Sunday, March 2, 2014

Penyimpangan - Penyimpangan ihya atturots seasons 3

Penulis: Al Ustadz Abu Karimah Askary bin Jamal
Al-Bugisi

Kesalahan Mujtahid vs Pengekor Hawa Nafsu
Ifrath Haddadiyyah vs Tafrith Sururiyyah

 Diantara perkara yang telah disepakati umat ini,
bahwa tidak seorang pun di kalangan para ulama
yang terpelihara dari kesalahan (ma’shum). Namun
seorang mujtahid – apabila dia telah berusaha
mengeluarkan fatwa untuk mencocoki al-haq dan
berjalan di atas rel Al-Qur’an dan As-Sunnah – lalu
ternyata setelah itu terjatuh dalam kesalahan dan
kekeliruan. Maka sikap seorang muslim terhadap
kesalahan tersebut agar tidak bersikap ifrath
(berlebih-lebihan) hingga sampai merendahkan
kedudukan seorang alim tersebut, apalagi
menghajrnya (mengucilkannya, red).
Seyogyanya pula seorang muslim tidak bersikap
tafrith (meremehkan, red), menerima setiap apa yang
keluar dari pendapatnya [mujtahid tersebut], tanpa
peduli salah atau tidak, tanpa memperhatikan dalil
yang dibawakannya. Walau demikian selayaknya
kita]tetap mengakui adanya kekeliruan, tanpa harus
mencerca dan merendahkan kedudukannya sebagai
seorang ‘Alim. Sebab seorang mujtahid, tetap akan
diganjar pahala oleh Allah Azza wa Jalla dengan
ijtihadnya, baik ijtihad tersebut benar atau pun salah.
Inilah yang dituntunkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam kepada umatnya, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Amr bin
Ash dan juga datang dari hadits Abu Hurairah
radhiallahuanhuma bahwa Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam bersabda:
ﺇِﺫَﺍ ﺣَﻜَﻢَ ﺍﻟْﺤَﺎﻛِﻢُ ﻓَﺎﺟْﺘَﻬَﺪَ ﺛُﻢَّ ﺃَﺻَﺎﺏَ ﻓَﻠَﻪُ ﺃَﺟْﺮَﺍﻥِ ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺣَﻜَﻢَ ﻓَﺎﺟْﺘَﻬَﺪَ ﺛُﻢَّ ﺃَﺧْﻄَﺄَ ﻓَﻠَﻪُ ﺃَﺟْﺮٌ
Artinya : “Jika seorang hakim ingin menetapkan
hukum, lalu dia berijtihad, [apabila] benar maka dia
mendapatkan dua pahala. Dan apabila dia memberi
hukum lalu berijtihad namun salah, maka dia
mendapat satu pahala.” (Muttafaq ‘alaihi)
Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah Ta’ala berkata
dalam menjelaskan hadits ini: “(Beliau)
mengisyaratkan bahwa tidaklah mesti – disaat
ditolak hukumnya atau fatwanya lantaran berijtihad
lalu keliru – maka dia mendapat dosa dengan
(kesalahan) tersebut. Akan tetapi apabila dia telah
mengerahkan kemampuannya, maka ia mendapat
pahala, jika (hukumnya) benar, maka digandakan
pahalanya. Namun apabila dia menetapkan hukum
atau berfatwa dengan tanpa ilmu maka dia mendapat
dosa.” (Fathul Bari: 13/331).
Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
Ta’ala berkata: “Dan mereka berkata : “Pendapat
inilah yang ma’ruf dari para Shahabat dan yang
mengikuti mereka dengan baik dan para Imam
agama, bahwa mereka tidak mengkafirkan, juga tidak
menyatakan fasiq, tidak pula menganggap berdosa
seseorang dari kalangan mujtahid yang keliru, baik
dalam permasalahan amalan maupun keyakinan”.
(Minhajus Sunnah:5/87).
Berbeda halnya dengan seorang yang mengikuti
sesuatu dengan hawa nafsu – bukan seorang
mujtahid -, akan tetapi membangun amalannya di
atas sikap fanatik terhadap sesuatu, apakah fanatik
terhadap seseorang, atau madzhab tertentu atau
kelompok tertentu. Ataukah seseorang yang ingin
mencari mana fatwa yang lebih ringan (tidak keras)
atau yang semisalnya, maka amalan yang semacam
inilah yang dicela oleh Allah dan Rasul-Nya.Allah
Azza wa Jalla berfirman:
ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻗِﻴﻞَ ﻟَﻬُﻢُ ﺍﺗَّﺒِﻌُﻮﺍ ﻣَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﺑَﻞْ ﻧَﺘَّﺒِﻊُ ﻣَﺎ ﺃَﻟْﻔَﻴْﻨَﺎ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺀَﺍﺑَﺎﺀَﻧَﺎ ﺃَﻭَﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ
ﺀَﺍﺑَﺎﺅُﻫُﻢْ ﻻَ ﻳَﻌْﻘِﻠُﻮﻥَ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻭَﻻَ ﻳَﻬْﺘَﺪُﻭﻥَ ﴿ ١٧۰ ﴾ ] ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ : ١٧۰ ]
Artinya : [170] “Dan apabila dikatakan kepada
mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,”
mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya
mengikuti apa yang telah kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka
akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak
mendapat petunjuk?” [QS Al Baqoroh: 170]
Dan firman-Nya:
ﻭَﻟَﺌِﻦِ ﺍﺗَّﺒَﻌْﺖَ ﺃَﻫْﻮَﺍﺀَﻫُﻢْ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِ ﻣَﺎ ﺟَﺎﺀَﻙَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢِ ﺇِﻧَّﻚَ ﺇِﺫًﺍ ﻟَﻤِﻦَ ﺍﻟﻈَّﺎﻟِﻤِﻴﻦَ ﴿
١٤٥﴾ ] ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ : ١٤٥ ]
Artinya : “Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti
keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu,
sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan
orang-orang yang zalim.” [QS Al Baqoroh: 145]
Dan firman-Nya:
ﻓَﺎﺣْﻜُﻢْ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﺑِﻤَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﻻَ ﺗَﺘَّﺒِﻊْ ﺃَﻫْﻮَﺍﺀَﻫُﻢْ ﻋَﻤَّﺎ ﺟَﺎﺀَﻙَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺤَﻖِّ
Artinya : “…maka putuskanlah perkara mereka
menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang
kepadamu. [QS Al Maaidah: 48]
Dan firman-Nya:
ﻭَﺃَﻥِ ﺍﺣْﻜُﻢْ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﺑِﻤَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﻻَ ﺗَﺘَّﺒِﻊْ ﺃَﻫْﻮَﺍﺀَﻫُﻢْ ﻭَﺍﺣْﺬَﺭْﻫُﻢْ ﺃَﻥْ ﻳَﻔْﺘِﻨُﻮﻙَ ﻋَﻦْ ﺑَﻌْﺾِ
ﻣَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﻓَﺈِﻥْ ﺗَﻮَﻟَّﻮْﺍ ﻓَﺎﻋْﻠَﻢْ ﺃَﻧَّﻤَﺎ ﻳُﺮِﻳﺪُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺃَﻥْ ﻳُﺼِﻴﺒَﻬُﻢْ ﺑِﺒَﻌْﺾِ ﺫُﻧُﻮﺑِﻬِﻢْ ﻭَﺇِﻥَّ
ﻛَﺜِﻴﺮًﺍ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻟَﻔَﺎﺳِﻘُﻮﻥَ ﴿ ٤۹ ﴾ ] ﺍﻟﻤﺎﺋﺪﺓ : ٤۹ ]
Artinya : [49] dan hendaklah kamu memutuskan
perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu
terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan
kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan
Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum
yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan
musibah kepada mereka disebabkan sebahagian
dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan
manusia adalah orang-orang yang fasik. [QS Al
Maaidah: 49]
Dan firman-Nya:
ﻗُﻞْ ﻳَﺎﺃَﻫْﻞَ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏِ ﻻَ ﺗَﻐْﻠُﻮﺍ ﻓِﻲ ﺩِﻳﻨِﻜُﻢْ ﻏَﻴْﺮَ ﺍﻟْﺤَﻖِّ ﻭَﻻَ ﺗَﺘَّﺒِﻌُﻮﺍ ﺃَﻫْﻮَﺍﺀَ ﻗَﻮْﻡٍ ﻗَﺪْ ﺿَﻠُّﻮﺍ
ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﻞُ ﻭَﺃَﺿَﻠُّﻮﺍ ﻛَﺜِﻴﺮًﺍ ﻭَﺿَﻠُّﻮﺍ ﻋَﻦْ ﺳَﻮَﺍﺀِ ﺍﻟﺴَّﺒِﻴﻞِ ﴿٧٧﴾ ] ﺍﻟﻤﺎﺋﺪﺓ : ٧٧ ]
Artinya : [77] Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah
kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan
cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah
sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad)
dan mereka telah menyesatkan kebanyakan
(manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang
lurus.” [QS Al Maaidah: 77]
Dan ayat yang menjelaskan tentang hal ini masih
sangat banyak.
Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah Ta’ala:
( ﺍﻟﻤﺘﺒﻌﻮﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻠﻰ ﻗﺴﻤﻴﻦ : ﻗﺴﻢ ﻋﺎﻟﻢ ﻣﺴﻌﺪ ﻟﻨﻔﺴﻪ ﻭﻣﺴﻌﺪ ﻟﻐﻴﺮﻩ,
ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺬﻱ ﻋﺮﻑ ﺍﻟﺤﻖ ﺑﺎﻟﺪﻟﻴﻞ ﻻ ﺑﺎﻟﺘﻘﻠﻴﺪ , ﻭﺩﻋﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺇﻟﻰ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﺍﻟﺤﻖ
ﺑﺎﻟﺪﻟﻴﻞ, ﻻ ﺑﺄﻥ ﻳﻘﻠﺪﻭﻩ,ﻭﻗﺴﻢ ﻣﻬﻠﻚ ﻟﻨﻔﺴﻪ ﻭﻣﻬﻠﻚ ﻟﻐﻴﺮﻩ, ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺬﻱ ﻗﻠﺪ ﺁﺑﺎﺀﻩ
ﻭﺃﺟﺪﺍﺩﻩ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﻌﺘﻘﺪﻭﻥ ﻭﻳﺴﺘﺤﺴﻨﻮﻥ,ﻭﺗﺮﻙ ﺍﻟﻨﻈﺮ ﺑﻌﻘﻠﻪ ﻭﺩﻋﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ
ﻟﺘﻘﻠﻴﺪﻩ,ﻭﺍﻷﻋﻤﻰ ﻻ ﻳﺼﺢ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﺩ ﺍﻟﻌﻤﻴﺎﻥ ,ﻭﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺗﻘﻠﻴﺪ ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ ﻣﺬﻣﻮﻣﺎ, ﻏﻴﺮ
ﻣﺮﺿﻲ ﻓﻲ ﺍﻻﻋﺘﻘﺎﺩﺍﺕ,ﻓﺘﻘﻠﻴﺪ ﺍﻟﻜﺘﺐ ﺃﻭﻟﻰ ﻭﺃﺣﺮﻯ ﺑﺎﻟﺬﻡ, ﻭﺇﻥ ﺑﻬﻴﻤﺔ ﺗﻘﺎﺩ, ﺃﻓﻀﻞ
ﻣﻦ ﻣﻘﻠﺪ ﻳﻨﻘﺎﺩ, ﻭﺇﻥ ﺃﻗﻮﺍﻝ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻭﺍﻟﻤﺘﺪﻳﻨﻴﻦ ﻣﺘﻀﺎﺩﺓ ﻣﺘﺨﺎﻟﻔﺔ ﻓﻲ ﺍﻷﻛﺜﺮ,
ﻭﺍﺧﺘﻴﺎﺭ ﻭﺍﺣﺪ ﻣﻨﻬﺎ ﻭﺍﺗﺒﺎﻋﻪ ﺑﻼ ﺩﻟﻴﻞ ﺑﺎﻃﻞ, ﻷﻧﻪ ﺗﺮﺟﻴﺢ ﺑﻼ ﻣﺮﺟﺢ ﻓﻴﻜﻮﻥ ﻣﻌﺎﺭﺿﺎ
ﺑﻤﺜﻠﻪ )
“Orang yang mengikuti sesuatu dari kalangan
manusia ada dua bagian.
Bagian pertama: seorang yang alim yang
membahagiakan dirinya sendiri dan membahagiakan
orang lain. Beliau adalah yang mengenal kebenaran
dengan dalil bukan dengan taqlid dan mengajak
manusia untuk mengenal kebenaran dengan dalilnya,
bukan untuk taqlid kepadanya.
Bagian kedua: orang yang membinasakan dirinya
sendiri dan membinasakan orang lain, dia adalah
orang yang taqlid kepada orang tuanya, kakeknya,
terhadap apa yang mereka yakini dan yang mereka
anggap baik dan meninggalkan untuk menimbang
sesuatu dengan akalnya. [Dia] mengajak manusia
untuk taqlid kepadanya, orang buta tidak dapat
menuntun orang yang buta pula. Maka apabila taqlid
terhadap para tokoh tercela, bukan perkara yang
dibolehkan dalam perkara aqidah, maka taqlid
terhadap kitab-kitab pun -lebih pantas dan lebih
utama – tercelanya. Sesungguhnya hewan yang
digiring lebih baik daripada seorang muqallid (yakni
orang yg mengekor, red) yang ikut (tanpa dalil).
Sesungguhnya ucapan para ulama dan orang shalih
bertentangan dan berselisih dalam banyak perkara.
Maka memilih dan mengikuti (pendapat) salah satu
darinya dengan tanpa dalil adalah batil, sebab itu
adalah menguatkan sesuatu tanpa ada (alasan) yang
menguatkan dan ini bertentangan.” (Qowa’id at-
Tahdits, Al-Qasimi: 360).
