memahami ilmu). “ Adapun
pernyataan bahwa seseorang mengetahui seluruh
hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
maka hal ini tidak dapat dibenarkan.
Ambillah pelajaran tentang hal itu dari para Khulafa
ar-Rasyidin radhiyallahu anhum, mereka orang-orang
yang paling berilmu dari kalangan umat ini tentang
perkara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
sunnah-nya, keadaannya. Terkhusus ash-Shiddiq
radhiallahu anhu yang tidak pernah berpisah dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam baik disaat
hadir (mukim, tidak musafir, pen) maupun di saat
safar. Bahkan dalam banyak waktunya senantiasa
bersama beliau Shallallahu alaihi Wasallam, sampai
terkadang diskusi di malam hari bersama beliau –
Shallallahu ‘alaihi wasallam – dalam berbagai
urusan kaum muslimin. Demikian halnya Umar bin
Khattab radhiallahu anhu, dimana Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam seringkali mengatakan:
“Aku masuk bersama Abu Bakar dan Umar” dan
“Aku keluar bersama Abu Bakar dan Umar”.
Bersamaan dengan itu, tatkala Abu Bakar radhiallahu
anhu ditanya tentang pembagian warisan untuk
seorang nenek? Beliau menjawab:
“Engkau (wahai nenek) tidak disebutkan sedikitpun
pembagianmu dalam kitab Allah dan aku tidak
mengetahui apapun tentang pembagianmu dalam
sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, akan
tetapi saya akan bertanya kepada para shahabat”.
Lalu beliau bertanya kepada mereka. Maka berdirilah
Mughiroh bin Syu’bah dan Muhammad bin
Maslamah radhiallahu anhuma, lalu keduanya
bersaksi bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
memberikannya seperenam.[6]
Dan Sunnah ini pun telah disampaikan oleh Imran
bin Hushain radhiallahu anhu.
Dan tidaklah mereka bertiga ini (Mughiroh bin
Syu’bah, Muhammad bin Maslamah dan Imran bin
Hushain) dalam keilmuan seperti Abu Bakar dan
yang lainnya dari al-Khulafa Ar-Rasyidun radhiallahu
anhum. Tetapi kemudian mereka mengetahui sunnah
ini yang telah sepakat umat dalam mengamalkannya.
Akan halnya shahabat Umar bin Khattab radhiallahu
anhu tidak mengetahui Sunnah dalam hal meminta
izin. Sampai Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu anhu
yang mengabarkan kepadanya dan menjadikan
orang-orang Anshar sebagai saksi yang
menguatkannya.
Padahal Umar radhiallahu anhu lebih berilmu
dibanding yang menyampaikan kepadanya sunnah
ini.
Umar radhiallahu anhu tidak mengetahui bahwa
seorang wanita mendapatkan warisan dari diyat [7]
suaminya. Bahkan beliau berpendapat bahwa diyat
dibagikan kepada kerabat dari ayahnya (‘aqilah).
Sampai Ad-Dhohhak bin Sufyan Al-Kilabi radhiallahu
anhu –beliau pernah menjadi pemimpin utusan
Rasulullah shallalahu alaihi wasallam terhadap
sebagian kampung- menulis kepadanya dan
mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam membagi warisan untuk istri Asyam Ad-
Dhibabi radhiallahu anhu dari diyat suaminya” [8] ,
dan beliau meninggalkan pendapatnya karena
(riwayat) tersebut,dan berkata: “Kalaulah kami tidak
mendengarkan ini, niscaya kami akan berhukum
dengan yang (hukum) menyelisihi hal ini.”
Dan beliau juga tidak mengetahui hukum Majusi
dalam hal pembayaran jizyah (upeti). Sehingga
beliau dikabari oleh Abdurrahman bin Auf radhiallahu
anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
(( ﺳﻨﻮﺍ ﺑﻬﻢ ﺳﻨﺔ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ))
“Perlakukan mereka seperti Ahli Kitab” [9]
Tatkala Umar radhiallahu anhu datang ke Sarg [10] ,
sampai kepada beliau kabar bahwa wabah penyakit
tha’un melanda negeri Syam, lalu beliau
bermusyawarah dengan kaum Muhajirin yang
pertama yang bersama beliau, [11] kemudian dengan
orang-orang Anshar, kemudian dengan yang masuk
Islam pada masa penaklukan kota Makkah. Maka
setiap mereka mengeluarkan pendapatnya dan tidak
satu pun yang mengabarkan kepada beliau dengan
(membawa) Sunnah [12] . Sampai datanglah
Abdurrahman bin Auf radhiallahu anhu lalu
mengabarkan kepada beliau dengan sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam
menyikapi wabah tha’un, bahwa beliau Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
(( ﺇﺫﺍ ﻭﻗﻊ ﺑﺄﺭﺽ ﻭﺃﻧﺘﻢ ﺑﻬﺎ ﻓﻼ ﺗﺨﺮﺟﻮﺍ ﻓﺮﺍﺭﺍ ﻣﻨﻪ, ﻭﺇﺫﺍ ﺳﻤﻌﺘﻢ ﺑﻪ ﺑﺄﺭﺽ ﻓﻼ
ﺗﻘﺪﻣﻮﺍ ﻋﻠﻴﻪ ))
“Jika terjadi di daerah yang kalian ada disana, maka
jangan keluar karena ingin menyelamatkan diri
darinya. Dan jika kalian mendengarkan tentangnya
terjadi di satu daerah, maka jangan kalian
mendatanginya.” (Muttafaq alaihi dari hadits
Abdurrahman bin Auf)
Dan beliau (Umar) dan Ibnu Abbas radhiallahu
anhum pernah menyebut tentang orang yang ragu
dalam sholatnya (apakah dia berhadats atau tidak,
pen) dan belum sampai kepadanya Sunnah yang
berkenaan tentang hal tersebut. Sampai
Abdurrahman bin Auf meriwayatkan dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam sabdanya, bahwa
hendaknya dia menepis keraguan tersebut dan
membangun diatas apa yang ia yakini.
Dan pernah dalam satu safar, lantas berhembuslah
angin, maka Umar berkata: “Siapa yang
memberitakan kepada kami tentang angin?”
Maka berkata Abu Hurairah radhiallahu anhu: “Maka
sampai kepadaku (pertanyaan tersebut) sedangkan
saya berada di barisan terakhir. Maka aku hentakkan
kendaraanku sampai aku menemuinya, lalu aku
mengabarkannya tentang apa yang diperintahkan
oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam disaat
berhembusnya angin.”
Jelaslah bahwa beberapa permasalahan ini tidak
diketahui Umar radhiallahu anhu hingga disampaikan
kepada beliau (tentang sunnah) melalui orang yang
tidak sepertinya (dalam hal keutamaan). [13]
Dan masih ada beberapa permasalahan lain, yang
tidak sampai kepada beliau sunnahnya dalam
perkara tersebut, maka beliau menetapkan hukum
atau berfatwa tidak dengan sunnah. Seperti apa yang
beliau tetapkan dalam hukumnya tentang
pembayaran diyat dari jari-jemari (yang terpotong,
sebagai ganti qishash): “Bahwa hal tersebut
tergantung manfaat jarinya.” Dan Abu Musa dan Ibnu
Abbas radhiallahu –yang Umar jauh lebih berilmu
dari keduanya- memiliki ilmu bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Ini dan ini sama –
yaitu ibu jari dan jari kelingking”.
Maka tatkala Sunnah ini sampai kepada Muawiyah
radhiallahu anhu pada masa pemerintahannya, maka
beliau berhukum dengannya. Dan Kaum muslimin
pun mengikutinya.
Hal itu tentunya bukanlah merupakan aib pada diri
Umar radhiallahu anhu disaat tidak sampai kepada
beliau suatu hadits. [14]
Demikian halnya beliau radhiallahu anhu pernah
melarang orang yang berihram untuk memakai
wangi-wangian sebelum memulai ihramnya dan
sebelum berangkat menuju Makkah setelah
melempar Jamratul ‘Aqobah. Beliau dan anaknya,
Abdullah bin Umar radhiallahu’anhuma dan selainnya
termasuk dari shahabat yang mulia, namun tidak
sampai kepada mereka hadits Aisyah radhiallahu
anha yang berkata:
(( ﻃﻴﺒﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻹﺣﺮﺍﻣﻪ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﻳﺤﺮﻡ , ﻭﻟﺤﻠﻪ
ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﻳﻄﻮﻑ ))
“Aku memakaikan wewangian kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk ihramnya sebelum
dia berihram dan pada saat halalnya sebelum dia
Thawaf” [15] .
Beliaupun memerintahkan kepada orang yang
memakai khuf untuk menyapu di atasnya hingga ia
melepaskannya, tanpa ada batasan waktu, dan
segolongan dari ulama Salaf mengikuti pendapat
beliau dalam hal ini. Kenyataannya, tidak sampai
kepada mereka hadits-hadits yang menjelaskan
tentang batasan waktu yang telah shahih pada
riwayat sebagian mereka yang keilmuannya di bawah
mereka. Kendati sungguh telah diriwayatkan tentang
hal ini dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dari
berbagai sisi yang shahih.
Juga tentang shahabat Utsman radhiallahu anhu,
beliau tidak mempunyai ilmu tentang seorang yang
ditinggal mati suaminya untuk menghabiskan masa
‘iddahnya di rumah kematian. Dan Nabi shallallahu
alaihi wasalam mengatakan kepadanya:
“Tinggallah engkau di rumahmu sampai selesainya
ketetapan ‘iddah” [16]
Maka (riwayat tersebut) dijadikan pegangan oleh
Utsman radhiallahu anhu.
Dan suatu ketika dihadiahkan kepada beliau (yaitu
Utsman radhiallahu anhu, pen) hewan buruan yang
diburu untuk diberikan kepadanya, maka beliau
berkeinginan untuk memakannya. Sehingga Ali
radhiallahu anhu mengabarkan kepadanya bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menolak daging
yang dihadiahkan kepadanya.”[17]
Shahabat Ali radhiallahu anhu pernah berkata:
( ﻛﻨﺖ ﺇﺫﺍ ﺳﻤﻌﺖ ﻣﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺣﺪﻳﺜﺎ ﻧﻔﻌﻨﻲ ﺍﻟﻠﻪ
ﺑﻤﺎ ﺷﺎﺀ ﺃﻥ ﻳﻨﻔﻌﻨﻲ ﻣﻨﻪ , ﻭﺇﺫﺍ ﺣﺪﺛﻨﻲ ﻏﻴﺮﻩ ﺍﺳﺘﺤﻠﻔﺘﻪ, ﻓﺈﺫﺍ ﺣﻠﻒ ﻟﻲ
ﺻﺪﻗﺘﻪ, ﻭﺣﺪﺛﻨﻲ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ – ﻭﺻﺪﻕ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ- ﻭﺫﻛﺮ ﺣﺪﻳﺚ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ ﺍﻟﻤﺸﻬﻮﺭ )
“Adalah aku jika mendengar dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam sebuah hadits yang
Allah memberi manfaat kepadaku dengannya dengan
kehendak Allah dalam memberi manfaat kepadaku.
Dan jika selainnya memberitakan kepadaku hadits,
maka aku memintanya bersumpah, maka jika ia
bersumpah, maka aku pun membenarkannya. Dan
Abu Bakar telah memberitakan kepadaku –dan telah
jujur Abu Bakar- , lalu beliau menyebutkan hadits
tentang sholat taubat yang masyhur [18] .