Dari apa yang telah kita jelaskan ini, maka kita
mengetahui bahwa terjadi perbedaan hukum antara
seorang mujtahid dengan seorang pengekor hawa
nafsu, yang mengikuti ucapan seseorang tanpa
hujjah. Seorang mujtahid bila keliru, tidak
menyebabkan dia tercela, apalagi untuk dihajr dan
dihukumi mubtadi’. Berbeda akan halnya seorang
muqollid – yang mengikuti hawa nafsunya – dalam
keadaan dia memiliki kemampuan untuk melihat
permasalahan secara jernih, namun disebabkan
karena hawa [nafsunya] yang lebih mendominasi,
maka orang yang demikian ini sudah sepantasnya
mendapat celaan.
Apabila kita telah memahami hal ini,maka ketahuilah
bahwa apa yang disebutkan oleh Al-Akh Abdullah bin
Taslim dalam makalahnya, ketika menjelaskan
tentang perselisihan ulama dalam hal berhubungan
dengan yayasan ihya At-Turots:
“Kalau seandainya masalah ini menyebabkan
seseorang dicela,maka mestinya para ulama yang
membolehkan mengambil bantuan tersebut yang
harus lebih dahulu dicela.Karena orang-orang yang
mengambil bantuan tersebut menyandarkan hal ini
kepada fatwa para ulama tersebut!”, demikian ucapan
beliau. (Jawaban dari pertanyaan Abah Umair,
Konsultasi Ustadz: Memahami Kaidah Al Jarhul
Mufassar Muqaddamun Alatta’diil dan Sikap Kita di
Tengah Kerasnya Gelombang Fitnah (UPDATE) –
artikel ID 338, alinea ke 7, baris ke 13).
Semestinya Al-Akh Abdullah bin Taslim –semoga
Allah memberi hidayah kepadanya dan kepada kita
semua- mengetahui bahwa seorang alim, yang keliru
dalam berijtihad tidak dapat disamakan dengan
seorang yang mengikuti hawa nafsunya, lalu lebih
memilih cara taqlid buta, tanpa peduli apa yang akan
menjadi akibat dari perbuatannya tersebut. Seorang
yang nikah mut’ah karena mengikuti hawa nafsunya,
harus dicela walaupun dengan alasan dia mengikuti
pendapat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, sebab
telah sampai kepadanya hujjah dan hadits yang
melarang hal tersebut. Dan ini tidak menyebabkan
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma lebih berhak untuk
dicela hanya karena beliaulah yang menfatwakannya.
Seorang yang melakukan perlawanan terhadap
pemerintah harus dicela dan ditahdzir saat telah
sampai kepadanya ilmu tentang hal tersebut.
Walaupun dia beralasan mengikuti perbuatan Aisyah
radhiallahu anha, Tholhah bin Ubaidillah dan Zubair
bin Awwam radhiallahu anhuma dalam peristiwa
perang Jamal. Atau beralasan mengikuti pendapat
Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahuma dalam
peristiwa Shiffin. Dan ini tidak menyebabkan mereka
(para shahabat radhiallahu anhum) harus dicela dan
ditahdzir, disebabkan karena kesalahan mereka
tersebut dibangun di atas ijtihad. Dan masih banyak
lagi perkara yang lain yang dapat diqiyaskan kepada
apa yang telah kita sebutkan ini.
Berkata Ibnul Jauzi rahimahullah Ta’ala:
( ﻭﺍﻋﻠﻢ ﺃﻥ ﻋﻤﻮﻡ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺍﻟﻤﺬﺍﻫﺐ ﻳﻌﻈﻢ ﻓﻲ ﻗﻠﻮﺑﻬﻢ ﺍﻟﺘﻔﺤﺺ ﻋﻦ ﺃﺩﻟﺔ
ﺇﻣﺎﻣﻬﻢ,ﻓﻴﺘﺒﻌﻮﻥ ﻗﻮﻟﻪ, ﻓﻴﻨﺒﻐﻲ ﺍﻟﻨﻈﺮ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﻻ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻘﺎﺋﻞ ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻝ ﻋﻠﻲ
ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻟﻠﺤﺎﺭﺙ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻷﻋﻮﺭ ,ﻭﻗﺪ ﻗﺎﻝ ﻟﻪ :ﺃﺗﻈﻦ ﺃﻥ ﻃﻠﺤﺔ ﻭﺍﻟﺰﺑﻴﺮ
ﻛﺎﻧﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺒﺎﻃﻞ؟ ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻪ : ﻳﺎ ﺣﺎﺭﺙ! ﺇﻧﻪ ﻣﻠﺒﻮﺱ ﻋﻠﻴﻚ,ﺇﻥ ﺍﻟﺤﻖ ﻻ ﻳﻌﺮﻑ
ﺑﺎﻟﺮﺟﺎﻝ , ﺍﻋﺮﻑ ﺍﻟﺤﻖ ﺗﻌﺮﻑ ﺃﻫﻠﻪ )
“Ketahuilah bahwa keumuman para pengikut
madzhab, sangat besar keinginan dalam diri mereka
untuk mau memeriksa dalil-dalil Imam mereka, lalu
mereka pun mengikuti pendapat Imamnya. Maka
seseorang sepantasnya untuk melihat kepada
ucapannya, bukan kepada orang yang
mengucapkannya. Sebagaimana yang diucapkan oleh
Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu kepada Harits bin
Abdullah Al-A’war, ketika Ia (Harits) berkata
kepadanya: “Apakah engkau menyangka bahwa
Thalhah dan Zubair berada di atas kebatilan ?”.
Beliau menjawab: ”Wahai Harits, sesungguhnya
tersamarkan olehmu (perkara ini). Sesungguhnya
kebenaran itu tidak dikenal dengan para tokoh,
(namun) kenalilah kebenaran, niscaya engkau
mengetahui pemiliknya.” (Qawa’id At-Tahdits: 357).
Demikian pula tatkala Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah menjelaskan perbedaan antara kaum
bughat (pemberontak) dengan kaum Khawarij, bahwa
tidak setiap orang yang bughat disebut sebagai kaum
Khawarij. Oleh karena itu, Ali bin Abi Thalib
radhiallahu anhu membedakan antara kesalahan
yang dilakukan oleh Aisyah radhiyallahu anha
bersama para shahabat yang lainnya – tatkala
mereka menentang Ali radhiyallahu anhu karena
menuntut darah Utsman radhiallahu anhu dari para
pembunuhnya – dengan kaum Khawarij yang
melakukan sikap penentangan dan pemberontakan
terhadapnya. Silahkan lihat jawaban rinci dalam
Majmu’ Fatawa Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah: jilid:35,hal:54-57.
Sikap Ahlussunnah dalam menyikapi kesalahan
seorang alim, antara sikap berlebihan ‘kaum
Haddadiyyah’ dan sikap meremehkan ‘kaum
Sururiyyah’
Kaum Haddadiyyah yang getol menyerang para
ulama serta menyikapi kesalahan mereka, seperti
penyimpangan yang dilakukan oleh para pengekor
hawa nafsu. Haddadiyyah, nisbah kepada seorang
asal Mesir yang bernama Mahmud Al-Haddad Al-
Mishri, yang dahulu pernah tinggal di Madinah. Awal
munculnya gerakan ini dimulai dengan mengkritik Al-
Hafidz Ibnu Hajar dan Imam Nawawi dalam majelis-
majelisnya, lantas dia mengajak manusia untuk
menghukuminya [kedua Imam tersebut] sebagai
seorang mubtadi’. Lalu kemudian berlanjut hingga
mencela siapapun dari kalangan para ulama yang
dianggapnya memiliki kesalahan –menurut
persangkaannya- seperti Syekh Bin Baaz
rahimahullah, Syaikh Shalih Fauzan Al-Fauzan
hafidhahullah, Syaikh Al-Luhaidan hafidhahullah,
Syaikh Al-Albani rahimahullah dan yang lainnya.
Bagi siapa yang ingin mengetahui, Syekh Rabi’
hafidzahullah telah menyebutkan dalam tulisan beliau
“Manhaj Al-Haddadiyyah” 12 poin dari pemikiran Al-
Haddadiyyah, yang ringkasannya sebagai berikut:
1. Kebenciannya terhadap para ulama Salafi di
zaman sekarang, menisbahkan/mencap kesesatan
pada mereka dan merendahkan kedudukan mereka.
2. Menuduh mubtadi’ [ahli bid’ah’] terhadap setiap
orang yang jatuh ke dalam bid’ah.
3. Menuduh mubtadi’ terhadap orang yang tidak mau
mentabdi’ [mencap mubtadi] orang yang terjatuh ke
dalam bid’ah.
4. Mengharamkan untuk mendo’akan rahmat kepada
ahli bid’ah.
5. Mentabdi’ orang yang mendo’akan rahmat kepada
ulama seperti Abu Hanifah, Asy-Syaukani.
6. Permusuhan yang sengit terhadap
salafiyyin,walaupun terhadap orang yang telah
bersungguh-sungguh dalam memerangi hizbiyyah
dan kesesatannya.
7. Bersikap berlebih-lebihan terhadap Mahmud Al-
Haddad dan mengangkatnya sebagai seorang yang
alim.
8. Menodai kehormatan ulama salafiyyin, baik yang
di Madinah dan yang lainnya, serta menuduh mereka
sebagai pendusta.
9. Mereka punya kebiasaan melaknat, meremehkan,
menteror sampai pada tingkatan mengancam untuk
memukul salafiyyin.
10. Mereka melaknat secara ta’yin,hingga diantara
mereka ada yang melaknat Abu Hanifah, bahkan
mengkafirkannya.
11. Bersifat sombong dan suka membangkang yang
akhirnya menjurus kepada penolakan terhadap al-
Haq
12. Mereka selalu menyandarkan ucapannya kepada
Imam Ahmad, namun setelah dijelaskan sikap Imam
Ahmad yang menyelisihi Al-Haddad, maka mereka
pun menuduh dan mengingkari penisbatan tersebut
kepada Imam Ahmad. Lalu Al-Haddad mengatakan:
“… walaupun itu benar dari Imam Ahmad, maka kita
tidak bertaqlid kepadanya.”
(Lihat: Manhaj Al-Haddadiyyah,tulisan Syekh Robi’
bin Hadi Al-Madkhali)
Sebaliknya, kebalikan dari Al-Haddadiyyah, mereka
yang disebut sebagai Sururiyyah. Kelompok ini
berciri khas bersikap bermudah-mudahan dalam
memberi gelar kepada orang yang dianggap
tokohnya, berusaha membelanya dan
menyelamatkannya dari berbagai tuduhan. Seperti
Sayyid Quthb, Yusuf Al-Qaradhawi dan yang
semisalnya dari para penyeru kesesatan. Walaupun
seakan-akan mereka menghargai para ulama dan
fatwanya, namun dari sisi lain mereka melakukan
sindiran terhadap beberapa masyaikh Ahlus Sunnah
di zaman sekarang. Ada yang menuduh sebagian
ulama dengan tuduhan tidak mengerti fiqhul waqi’,
ada yang menuduh sebagian mereka memiliki
pemikiran Murji’ah, ada lagi yang menuduh bahwa
syekh Rabi hafidzahullah Ta’ala diusir dari Madinah,
sehingga keadaan Kota Madinah sudah semakin
kondusif dengan kepergian beliau, atau ucapan yang
semisalnya berupa tuduhan dan fitnah yang
dilontarkan kepada para ulama Ahlus Sunnah. Insya
Allah -bila ada waktu – pada edisi mendatang akan
kita jabarkan sedikit tentang hal ini.
Adapun Ahlus Sunnah wal-jama’ah, maka mereka
berada pada sikap pertengahan, mereka mengakui
bahwa para ulama bukanlah orang yang ma’shum –
setinggi apapun kedudukan dan ilmu yang mereka
miliki-. Namun kewajiban bagi seorang muslim
adalah, memuliakan mereka, tidak melecehkan,
ataupun merendahkan kedudukan mereka, apalagi
sampai mencelanya.
Berkata Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
Ta’ala :
“Wajib atas kaum muslimin –setelah bersikap loyal
terhadap Allah Ta’ala dan rasul-Nya Shallallahu
‘alaihi wassalam – untuk bersikap loyal terhadap
kaum mukminin, sebagaimana yang telah dinyatakan
dalam Al-Qur’an, khususnya para Ulama – orang-
orang yang telah menjadi pewaris para nabi – yang
Allah Azza wa Jalla telah menjadikan mereka
memiliki kedudukan seperti bintang-bintang, [bintang]
yang dijadikan sebagai pembimbing dalam kegelapan
didarat dan lautan.Sungguh telah sepakat kaum
muslimin atas hidayah dan pengetahuan mereka.
Tatkala setiap umat–sebelum diutusnya Nabi kita
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam-, meyakini
maka ulama merekalah yang paling jahat. Berbeda
dengan kaum muslimin, maka sesungguhnya Ulama
mereka adalah orang-orang pilihan diantara mereka.
Sebab mereka – pera ulama – adalah para pengganti
Rasul Shallallahu ‘alaihi wassalam pada umatnya.