Beliau (Ali radhiallahu anhu,pen) dan Ibnu Abbas
radhiallahu anhuma berfatwa bahwa “Seorang wanita
yang ditinggal mati suaminya, agar menetapkan
masa ‘iddah yang paling lama waktunya” dan tidak
sampai kepada mereka sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kisah Subai’ah
Al-Aslamiyyah radhiallahu anha – disaat ditinggal
mati suaminya – Sa’ad bin Khaulah -, dimana Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam mengeluarkan fatwa
untuknya bahwa masa akhir ‘iddahnya adalah dengan
melahirkan kandungannya [19] .
Beliau juga bersama Zaid, Ibnu Umar dan selainnya
radhiallahu anhum berfatwa bahwa “Wanita yang
menikah dalam keadaan belum ditetapkan maharnya
hingga suaminya meninggal, maka tidak ada mahar
baginya”, dan tidak sampai kepada mereka Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kisah
Barwa’ bintu Wasyiq radhiallahu anha. [20]
Ini merupakan bab yang sangat luas, yang dinukilkan
dari beliau Shallalahu alaihi wasallam dari shahabat
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam jumlah yang
sangat banyak sekali. Adapun yang dinukil darinya
dari selain mereka, maka tidak mungkin bisa
mencakupnya, sebab mencapai ribuan.
Maka mereka (para shahabat Radhiallahu
anhum,pen) adalah yang paling berilmu dari
kalangan umat ini dan yang paling faqih, paling
bertaqwa dan yang paling mulia. Sedangkan yang
setelah mereka lebih banyak kekurangannya. Dan
lebih tentu tersamarkannya atas mereka beberapa
Sunnah. Dan ini tidak memerlukan penjelasan.
Maka barangsiapa yang meyakini bahwa semua
hadits yang shahih telah sampai kepada setiap
Imam, atau Imam tertentu, maka sungguh dia keliru
dengan kekeliruan yang parah lagi buruk. (Raf’ul
Malaam ‘an Al-Aimmatil A’laam:9-17).
Semoga apa yang telah kami nukilkan dari ucapan
Syaikhul Islam rahimahullah Ta’ala ini bermanfa’at
bagi kita semua, terkhusus untuk Al-Akh Firanda dkk.
Ketiga:
Anggaplah bahwa para ulama yang mentahdzir dari
Ihya At-Turots ‘hanya dari kalangan senior’ dan
bukan ‘yang paling senior’ – menurut istilah Firanda
dan Ibnu Taslim-.Akan tetapi bukankah seorang
‘alim dengan kelebihan ilmu yang dimilikinya
menyebabkan dia menjadi paling senior dan
terangkat dari derajat senior saja? Walaupun tingkat
ke-paling senioran tersebut dalam bidang tertentu,
seperti al-Jarh wat Ta’dil, atau yang lainnya. Oleh
karenanya, Umar bin Khattab radhiallahu anhu
menyejajarkan Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dalam
deretan yang paling senior, sebagaimana yang telah
kami sebutkan riwayatnya. Dan Abdullah bin Umar
radhiallahu anhuma mengakui ke-paling senioran
Abu Hurairah dalam meriwayatkan hadits dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, demikian
pula yang lainnya.
Maka oleh karena itu, jika ada qorinah (penguat)
yang mengangkat derajat seorang alim yang senior
saja, maka hal tersebut dapat mengangkatnya ke
derajat yang paling senior – dengan faktor tertentu
yang telah kita sebutkan sebelumnya-. Ambil saja
contoh Fadhilatus Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali
hafidzahullah Ta’ala, beliau termasuk salah seorang
murid dari para masyaikh kibar yang masyhur,
seperti Syaikh Bin Baaz dan Al-Albani
rahimahumallah Ta’ala. Namun Syaikh Rabi’
hafidzahullah Ta’ala memiliki kelebihan ilmu,
terkhusus dalam hal menghidupkan ilmu al-Jarh
wat-Ta’dil pada zaman ini, yang dengan itu –
semestinya -mengangkat beliau ke deretan para
ulama paling senior, sebagaimana tazkiyah dari para
ulama yang paling senior pula.
Diantara tazkiyah tersebut adalah tazkiyah dari
Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah
Ta’ala, tatkala beliau ditanya tentang Syaikh Rabi’
dan Syaikh Muhammad Aman Al-Jami. Maka beliau
menjawab:
“Terkhusus dua Syaikh yang mulia, syaikh
Muhammad Aman Al-Jami dan Syaikh Rabi’ bin
Hadi, keduanya dari Ahlus Sunnah dan keduanya
orang yang aku ketahui dalam hal ilmu, keutamaan,
aqidah yang shalihah dan telah meninggal Doktor
Muhammad Aman pada malam Kamis, tepatnya 27
Sya’ban di tahun ini, semoga Allah merahmatinya.
Aku nasehatkan untuk mengambil faidah dari kitab-
kitab keduanya…”
Beliau juga berkata : ”Syaikh Rabi’ termasuk pilihan
di kalangan Ahlus Sunnah wal-Jama’ah dan ma’ruf
bahwa beliau termasuk Ahlus Sunnah dan ma’ruf
tulisan dan makalah-makalahnya.”
Dan berkata Syaikh Rabi’ berkata dalam kitabnya
“Izhaq abaathil Abdil Lathif Ba Syumail”, hal:104:
“Sungguh aku telah berziarah kepada samahatus
Syaikh Ibnu Baaz hafidzahullah, lalu beliau
menasehatiku untuk membantah setiap yang
menyelisihi kebenaran dan Sunnah.”
Bahkan demikian besar rasa kepercayaan Syaikh
Ibnu Baaz terhadap apa yang dimiliki Syaikh Rabi’
dari ilmunya, sehingga beliau beberapa kali meminta
penjelasan dari syaikh Rabi’ dalam menyikapi
beberapa tokoh. Diantaranya adalah surat beliau
nomor : 352/2, tanggal: 7-2-1413 H :
“Bismillahirrahmanirrahiim
Dari Abdul Aziz bin Baaz kepada Al-Akh yang mulia,
Fadhilatus syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali,
pengajar di Jami’ah Islamiyyah – semoga Allah
memberinya taufiq- :
Salamun ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Telah sampai kepadaku bahwa engkau -yang mulia-
telah menulis perihal Ustadz Abul A’laa Al-Maududi
rahimahullah, maka aku berharap engkau
membekaliku satu salinan dari apa yang telah
engkau tulis dalam hal itu.”
Perhatikanlah surat dari Bin Baaz rahimahullah
Ta’ala, bukti kepercayaan beliau kepada Syaikh Rabi’
hafidzahullah dalam tulisan-tulisan beliau, terkhusus
berkenaan tentang al-Jarh wat-Ta’dil. Dan ini
tidaklah menunjukkan bahwa Syaikh Bin Baaz
rahimahullah Ta’ala tidak mengetahui “Fiqhul Waqi’
hanya karena tidak mengetahui keadaan Abu Al-a’la
Almaududi rahimahullah, yang sangat terkenal
kiprahnya dan telah diketahui oleh banyak orang,
seperti yang difahami oleh al akh Firanda.
Demikian pula ketika syaikh Ibn Baz menampakkan
tazkiyah kepada Jama’ah Tabligh, sementara para
ulama lainnya mentahdzir Jama’ah Tabligh. Tentu
saja sesuai kaidah Firanda sendiri menunjukkan
bahwa ulama yang paling senior adalah Syaikh Bin
Baz Rahimahullah. Apakah dengan demikian
menunjukkan bahwa Firanda termasuk salah seorang
yang berpegang dengan tazkiyah Syaikh Bin Baz
terhadap Jama’ah Tabligh ? Sebelum pada akhirnya
Syaikh Bin Baz mengeluarkan fatwa terakhir yang
mentahdzir mereka dan menganggap mereka sebagai
ahli bid’ah. Jadi ketika syaikh Ibn Baz menampakkan
tazkiyah kepada Jama’ah Tabligh, dan itu tidak
menunjukkan bahwa beliau tidak mengerti “fiqhul
waqi’”. Namun karena belum sampainya kepada
beliau tentang hakikat penyimpangan yang ada pada
kelompok tersebut. Maka hal itu sama sekali tidak
menurunkan derajat kesenioran yang dimilikinya.
Juga ketika Syaikh Rabi’ yang telah ditazkiyah oleh
Syaikh Al-Albani rahimahullah, diantaranya adalah
apa yang disebutkan dalam kaset yang berjudul “Al
Muwazanaat, Bid’atul ‘Ashr” beliau berkata: “Secara
ringkas aku mengatakan bahwa sesungguhnya
pembawa bendera al-Jarh wat-Ta’dil pada hari ini,
di masa ini, secara hakiki adalah saudara kami
Rabi’, dan orang-orang yang membantahnya, tidak
membantahnya dengan ilmu sama sekali, dan ilmu
bersama beliau. Walaupun aku selalu mengatakan
dan lebih dari sekali aku mengatakan kepada beliau
melalui telepon, kalau sekiranya beliau lemah lembut
dalam caranya, maka jadi lebih bermanfaat untuk
banyak kalangan dari manusia, apakah dia kawan
maupun lawan. Adapun dari sisi ilmu, maka tidak
ada celah untuk membantah beliau sama sekali,
kecuali apa yang telah aku isyaratkan tadi dari
pernyataan keras dalam uslub (cara
penyampaiannya).”
Perhatikanlah ucapan Syaikh paling senior di abad
ini, dimana beliau yang telah memeriksa tulisan dan
makalah-makalah Syaikh Rabi’ hafidzahullah Ta’ala
dan beliau tidak mengkritik satu pun darinya dari sisi
keilmiahan dan kekuatan hujjah yang beliau
sebutkan. Adapun yang beliau kritisi hanya dalam hal
cara beliau yang ‘agak kenceng’ dari sisi ungkapan
yang beliau gunakan. Dan ini menunjukkan bahwa
bantahan-bantahan beliau dari sisi keilmiahannya
lebih terjamin.
Mari kita bandingkan rekomendasi dari Syaikh Al-
Albani tersebut dengan tulisan seorang da’i ‘senior’,
Abdullah Taslim yang mengatakan:
“Kesimpulannya, pendapat Jarh dan Ta’dil Syaikh
Rabi’ sama seperti pendapat para ulama ahlus
sunnah lainnya ,diterima jika disertai dengan dalil-
dalil yang kuat dan jelas ,dan ditolak jika tidak
demikian, khususnya, jika terjadi perbedaan pendapat
diantara mereka…” [21]
(Artikel Konsultasi Ustadz: Memahami Kaidah Al
Jarhul Mufassar Muqaddamun Alatta’diil dan Sikap
Kita di Tengah Kerasnya Gelombang Fitnah
(UPDATE) nomor 338).
Nah, sekarang kita tanyakan hal ini kepada para da’i
‘senior’ seperti Firanda dan Abdullah Taslim :
“Berdasarkan kaidah “kesenioran” model antum,
manakah pendapat yang antum pilih, pendapat alim
yang paling senior Syaikh Al-Albani ataukah
pendapat da’i ‘senior’ Abdullah Taslim?” Silahkan
menerapkan kaidah yang antum buat sendiri.