Mereka berupaya menghidupkan apa yang telah mati
dari Sunnahnya. Bersama merekalah al-Kitab
ditegakkan dan dengan Al-Qur’anlah mereka tegak,
bersama mereka al-Kitab dinyatakan dan dengan al-
Kitab sajalah mereka menyatakan (sesuatu). Dan
hendaklah diketahui bahwa tidak seorangpun dari
kalangan para Imam –yang diterima di kalangan
umat dengan penerimaan secara umum- yang
sengaja menyelisihi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam terhadap sesuatu dari sunnahnya, baik
yang samar maupun yang jelas. Sesungguhnya
mereka – para ulama – seluruhnya sepakat dengan
kesepakatan yang meyakinkan atas wajibnya
mengikuti Rasul Shallallahu ‘alaihi wassalam . Dan
setiap orang dari manusia bisa diambil dan bisa
ditolak kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam. Akan tetapi jika didapati ucapan salah
seorang dari mereka, dimana telah datang hadits
yang shahih menyelisihinya, maka harus diberi udzur
(sebab) dia meninggalkan (hadits tersebut). (Raf’ul
Malaam ‘an al-Aimmatil A’laam, Syeikhul Islam Ibnu
Taimiyyah: 8-9)
Dan beliau juga berkata:
ﻓﺄﻣﺎ ﺍﻟﺼﺪﻳﻘﻮﻥ ﻭﺍﻟﺸﻬﺪﺍﺀ ﻭﺍﻟﺼﺎﻟﺤﻮﻥ ﻓﻠﻴﺴﻮﺍ ﺑﻤﻌﺼﻮﻣﻴﻦ، ﻭﻫﺬﺍ ﻓﻲ ﺍﻟﺬﻧﻮﺏ
ﺍﻟﻤﺤﻘﻘﺔ . ﻭﺃﻣﺎ ﻣﺎ ﺍﺟﺘﻬﺪﻭﺍ ﻓﻴﻪ، ﻓﺘﺎﺭﺓ ﻳﺼﻴﺒﻮﻥ، ﻭﺗﺎﺭﺓ ﻳﺨﻄﺌﻮﻥ . ﻓﺈﺫﺍ ﺍﺟﺘﻬﺪﻭﺍ
ﻓﺄﺻﺎﺑﻮﺍ ﻓﻠﻬﻢ ﺃﺟﺮﺍﻥ، ﻭﺇﺫﺍ ﺍﺟﺘﻬﺪﻭﺍ ﻭﺃﺧﻄﺆﻭﺍ ﻓﻠﻬﻢ ﺃﺟﺮ ﻋﻠﻲ ﺍﺟﺘﻬﺎﺩﻫﻢ،
ﻭﺧﻄﺆﻫﻢ ﻣﻐﻔﻮﺭ ﻟﻬﻢ . ﻭﺃﻫﻞ ﺍﻟﻀﻼﻝ ﻳﺠﻌﻠﻮﻥ ﺍﻟﺨﻄﺄ ﻭﺍﻹﺛﻢ ﻣﺘﻼﺯﻣﻴﻦ؛ ) ﻣﺠﻤﻮﻉ
ﺍﻟﻔﺘﺎﻭﻯ 69\35: )
“Adapun para shiddiq, syuhada, orang-orang shalih,
mereka bukan mashum (terpelihara dari kesalahan).
Dan dalam hal dosa-dosa yang jelas. Adapun apa
yang mereka berijtihad padanya, maka terkadang
mereka benar dan terkadang pula mereka keliru.
Maka jika mereka berijtihad lalu benar maka mereka
mendapat dua pahala dan jika mereka berijtihad lalu
keliru,maka mereka mendapat satu pahala atas
ijtihadnya. Dan kesalahan mereka diampuni.Adapun
orang yang sesat maka mereka menjadikan
kesalahan dan dosa sebagai perkara yang menjadi
keharusan antara keduanya [1]. “(Majmu’ al-Fatawa:
35/69).
Beliau juga berkata:
ﺇﻥ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺍﻟﺠﻠﻴﻞ ﺍﻟﺬﻱ ﻟﻪ ﻓﻲ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻗﺪﻡ ﺻﺎﻟﺢ ﻭﺁﺛﺎﺭ ﺣﺴﻨﺔ ﻭﻫﻮ ﻣﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ
ﻭﺃﻫﻠﻪ ﺑﻤﻜﺎﻧﺔ ﻋﻠﻴﺎ ﻗﺪ ﺗﻜﻮﻥ ﻣﻨﻪ ﺍﻟﻬﻔﻮﺓ ﻭﺍﻟﺰﻟﺔ ﻫﻮ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﻌﺬﻭﺭ ﺑﻞ ﻣﺄﺟﻮﺭ ﻻ
ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳﺘﺒﻊ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﻊ ﺑﻘﺎﺀ ﻣﻜﺎﻧﺘﻪ ﻭﻣﻨﺰﻟﺘﻪ ﻓﻲ ﻗﻠﻮﺏ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ) ﺍﻟﻔﺘﺎﻭﻯ
ﺍﻟﻜﺒﺮﻯ 178\3: )
“Sesungguhnya orang yang mulia yang di dalam
Islam memiliki peranan yang baik dan pengaruh yang
baik dan dia – di mata Islam dan pemeluknya –
memiliki kedudukan yang tinggi.Terkadang ia
memiliki kesalahan dan kekeliruan. Maka padanya
diberi udzur, bahkan mendapat pahala, dan tidak
boleh diikuti dalam hal itu, dengan tetapnya
kedudukan dan harga dirinya dalam hati kaum
mukminin”. (al-Fatawa al-Kubra:3/178).
Berkata Imam Dzahabi rahimahullah Ta’ala tatkala
menjelaskan biografi Abu Abdillah, Muhammad bin
Ahmad bin Yahya Al-Utsmani yang terjatuh ke dalam
pemikiran Asy’ariyyah [2]:
ﻭﻧﺤﺐ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭﺃﻫﻠﻬﺎ ﻭﻧﺤﺐ ﺍﻟﻌﺎﻟﻢ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻻﺗﺒﺎﻉ ﻭﺍﻟﺼﻔﺎﺕ ﺍﻟﺤﻤﻴﺪﺓ ﻭﻻ
ﻧﺤﺐ ﻣﺎ ﺍﺑﺘﺪﻉ ﻓﻴﻪ ﺑﺘﺄﻭﻳﻞ ﺳﺎﺋﻎ ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﻌﺒﺮﺓ ﺑﻜﺜﺮﺓ ﺍﻟﻤﺤﺎﺳﻦ ) ﺍﻟﺴﻴﺮ :
46-45\20 )
“Dan kami cinta kepada Sunnah dan pemeluknya.
Dan kami cinta kepada seorang alim atas apa yang
dimilikinya dari sifat yang terpuji, namun kami tidak
suka apa yang diperbuatnya dari perbuatan bid’ah
dengan ta’wil yang ditolerir. Sesungguhnya yang
dipandang adalah kebaikannya yang banyak.”
(Siyar A’laam an-Nubalaa, biografi mufti Muhammad
bin Ahmad bin Yahya: 20/45-46)
Dan beliau juga berkata ketika menjelaskan tentang
biografi Imam Muhammad bin Nashr Al-Marwazi
rahimahullah Ta’ala [3]:
ﻭﻟﻮ ﺃﻧﺎ ﻛﻠﻤﺎ ﺃﺧﻄﺄ ﺇﻣﺎﻡ ﻓﻲ ﺍﺟﺘﻬﺎﺩﻩ ﻓﻲ ﺁﺣﺎﺩ ﺍﻟﻤﺴﺎﺋﻞ ﺧﻄﺄ ﻣﻐﻔﻮﺭﺍ ﻟﻪ ﻗﻤﻨﺎ
ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺑﺪﻋﻨﺎﻩ ﻭﻫﺠﺮﻧﺎﻩ ﻟﻤﺎ ﺳﻠﻢ ﻣﻌﻨﺎ ﻻ ﺍﺑﻦ ﻧﺼﺮ ﻭﻻ ﺍﺑﻦ ﻣﻨﺪﺓ ﻭﻻ ﻣﻦ ﻫﻮ
ﺃﻛﺒﺮ ﻣﻨﻬﻤﺎ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﻫﻮ ﻫﺎﺩﻱ ﺍﻟﺨﻠﻖ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺤﻖ ﻭﻫﻮ ﺃﺭﺣﻢ ﺍﻟﺮﺍﺣﻤﻴﻦ ﻓﻨﻌﻮﺫ ﺑﺎﻟﻠﻪ
ﻣﻦ ﺍﻟﻬﻮﻯ ﻭﺍﻟﻔﻈﺎﻇﺔ ) ﺍﻟﺴﺒﺮ 40\14: )
“Kalau sekiranya kita, setiap Imam salah dalam
ijtihadnya dalam beberapa perkara berupa kekeliruan
yang diampuni, lalu kita menyikapinya, mentabdi’nya
dan menghajrnya, maka tidak ada yang selamat bagi
kita, tidak Ibnu Nashr, tidak pula Ibnu Mandah, dan
tidak pula yang lebih besar dari keduanya. Dan Allah
yang memberi hidayah kepada manusia kepada
kebenaran, Dialah Dzat yang Maha Pengasih. Maka
kita berlindung kepada Allah dari hawa nafsu dan
kekerasan”.