Seorang penyair berkata:
ﺃﻟﻢ ﺗﺮ ﺃﻥ ﺍﻟﺴﻴﻒ ﻳﻨﻘﺺ ﻗﺪﺭﻩ ﺇﺫﺍ ﻗﻴﻞ ﺇﻥ ﺍﻟﺴﻴﻒ ﺃﻣﻀﻰ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺼﺎ
Tidakkah engkau ketahui bahwa sebilah pedang
menjadi kurang mutunya
Bila dikatakan: sesungguhnya pedang itu lebih tajam
dari tongkat
Mari kita lanjutkan kembali seputar pengangkatan
kedudukan Syaikh Rabi’ hafidzahullah Ta’ala dari
“senior” menjadi “paling senior”. Disebutkan oleh
Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam kitabnya
“Shifatus Shalaah”,hal:68, tatkala berbicara tentang
(Muhammad) Al-Ghazali yang di zaman sekarang:
“Dan telah bangkit banyak dari kalangan para ulama
yang mulia –semoga Allah membalas mereka
dengan kebaikan- dalam membantahnya dan merinci
pembahasannya yang menerangkan tentang
kebingungan dan penyimpangannya.Diantara yang
terbaik dari apa yang aku ketahui, bantahan sahabat
kami Doktor Rabi bin Hadi Al-Madkhali di majalah
“Al-Mujahid’, Afghanistan, edisi: 9-11 (3) dan
risalah Al-Akh Al-Fadhil Shalih bin Abdil Aziz bin
Muhammad Aalus Syaikh [22] yang berjudul “al-
Mi’yar li ilmil Ghozali’.”
Bahkan Syaikh Al-Albani rahimahullah memberi
ta’liq terhadap kitab Syaikh Rabi’ yang berjudul
“Al-‘awashim fi Kutub Sayyid Quthb minal
Qowashim” : “Semua yang engkau bantah terhadap
Sayyid Quthb adalah benar dan sesuai, dan dari sini
menjadi jelas bagi setiap pembaca muslim yang
memiliki wawasan keislaman bahwa Sayyid Quthb
dalam keadaan tidak mengetahui Islam, prinsip-
prinsipnya dan cabang-cabangnya. Maka semoga
Allah membalasmu dengan kebaikan, wahai Akh
Rabi’ atas usahamu dalam menegakkan kewajiban
menjelaskan dan menyingkap tentang kejahilannya
dan penyimpangannya dari Islam.”
Demikian halnya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-
Utsaimin rahimahullah Ta’ala, seorang alim – paling
senior – yang juga merekomendasi Fadhilatus Syaikh
Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafidzahullah
Ta’ala.Tatkala ada seseorang yang bertanya kepada
beliau tentang kitab-kitab Syaikh Rabi’. Maka beliau
menjawab:
“Yang dzhahir bahwa pertanyaan ini tidaklah
dibutuhkan. Sebagaimana Imam Ahmad ditanya
tentang Ishaq bin Rahuyah –semoga Allah
merahmati mereka semuanya- lalu beliau menjawab:
“Semisal aku ditanya tentang Ishaq! Bahkan
semestinya Ishaq yang ditanya tentangku.”
Dan dalam kaset “Pertemuan Syaikh Rabi’ bersama
Syaikh Ibnu Utsaimin seputar manhaj”, beliau ditanya
dengan pertanyaan berikut : “Sesungguhnya kita
semua mengetahui sikap melampaui batas dari
Sayyid Quthb. Namun satu hal yang saya belum
mendengar darinya dan telah saya dengar dari salah
seorang penuntut ilmu dan saya belum puas dengan
itu, dia mengatakan bahwa Sayyid Quthb
berpendapat tentang Wihdatul Wujud. Tentunya ini
adalah kekufuran yang jelas. Apakah Sayyid Quthb
termasuk diantara orang yang berpendapat tentang
wihdatul wujud ? Saya berharap jawabannya.
Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.”
Maka beliau menjawab:
“Telaahku terhadap kitab-kitab Sayyid Quthb sedikit
dan saya tidak mengetahui keadaan orang ini.
Namun para ulama telah menulis berkenaan tentang
tulisannya dalam tafsir “Fi Dzilal al-Qur’an”, dimana
mereka menuliskan beberapa peringatan atas
kitabnya dalam tafsir tersebut. Seperti apa yang
ditulis oleh Syaikh Abdullah bin Duwaisy
rahimahullah dan yang ditulis oleh saudara kami
Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali beberapa
peringatan atas Sayyid Quthb dalam tafsirnya dan
yang lainnya. Maka barangsiapa yang ingin merujuk
kesana, maka silahkan dia merujuknya”.
Perhatikanlah jawaban dari Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullah, dimana beliau menganjurkan kaum
muslimin yang ingin mengetahui penyimpangan
Sayyid Quthb agar kitab Syaikh Rabi’ hafidzahullah.
Dan ini tidaklah menunjukkan bahwa Syaikh Ibnu
Utsaimin tidak mengerti “fiqhul waqi’” hanya karena
tidak mengetahui keadaan Sayyid Quthb- yang
sangat terkenal dan kiprahnya dikenal banyak orang
-seperti yang diklaim oleh al akh Firanda, si pencetus
bid’ah “senior dan paling senior” ini.
Semua rekomendasi ini bisa didapatkan dalam
barnamij/kaset Syaikh Rabi dari “Ruh al-Islam”.
Keempat:
Kita mengatakan kepada Firanda: “Anggaplah kaidah
“kesenioran” yang antum terapkan tersebut benar.
Maka semestinya kaidah ini antum terapkan dalam
setiap perkara.” Seperti contoh yakni dalam hal
menyikapi orang-orang yang getol membela Al-
Irsyad dengan pimpinannya Ahmad As-Surkati
rahimahullah, dimana para Ulama berselisih dalam
menyikapi Ahmad As-Surkati dan organisasinya.