(Siyaru A’laam an-Nubalaa’, biografi Muhammad bin
Nashr Al-Marwazi: 14/40)
Dan beliau juga berkata ketika menjelaskan biografi
Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah rahimahullah
Ta’ala [4]:
ﻭﻟﻮ ﺃﻥ ﻛﻞ ﻣﻦ ﺃﺧﻄﺄ ﻓﻲ ﺍﺟﺘﻬﺎﺩﻩ ﻣﻊ ﺻﺤﺔ ﺇﻳﻤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻮﺧﻴﻪ ﻻﺗﺒﺎﻉ ﺍﻟﺤﻖ ﺃﻫﺪﺭﻧﺎﻩ
ﻭﺑﺪﻋﻨﺎﻩ ﻟﻘﻞ ﻣﻦ ﻳﺴﻠﻢ ﻣﻦ ﺍﻷﺋﻤﺔ ﻣﻌﻨﺎ ﺭﺣﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺠﻤﻴﻊ ﺑﻤﻨﻪ ﻭﻛﺮﻣﻪ
( ﺍﻟﺴﻴﺮ 376\14: )
“Dan kalau sekiranya setiap orang yang keliru dalam
ijtihadnya, dengan keimanannya yang benar dan
usahanya dalam mengikuti al-Haq, kita membuang
(kebaikannya) dan mentabdi’nya, maka sedikit orang
yang selamat dari para Imam. Semoga Allah
merahmati semuanya dengan anugerah dan
kemuliaannya.” (As-Siyar, biografi Ibnu
Khuzaimah :14/376)
Dan beliau juga berkata, tatkala menjelaskan biografi
Qotadah bin Di’amah As-Sadusi rahimahullah Ta’ala
[5]:
“Semoga Allah memberi udzur kepada orang-orang
yang semisalnya yang (amalannya) dicampuri
dengan bid’ah, yang dia menginginkan untuk
mengagungkan sang Pencipta, dan mensucikannya
dan mengerahkan segala kemampuannya.Dan Allah
adalah hakim yang Maha Adil, Pengasih terhadap
para hamba-Nya. Dia tidak ditanya terhadap apa
saja yang dilakukan-Nya. Seorang yang besar dari
para Imam – apabila banyak kebenarannya dan
diketahui usahanya dalam mencari kebenaran, luas
ilmunya, nampak kepandaiannya, diketahui
keshalihan, sikap wara’ (kehati-hatiannya, red) dan
ittiba’nya – maka diampuni kekeliruannya. Dan kita
tidak menyesatkannya, lalu kita membuangnya dan
lupa akan kebaikan-kebaikannya. Iya, kita tidak
boleh mengikuti bid’ah dan kesalahannya dan kita
mengharapkan taubat dari hal tersebut.” (As-
Siyar:5/271)
Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah Ta’ala:
ﻣﻦ ﻗﻮﺍﻋﺪ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔ ﺍﻳﻀﺎ ﺍﻥ ﻣﻦ ﻛﺜﺮﺕ ﺣﺴﻨﺎﺗﻪ ﻭﻋﻈﻤﺖ ﻭﻛﺎﻥ ﻟﻪ ﻓﻲ
ﺍﻻﺳﻼﻡ ﺗﺄﺛﻴﺮ ﻇﺎﻫﺮ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺤﺘﻤﻞ ﻟﻪ ﻣﺎﻻ ﻳﺤﺘﻤﻞ ﻟﻐﻴﺮﻩ ﻭﻳﻌﻔﻲ ﻋﻨﻪ ﻣﺎﻻ ﻳﻌﻔﻲ
ﻋﻦ ﻏﻴﺮﻩ ﻓﺈﻥ ﺍﻟﻤﻌﺼﻴﺔ ﺧﺒﺚ ﻭﺍﻟﻤﺎﺀ ﺇﺫﺍ ﺑﻠﻎ ﻗﻠﺘﻴﻦ ﻟﻢ ﻳﺤﻤﻞ ﺍﻟﺨﺒﺚ ﺑﺨﻼﻑ ﺍﻟﻤﺎﺀ
ﺍﻟﻘﻠﻴﻞ ﻓﺈﻧﻪ ﻻ ﻳﺤﻤﻞ ﺍﺩﻧﻰ ﺧﺒﺚ ) ﻣﻔﺘﺎﺡ ﺩﺍﺭ ﺍﻟﺴﻌﺎﺩﺓ 218\1: )
“Diantara kaidah syariat dan hikmahnya pula, bahwa
siapa yang banyak dan melimpah kebaikannya dan
memiliki pengaruh yang nampak dalam Islam, maka
sesungguhnya dia dia diberi udzur – dengan sesuatu
yang tidak diberi udzur terhadap yang lainnya – dan
dimaafkan baginya – sesuatu yang tidak dimaafkan
– bagi yang lainnya. Sesungguhnya kemaksiatan itu
najis dan air apabila telah mencapai dua qullah,
maka tidak terpengaruh dengan adanya najis
tersebut, berbeda dengan dengan air yang sedikit,
tidak mampu memikul sedikit pun najis (yang
bercampur dengannya) [6].” (Miftahu Dar as-
Sa’adah: 1/218).
Demikian pula ketika Lajnah Daimah ditanya :
“Apa pendirian kita dari para Ulama yang menta’wil
sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, seperti Ibnu Hajar,
An-Nawawi, Ibnul Jauzi dan selain mereka. Apakah
kita menganggapnya dari para Imam Ahlus Sunnah
wal Jama’ah atau bagaimana? Apakah kita
mengatakan bahwa mereka keliru dalam penakwilan,
ataukah mereka orang-orang yang sesat ?”