Syaikh Ali Hasan dan yang bersamanya melakukan
pembelaan dan bahkan pujian terhadap Ahmad As-
Surkati, sebagaimana yang beliau sebutkan dalam
beberapa muhadharahnya. Sementara para ulama
lainnya, yang tentunya lebih senior dibanding Syaikh
Ali Hasan –menurut kaidah “kesenioran” Firanda-
mentahdzirnya. Diantara mereka adalah Syaikh
Ubaid Al-Jabiri dan Syaikh Ahmad An-Najmi
hafidzahumallah. Syaikh Ubaid berkata setelah
membaca pertanyaan yang menjelaskan tentang
Ahmad As-Surkati dan organisasinya:
“Sesungguhnya dari apa yang telah sampai kepadaku
dari dokumen yang disebarkan melalui majalah
“Adz-Dzakhirah”, maka nampak bagiku secara
meyakinkan bahwa organisasi Al-Irsyad yang
didirikan oleh seorang yang disebut Ahmad bin
Muhammad As-Surkati As-Sudani Al-Anshari adalah
organisasi Ikhwaniyyah Siyasiyyah dan bukan diatas
Sunnah sama sekali. Namun dia dibangun diatas
manhaj organisasi Ikhwanul Muslimin yang didirikan
oleh Hasan Al-Banna di Mesir satu kurun masehi
yang telah lalu. Oleh karena itu, maka sesungguhnya
saya memperingatkan anak-anakku, saudara-
saudaraku di Indonesia dan aku mengajak agar
jangan mereka berta’awun bersamanya dalam bentuk
apapun.Karena sesungguhnya dia bukan salafiyyah
walaupun mengaku diatasnya.” (Tanya jawab dengan
Syaikh Ubaid pada hari Ahad tanggal 11 September
2005, terekam dalam kaset yang ada pada kami).
Adapun Syaikh Ahmad An-Najmi hafidzahullah
Ta’ala yang mengatakan tentang Ahmad As-Surkati,
maka beliau menjawab tentangnya: “Dia bukan alim
salafi dan bukan pula da’i salafi” (Tanya jawab
dengan Syaikh An-Najmi pada hari Sabtu, tanggal 10
September 2005, kasetnya ada pada kami). [23]
Maka berdasarkan kaidah Al-Akh Firanda,
semestinya dia dan yang bersamanya tentu
mengetahui bahwa Syaikh Ubaid dan Syaikh An-
Najmi jauh lebih senior dibanding Syaikh Ali Hasan
Al-Halabi. Sehingga sebagai bentuk ilzam terhadap
Firanda, semestinya dia tidak boleh bekerjasama
dengan irsyadiyyun, dalam bentuk apapun. Apakah
membuat daurah, mendatangkan masyaikh atau yang
semisalnya. Dengan menggunakan kaidah dari antum
sendiri “kaidah kesenioran”.
Kelima:
Hingga saat ini saya belum pernah menemukan dari
kitab-kitab para ulama salaf maupun khalaf yang
menyelesaikan dan mentarjih perselisihan yang
terjadi di kalangan para ulama dengan dalil “naluri
seorang salafi”. Sepanjang yang kami ketahui –
dengan keterbatasan ilmu yang kami miliki- bahwa
dalam mengamalkan syari’at ini dan menyelesaikan
berbagai perselisihan yang terjadi di kalangan ahli
ilmu dengan beberapa dalil seperti : Al-Qur’an, As-
Sunnah, Ijma’ (konsensus) dari para ulama, Qiyas
yang benar dan ada beberapa yang diperselisihkan
seperti : pendapat Shahabat, Maslahah Mursalah,
Istihsan dan yang lainnya. Namun tidak satu pun
dari mereka yang menggolongkan “naluri salafi”
sebagai salah satu dalil. Apakah karena keterbatasan
kami, sehingga kami butuh bimbingan dari Al-Akh
Firanda untuk menerangkan kepada kami cara
menyelesaikan perselisihan ulama dengan “naluri
salafi” ? Ataukah al akh Firanda mencoba untuk
membuat kaidah “bid’ah” yang berikutnya, yang lebih
pantas dijawab dengan ucapan Abdullah bin Mas’ud
radhiallahu anhu, disaat beliau mengingkari
perbuatan sebagian orang di zamannya yang
melakukan bid’ah “dzikir berjama’ah” di sebuah
masjid. Maka beliau mengatakan:
“Apakah kalian merasa berada di atas satu ajaran
yang lebih benar dari ajaran Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam ? Ataukah kalian adalah orang-
orang yang membuka pintu-pintu kesesatan ?”.
Lalu dalil “naluri salafi” inipun perlu dirinci, naluri
milik siapakah yang dijadikan sandaran jika terjadi
perselisihan ? Bukankah salafiyyin jumlahnya sangat
banyak, maka jika terjadi perselisihan naluri diantara
mereka, naluri siapakah yang perlu didahulukan?
Atau apakah antum termasuk diantara mereka yang
mentarjih satu permasalahan dengan menggunakan
ilmu ladunni?
Lalu, apakah orang yang merajihkan pendapat Syaikh
Rabi’ dan yang bersamanya tidak memiliki naluri
salafi – maka berdasarkan kaedah “bid’ah” antum
– ? Kalau orang yang merajihkan pendapat Syaikh
Rabi’ saja tidak memiliki naluri, maka terlebih lagi
para masyayikh tersebut tidak memiliki ‘naluri salafi’,
karena merekalah yang menjadi penyebab
ditahdzirnya Organisasi Ihya’ At-Turots tersebut.
Maka jawablah hal ini secara ilmiah!
Ya akhi, kalau setiap orang yang punya akal
membuat satu alasan/kaidah tanpa disertai dengan
hujjah, maka Islam ini akan disusupi dengan
berbagai macam penyimpangan dan kesesatan,
sebagaimana yang telah menyebabkan tergelincirnya
kelompok-kelompok sesat yang dahulu maupun yang
sekarang. Wallahul musta’an.