Maka Lajnah menjawab:
( ﻣﻮﻗﻔﻨﺎ ﻣﻦ ﺃﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﺍﻟﺒﺎﻗﻼﻧﻲ,ﻭﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ ﻭﺃﺑﻲ ﺍﻟﻔﺮﺝ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﺠﻮﺯﻱ, ﻭﺃﺑﻲ ﺯﻛﺮﻳﺎ
ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﻭﺍﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﻭﺃﻣﺜﺎﻟﻬﻢ ﻣﻤﻦ ﺗﺄﻭﻝ ﺑﻌﺾ ﺻﻔﺎﺕ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺃﻭ ﻓﻮﺿﻮﺍ ﻓﻲ
ﺃﺻﻞ ﻣﻌﻨﺎﻫﺎ, ﺃﻧﻬﻢ ﻓﻲ ﻧﻈﺮﻧﺎ ﻣﻦ ﻛﺒﺎﺭ ﻋﻠﻤﺎﺀ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻧﻔﻊ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻷﻣﺔ
ﺑﻌﻠﻤﻬﻢ, ﻓﺮﺣﻤﻬﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺭﺣﻤﺔ ﻭﺍﺳﻌﺔ ﻭﺟﺰﺍﻫﻢ ﻋﻨﺎ ﺧﻴﺮ ﺍﻟﺠﺰﺍﺀ ﻭﺃﻧﻬﻢ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ
ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻓﻴﻤﺎ ﻭﺍﻓﻘﻮﺍ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻢ ﻭﺃﺋﻤﺔ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺮﻭﻥ
ﺍﻟﺜﻼﺛﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺷﻬﺪ ﻟﻬﺎ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﻋﻠﻰ ﺁﻟﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﺎﻟﺨﻴﺮ, ﻭﺃﻧﻬﻢ
ﺃﺧﻄﺆﻭﺍ ﻓﻴﻤﺎ ﺗﺄﻭﻟﻮﻩ ﻣﻦ ﻧﺼﻮﺹ ﺍﻟﺼﻔﺎﺕ , ﻭﺧﺎﻟﻔﻮﺍ ﻓﻴﻪ ﺳﻠﻒ ﺍﻷﻣﺔ ﻭﺃﺋﻤﺔ
ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺭﺣﻤﻬﻢ ﺍﻟﻠﻪ, ﺳﻮﺍﺀ ﺃﻭﻟﻮﺍ ﺍﻟﺼﻔﺎﺕ ﺍﻟﺬﺍﺗﻴﺔ ﻭﺻﻔﺎﺕ ﺍﻷﻓﻌﺎﻝ ﺃﻡ ﺑﻌﺾ ﺫﻟﻚ )
“Pendirian kami dari Abu Bakar Al Baqilani, Al-
Baihaqi, Abul Faraj Ibnul Jauzi, Abu Zakaria An-
Nawawi, Ibnu Hajar dan yang semisal mereka, dari
orang-orang yang menta’wil sebagian sifat-sifat
Allah Ta’ala ,atau yang mentafwidh7 pada asal
maknanya, – mereka menurut pandangan kami –
termasuk pembesar ulama kaum muslimin yang
Allah memberi manfaat kepada umat dengan ilmu
mereka. Semoga Allah merahmati mereka dengan
rahmat yang luas dan semoga Allah membalas
mereka dengan sebaik-baik balasan terhadap apa
yang telah ia berikan kepada kita. Dan mereka
termasuk dari Ahlus Sunnah terhadap apa yang apa
yang mereka mencocoki para Shahabat radhiallahu
anhum dan para Imam Salaf – pada tiga kurun yang
telah disaksikan oleh Rasulullah dengan kebaikan-.
Dan bahwa mereka bersalah terhadap apa yang
mereka ta’wil dari nash-nash sifat dan menyelisihi
pendahulu umat ini dan para Imam Sunnah
rahimahumullah. Sama saja apakah mereka
menta’wil sifat Dzatiyyah dan sifat Fi’liyyah atau
sebagiannya.”
(Lajnah Daimah no: 5082:3/178.Al-Adillah Asy-
syar’iyyah, Abu Abdis Salaam Hasan bin
Qasim:156-157)
Lajnah juga ditanya : “Apakah kekufuran pada sifat-
sifat Allah? Apakah ada perbedaan antara seorang
alim dengan seorang pembangkang dan yang
mentakwil dalam hal tersebut ?”
Mereka menjawab:
“Pertama: kekufuran dalam sifat-sifat Allah adalah:
mengingkari apa yang telah diketahui sesuatu yang
tsabit (benar) setelah disampaikan kepadanya
(hujjah), atau mengingkarinya dengan cara
merubahnya dari asalnya – tidak ada syubhat –
yang dengannya orang itu diberi udzur.
Kedua: barangsiapa yang menyelisihi kebenaran
dalam hal itu dengan cara membangkang setelah
adanya penjelasan dan penegakan hujjah, maka dia
kafir dan tidak ada udzur. Dan barangsiapa yang
menyelisihi hal tersebut dengan menta’wil karena
adanya syubhat – yang seseorang diberi udzur
dengannya-, maka dia keliru dan dia mendapat
pahala atas ijtihadnya.” (Fatawa Lajnah Daimah,no:
9272:1/128. Al-Adillah Asy-Syar’iyyah:157)
Demikian pula Syekh Muhammad bin Shalih Al-
Utsaimin rahimahullah Ta’ala tentang dua Hafidz
yakni Ibnu Hajar dan An-Nawawi rahimahumallah.
Maka beliau menjawab:
“Sesungguhnya dua hafidz (An-Nawawi dan Ibnu
Hajar), keduanya memiliki andil dari amalan yang
shalih dan manfaat yang besar pada umat Islam,
walaupun terjadi pada keduanya kesalahan dalam
mentakwil sebagian nash-nash sifat. Sesungguhnya
itu tertutupi dengan apa yang dimiliki keduanya dari
berbagai keutamaan dan manfaat yang banyak. Dan
kita tidak menyangka tentang (kesalahan) yang ada
pada keduanya melainkan muncul dari sebab ijtihad,
dan adanya sisi penta’wilan walaupun menurut
pendapat keduanya. Dan aku berharap kepada Allah
agar termasuk diantara kesalahan yang diampuni.
Dan apa yang keduanya telah menyumbangkan
kebaikan dan manfaat dari amalannya yang
disyukuri. Pada keduanya (Al Hafid Ibnu Hajar dan
Imam Nawawi] diterapkan firman Allah :
ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺤَﺴَﻨَﺎﺕِ ﻳُﺬْﻫِﺒْﻦَ ﺍﻟﺴَّـﻴِّﺌَﺎﺕِ
“Sesungguhnya kebaikan menghapuskan
kesalahan” (QS. Hud:114)
Pandangan kami bahwa keduanya termasuk dari
Ahlus Sunnah wal-Jama’ah. Dan yang menjadi saksi
atas hal tersebut, usaha keduanya dalam mendukung
sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam.