Kalau ada seseorang yang menyelisihi dalil yang
jelas, lalu engkau menyampaikan kepadanya hujjah,
lalu dia menjawab: “Ustadz saya lebih senior dari
ustadz antum, apakah anda akan menerimanya?”
Kalau ada yang menyelisihi dalil, lalu anda
menasehatinya agar dia mengikuti dalil, lantas dia
menjawab: “Naluri salafi saya menyatakan bahwa
saya tetap berada di atas pendapat ini.” Apakah anda
menerima alasan ini ?
Saya berharap al akh Firanda sebagai da’i ‘senior’
bisa menjawab ini dengan hujjah dan tidak dengan
nalurinya.
Keenam:
Sepertinya Firanda tidak bisa membedakan antara
istilah fiqhul waqi’ yang dimasyhurkan oleh kalangan
hizbiyyun, dengan kaidah “yang memiliki hujjah
didahulukan ucapannya dari orang yang tidak
memiliki hujjah”. Adapun fiqhul waqi’ yang
dimaksudkan oleh hizbiyyun adalah anggapan
mereka bahwa para ulama jangan mencukupkan
dirinya hanya mempelajari kitab-kitab Salafiyyah
dahulu yang hanya bisa menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang telah lampau dan
sudah punah. Sebab hal tersebut tidak akan bisa
menyelesaikan perkara-perkara kekinian
(kontemporer) dengan benar, karena penggambaran
dan kenyataan di masa lampau berbeda kondisi dan
realita yang ada di masa sekarang. Insya Allah
perkara ini akan kami bahas di edisi berikutnya.
Adapun kaidah : “yang memiliki ilmu merupakan
hujjah atas yang tidak memiliki ilmu” maksudnya
bahwa para ulama menghukumi sesuatu berdasarkan
ilmu yang sampai kepadanya dan berdasarkan
penggambaran (shurotul mas’alah) yang
disampaikan kepada beliau ( ﺍﻟﺤﻜﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺸﻲﺀ ﻓﺮﻉ ﻋﻦ
ﺗﺼﻮﺭﻩ), sehingga ia mengeluarkan fatwa sesuai
kondisi pertanyaan tersebut. Dan hal ini adalah
perkara yang maklum semenjak zaman para
Shahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in. Insya Allah,
hal ini pun akan kita bahas di edisi depan.
Namun satu hal yang cukup menunjukkan sikap
“agak kenceng” dari sikap al akh Firanda, tatkala
menyatakan bahwa bahwa “Kaum hizbiyyin menolak
fatwa para ulama dengan alasan bahwa mereka tidak
mengerti fiqhul waqi…….”, sebab diantara yang
menuduh para ulama dengan tuduhan “tidak mengerti
fiqhul waqi’”, adalah syaikh seniornya Ihya At-
Turots, Abdurrahman Abdul Khaliq. “Ya memang
benar, dia adalah salah seorang senior dari kalangan
kaum hizbiyyin.!”
(bersambung Insya Allah…)
Footnote :
[1] Yang saya maksudkan disini adalah perbedaan
yang terjadi di kalangan para ulama yang memang
mereka pantas memiliki kedudukan tersebut. Bukan
perbedaan antara ulama dengan yang dianggap
sebagai ulama, namun bukan termasuk darinya.
[2] Maksudnya bahwa beliau mendapatkan ilmu yang
lebih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
[3] Dalam riwayat Bukhari, Ibnu Umar berkata: Abu
Hurairah telah banyak (memberitakan hadits) kepada
kami.
[4] Al-Hadyus Sari,Al-Hafidz: 478.Siroh Al-Imam Al-
Bukhari,Al-Allamah As-Syaikh Abdus Salam Al-
Mubarokfuri,hal:46-47.
[5] Yang mengherankan dari al akh Firanda, ia sering
menukil ucapan Syaikhul Islam rahimahullah,namun
tidak menukil ucapan beliau ini, lalu menyebutkan
ucapan yang tidak didasari dengan dalil ataupun
perkataan seseorang dari kalangan Salaf. Saya tidak
tahu,apakah karena memang al akh Firanda belum
membacanya, atau …? Wallahu a’lam.
[6] HR. Malik, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu
Hibban, dll, dilemahkan Al-Albani dalam Al-
Irwa’:6/1680.
[7] Yang dimaksud diyat adalah pembayaran yang
diserahkan kepada wali orang yang dibunuh sebagai
ganti dari darah yang terbunuh tersebut.
[8] HR.At-Tirmidzi:4/1415, Abu Dawud:3/2927, An-
Nasaa-i dalam Al-Kubra:4/6363,6364, Ibnu
Majah:2/2642, Al-Muntaqo:966, Al-Maqdisi ,al-
Makhtaroh:8/85, dll. Berkata Tirmidzi: “Hadits ini
hasan shahih”.
[9] HR.Malik dalam Muwattha’,dan dari jalannya
Imam Asy-Syafi’i,dan Al-Baihaqi. Riwayat ini
dilemahkan Al-Albani rahimahullah dalam Al-Irwa’:
5/1248. Namun telah diriwayatkan melalui jalur lain
dari Bajalah bin Abdah berkata: “Umar radhiallahu
tidak mengambil jizyah dari kaum Majusi, sehingga
Abdurrahman bin Auf bersaksi bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam mengambilnya dari
Majusi Hajar.”
HR.Bukhari, Asy-syafi’i,Abu Dawud,Tirmidzi,dll. Lihat
Irwa’ Al-Gholil: 5/1249.
[10] Satu kampung yang terletak antara Syam dan
Hijaz.
[11] Yang tentunya mereka adalah para Shahabat
yang paling senior, radhiallahu anhum.