Serta semangatnya untuk menjernihkan apa yang
dinisbahkan kepada Sunnah dari berbagai kotoran,
dan menetapkan secara teliti apa yang telah
ditunjukkan atasnya dari hukum-hukum. Namun
keduanya menyelisihi ayat-ayat sifat dan haditsnya,
atau sebagiannya dari metode Ahlus Sunnah,
berdasarkan ijtihad yang keduanya telah keliru
padanya. Maka kita berharap agar Allah memberi
ampunan padanya.” (Kitab Al-Ilmu, kumpulan Nashir
bin Fahd:212-23)
Berkata pula Syekh Al-Fauzan hafidzahullah Ta’ala:
ﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﻋﻨﺪﻩ ﺃﺧﻄﺎﺀ ﺍﺟﺘﻬﺎﺩﻳﺔ ﺗﺄﻭَّﻝ ﻓﻴﻬﺎ ﻏﻴﺮﻩ ﻛﺎﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﻭﺍﻟﻨﻮﻭﻱ، ﻭﻣﺎ ﻗﺪ ﻳﻘﻊ
ﻣﻨﻬﻤﺎ ﻣﻦ ﺗﺄﻭﻳﻞ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﺼﻔﺎﺕ ﻻ ﻳﺤﻜﻢ ﻋﻠﻴﻪ ﺑﺄﻧﻪ ﻣﺒﺘﺪﻉ، ﻭﻟﻜﻦ ﻳُﻘﺎﻝ : ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺬﻱ
ﺣﺼﻞ ﻣﻨﻬﻤﺎ ﺧﻄﺄ ﻭﻳﺮﺟﻰ ﻟﻬﻤﺎ ﺍﻟﻤﻐﻔﺮﺓ ﺑﻤﺎ ﻗﺪﻣﺎﻩ ﻣﻦ ﺧﺪﻣﺔ ﻋﻈﻴﻤﺔ ﻟﺴﻨﺔ
ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﻓﻬﻤﺎ ﺇﻣﺎﻣﺎﻥ ﺟﻠﻴﻼﻥ ﻣﻮﺛﻮﻗﺎﻥ ﻋﻨﺪ ﺃﻫﻞ
ﺍﻟﻌﻠﻢ .
“Siapa yang memiliki kesalahan dalam ijtihad, yang
dia menta’wil padanya, seperti Ibnu Hajar, An-
Nawawi dan apa yang kadang terjadi pada keduanya
– dalam hal menta’wil sebagian sifat – maka tidak
dihukumi dia sebagai ahli bid’ah. Namun dikatakan:
yang terjadi pada keduanya adalah kesalahan yang
diharapkan ampunan bagi keduanya, berdasarkan
apa yang telah disumbangkannya berupa dukungan
yang besar terhadap sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassalam. Maka keduanya adalah Imam yang
mulia, yang dipercaya di kalangan ahli ilmu.” (Al-
Muntaqa: 2/181).
Sungguh benar ucapan seorang penyair:
ﻭﺇﺫﺍ ﺍﻟﺤﺒﻴﺐ ﺃﺗﻰ ﺑﺬﻧﺐ ﻭﺍﺣﺪ ﺟﺎﺀﺕ ﻣﺤﺎﺳﻨﻪ ﺑﺄﻟﻒ ﺷﻔﻴﻊ
Jika seorang tercinta melakukan satu dosa
kebaikannya datang dengan seribu syafa’at
Apabila kita telah memahami hal ini –semoga Allah
senantiasa memberi rahmat dan anugerahnya
kepada kita sekalian-, maka seorang muslim wajib
untuk menghormati ulamanya, mengenal kedudukan
yang mulia yang Allah berikan kepada mereka. [Akan
tetapi] bukan berarti mengharuskan seseorang untuk
meninggalkan nasehat bagi kaum muslimin, tatkala
terlihat adanya penyimpangan, kesalahan harus
[diluruskan], agar kaum muslimin tetap berjalan di
atas agamanya yang lurus, dengan petunjuk dan
bimbingan Allah Azza wa Jalla, rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wassalam dan para ulama Salafus
Saleh.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
Ta’ala:
ﻟﻜﻦ ﺩﻳﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺇﻧﻤﺎ ﻳﺘﻢ ﺑﺄﻣﺮﻳﻦ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﻓﻀﻞ ﺍﻷﺋﻤﺔ ﻭﺣﻘﻮﻗﻬﻢ
ﻭﻣﻘﺎﺩﻳﺮﻫﻢ ﻭﺗﺮﻙ ﻛﻞ ﻣﺎ ﻳﺠﺮ ﺇﻟﻰ ﺛﻠﻤﻬﻢ ﻭﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﺍﻟﻨﺼﻴﺤﺔ ﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﻟﻜﺘﺎﺑﻪ
ﻭﻟﺮﺳﻮﻟﻪ ﻭﻷﺋﻤﺔ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻭﻋﺎﻣﺘﻬﻢ ﻭﺇﺑﺎﻧﺔ ﻣﺎ ﺃﻧﺰﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺒﻴﻨﺎﺕ
ﻭﺍﻟﻬﺪﻯ ﻭﻻ ﻣﻨﺎﻓﺎﺓ – ﺇﻥ ﺷﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ – ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻘﺴﻤﻴﻦ ﻟﻤﻦ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﺪﺭﻩ ﻭﺇﻧﻤﺎ
ﻳﻀﻴﻖ ﻋﻦ ﺫﻟﻚ ﺃﺣﺪ ﺭﺟﻠﻴﻦ ﺭﺟﻞ ﺟﺎﻫﻞ ﺑﻤﻘﺎﺩﻳﺮﻫﻢ ﻭﻣﻌﺎﺫﻳﺮﻫﻢ ﺃﻭ ﺭﺟﻞ ﺟﺎﻫﻞ
ﺑﺎﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ﻭﺃﺻﻮﻝ ﺍﻷﺣﻜﺎﻡ
“Agama Islam dapat sempurna dengan dua perkara:
Pertama: mengenal keutamaan para imam, hak-hak
mereka, kedudukan mereka dan meninggalkan
sesuatu yang mengantarkan celaan terhadap mereka.
Kedua: nasehat bagi Allah Azza wa Jalla, kitab-Nya,
rasul-Nya, para Imam kaum muslimin dan
keumuman kaum muslimin. Dan menjelaskan apa
yang diturunkan Allah Azza wa Jalla berupa
penjelasan dan hidayah. Dan tidak ada pertentangan
–insya Allah- antara dua poin tersebut bagi orang
yang dilapangkan dadanya oleh Allah Azza wa Jalla.
Hanya saja yang merasa sempit dadanya salah satu
dari dua orang: seorang yang jahil tentang kedudukan
dan udzur yang diberikan kepada mereka dan
seorang yang jahil tentang syari’at dan prinsip-
prinsip dalam hukum (Islam).” (al-Fatawa al-Kubra:
3/177-178).
Ada sebagian kaum muslimin yang tidak mengerti
tentang hakikat dakwah Ahlus Sunnah, lalu
melontarkan berbagai tuduhan kepada Ahlus Sunnah
dengan gelar “Dakwah Haddadiyyah”, lalu mentahdzir
kaum muslimin darinya. Namun sebaliknya mereka
memberikan pujian kepada para pembela Ihya At-
Turots, mentazkiyahnya, bahkan menggelarinya
dengan gelar “Buku Emas”. Hal ini disebabkan
karena orang yang menuduh tersebut tidak mengerti
tentang prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal-jama’ah itu
sendiri. Semoga Allah memberi hidayah kepadanya
dan menyelamatkan kaum muslimin dari
kejahatannya.
(Bersambung insya Allah …).
(Ditulis oleh al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal
Al-Bugisi. Dikutip dari http://www.darussalaf.or.id/
index.php?name=News&file=article&sid=241 judul
asli Kesalahan Mujtahid vs Pengekor Hawa Nafsu –
Ifrath Haddadiyyah vs Tafrith Sururiyyah (bagian
ketiga))

Silahkan kunjungi situs kami di www.tunas-tauhid.blogspot.com

No comments:

Post a Comment