[12] Perhatikanlah, jumlah para Shahabat radhiallahu
anhum yang lebih banyak, namun tersamarkan oleh
mereka sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam. Menunjukkan bahwa yang menjadi ‘ibrah
– pelajaran- adalah riwayat dan bukan jumlah
terbanyak, seperti yang disangka oleh Firanda dan
orang-orang yang berpemikiran ala demokrasi,
Allahul musta’an.
[13] Dan tentunya tidak sesenior shahabat Umar
radhiallahu anhu. Namun mereka – tidaklah seperti
Firanda -, yang memegang kaidah : “Paling senior
didahulukan ucapannya daripada yang senior (tanpa
“paling”)”.Wallahul musta’an.
[14] Dan kita pun tidak mengatakan bahwa hal ini
merupakan tuduhan terhadap Umar raddhiallahu
anhu bahwa beliau tidak mengerti fiqhul waqi’,
seperti yang disangka oleh Firanda –semoga Allah
mengembalikannya kepada Al-Haq-.
[15] Muttafaq alaihi,dari Aisyah radhiallahu anha.
Lihat pula takhrij hadits ini dalam Al-Irwa’:4:1047.
[16] HR.Malik dalam Al-Muwattha’, Abu Dawud, At-
Tirmidzi, Ad-Darimi dan yang lainnya dari Al-
Furai’ah bintu Malik bin Sinan radhiallahu anha. Dan
dilemahkan Al-Albani dalam Al-Irwa’: 7:2131.
[17] HR.Baihaqi : 5/194.
[18] HR.Abu Dawud: 1521.Dishahihkan Al-Albani
dalam Shahih Abu Dawud : 1346.
[19] Muttafaq alaihi dari hadits Subai’ah bintul Harits
Al-Aslamiyyah.
[20] Hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan bagi Barwa’
bintu Wasyiq radhiallahu anha yang ditinggal mati
suaminya, bahwa ia mendapatkan seluruh maharnya
dan dia mendapatkan warisan, serta harus menunggu
masa ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari.
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi:3/1145, Abu
Dawud:2114, An-Nasaai: 3356, Ibnu Majah:1891, Ad-
Darimi: 2/2246, Al-Baihaqi:7/245, dll, dari Abdullah
bin Mas’ud radhiallahu anhu. Dishahihkan Al-Albani
dalam Al-Irwa’:1939.
[21] Disini nampak sekali bahwa Ibnu Taslim hendak
mengaburkan permasalahan dan menyebutkan
kaidah-kaidah umum untuk mengesankan kepada
pembaca bahwa Syaikh Rabi’ dalam hal ini telah
menetapkan hukum yang salah. Namun itu tidak
dilakukannya secara transparan. Apakah bukti-bukti
yang disebutkan oleh Syaikh Robi’ hafidzahullah dan
yang lainnya tersebut tidak cukup bagi anda ?
Semestinya kita membahas secara ilmiah dan jangan
selalu menjadikan “masalah khilafiyah”, “suara
terbanyak”, “naluri salafi” dan yang semisalnya
sebagai tameng untuk menghindari pembahasan
secara ilmiah dan dampak buruk masuknya Ihya’ At-
Turots ke bumi Indonesia secara khusus dan ke
berbagai negara lainnya.
[22]Abdullah Taslim –semoga Allah memberi
kepadanya dan kepada kita semua hidayah-
menyebutkan dalam jawabannya kepada Abah Umair
bahwa syaikh Shalih Alus Syaikh tergolong ulama
yang paling senior, lalu menganggap Syaikh Rabi’
tidak termasuk ulama yang paling senior. Padahal
Syaikh Rabi’ jauh lebih tua dari Syaikh Shalih Alus
Syaikh hafidzhahumallah, Syaikh Rabi’ lahir pada
tahun 1351 H, sedangkan Syaikh Alus Syaikh lahir
pada tahun 1378 H. Berarti syaikh Rabi’ lebih tua
dari Syakh Alus Syaikh 27 tahun. Entah apa yang
menyebabkan Abdullah Taslim bertindak ‘nyeleneh’
seperti ini, apakah mungkin hanya karena salah tulis
atau salah sangka, atau karena terlalu getol dalam
melakukan pembelaannya terhadap Ihya at-Turots
dan yang bermu’amalah dengannya, lalu
merendahkan kedudukan seorang ‘alim yang terkenal
kiprahnya dalam ilmu al-Jarh wat-Ta’dil ? Wallahu
a’lam ma fi qolbihi. Dan bahkan Syaikh Rabi’ pun
lebih tua dari Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad dua
tahun, karena Syaikh Abdul Muhsin lahir pada tahun
1353 H. Sehingga keduanya berada dalam satu
thabaqah yang sama tingkat keseniorannya. Maka
jika Syaikh Rabi’ pernah mengambil ilmu dari Syaikh
Abdul Muhsin, maka hal tersebut termasuk dalam
jenis riwayat bainal aqran, sebagaimana yang telah
ma’ruf dalam pembahasan musthalah hadits.
Walhasil, mereka semua adalah para ulama yang kita
cintai.
[23] Bukan maksud kami menukilkan ini untuk
membahas tentang organisasi Al-Irsyad dan
pendirinya, sebab itu membutuhkan pembahasan
rinci. Namun maksud kami hanyalah meng “‘ilzam”
Firanda dan yang bersamanya yang menetapkan
kaidah bid’ah “kesenioran”. Adapun tentang
Organisasi Al-Irsyad dan pendirinya, insya Allah akan
kita bahas pada edisi-edisi selanjutnya.
(Dikutip dari tulisan al Ustadz Askari judul asli
Ulama, Antara Senior Dan Paling Senior ? (Bagian Ke
Empat). Url sumber : http://www.darussalaf.or.id/
index.php?name=News&file=article&sid=305 )

Silahkan kunjungi situs kami di www.tunas-tauhid.blogspot.com

No comments:

Post a Comment